"MADURA! Akulah darahmu". Itulah sepenggal bait puisi paling terkenal dari sobat saya penyair Madura yang berdiam di Batang-Batang Sumenep, Zawawi Imron. Puisi yang sungguh garang, indah melengking menggambarkan betapa darah Madura adalah gelora energi yang denyutnya menggerakkan kehidupan. Bukan cuma manusia yang bertarung keras dan melanglang buana ke mana-mana, tapi bak sapi karapan, darah Madura yang bergelora itu adalah kehidupan yang menggeliat menantang zaman. Darah Madura, siapa yang tak kenal? Darah adalah energi, darah adalah sumber amat vital dari seluruh mesin gerak kehidupan makhluk apa saja.
Tapi kini energi itu terputus. Aliran listrik yang menghidupi seluruh sistem sosial dari yang paling besar sampai yang paling kecil, dari kota sampai desa, dari pabrik sampai rumah tangga, tiba-tiba padam. Jalur utama energi yang disalurkan di bawah laut terputus dan akibatnya darah kehidupan itu pun mampet. Bukankah listrik adalah bak aliran darah dalam kehidupan? Dewasa ini bukankah ketergantungan pada energi listrik adalah seperti ketergantungan makhluk hidup pada aliran darah? Mampet sedikit ambyar-lah semua. Dan itulah yang kini terjadi di Madura, yang dikabarkan baru bisa normal lebih kurang satu bulan lamanya. Satu bulan? Bah! Sehari saja rumah tanpa listrik dewasa ini telah membuat hidup pontang-panting, kini satu bulan. Bisa dibayangkan bagaimana terganggunya seluruh dimensi kehidupan. Bisa dibayangkan bukan cuma soal kepekatan dan gelap gulita, sebab kalau cuma menanggulangi kegelapan, lampu ublik, teplok, gas, dan lainnya masih bisa digunakan, tapi listrik bukan sekadar menghilangkan kepekatan. Listrik adalah energi yang menggerakkan banyak hal mulai dari mesin pendingin sampai pemanas, mulai dari kegiatan ekonomis sampai keagamaan.
Saya terngiang terus bunyi bait sajak sobat Zawawi itu. "Inilah darahku". Darah itulah yang kini mampet yang membuat denyut nadi kehidupan di Madura terhenti. Semua peralatan modern yang ada di sana tak lagi memiliki energi. Sebagian kini mengatasinya dengan energi darurat, genset dan sebagainya, tapi seberapa mampu substitusi sedemikian itu? Seluruh institusi vital harus segera dipasok memenuhi energi mahapenting itu. Rumah-rumah sakit, instalasi air minum, kantor penting, pusat perdagangan. Tapi lihatlah, sudah sepekan lamanya keadaan belum bisa diatasi secara memadai. Bagi masyarakat umum, untuk mengurangi kepekatan itu, lampu ublik dan minyak tanah menjadi pilihan. Namun instalasi penting terpaksa pontang-panting mengatasi keadaan. Sungguh suatu disharmoni kehidupan sosial terjadi di Pulau Madura karena energi mahapenting kini mampet adanya.
Tanpa harus mendramatisasi, kasus Madura ini sungguh layak menjadi masalah nasional. Bukan saja menjadi preseden untuk menilai kembali seluruh mekanisme dan kebijakan jaringan energi listrik, tapi juga untuk mengantisipasi, suatu sistem sosial yang keseluruhannya begitu sistemik harus ambrol hanya dengan terputusnya jaringan energi dan kita ternyata tak memiliki kesiapan menghadapi hal semacam itu. Satu bulan bagi kehidupan sosial dewasa ini tanpa energi listrik sungguh sebuah bencana.
Boleh jadi kasus Madura ini adalah yang kali pertama di negeri ini di mana kehidupan suatu pulau harus gelap gulita, pekat. Tak terbayangkan berapa kerugian yang harus ditanggung masyarakat Madura, bukan saja fisik tapi juga mental, bukan saja ekonomis, tapi juga kultural dan bahkan dimensi religiusitas. Berapa pula kerugian yang harus dialami PLN. Kerugian semacam itu siapa pula yang harus menanggungnya sementara kebijakan semua pihak terkait kini berupaya semaksimal mungkin mengatasi masalah.
Kini, sapi karapan dan bajak serta darah yang mengalir di Madura sebagaimana bunyi bait puisi Zawawi Imron harus terbantun dalam kenyataan. Indahnya bunyi puisi itu menyadarkan kita betapa kehidupan itu kini terganggu dan betapa sulit membayangkan kegelapan Madura yang cuma sepenggal jaraknya dari Surabaya. Betapa sulit kondisi teknis jaringan negeri ini. Mungkin kebijakan menanam kabel bawah laut adalah kebijakan yang sangat mumpuni berdasarkan kajian teknis. Tapi kini, secanggih apa perhitungan orang, ketika bencana harus datang, maka datanglah dia tanpa sinyal. Dan kini pekatnya Madura dipertaruhkan dalam hubungannya dengan seluruh sistem kewilayahan yang kini terlihat betapa rentan hubungan itu dalam konteks energi.
Darah Madura yang bergelora itu pastilah bisa bertahan menghadapi kenyataan ini. Tapi itu tidak berarti persoalan ini bukan sebagai sesuatu yang emergency. Darah Madura itu kini mampet dan untuk itu tak ada kata lain, harus ada penyelesaian sesegera mungkin sebab kalau tidak, gelora darah Madura boleh jadi akan meluap secara garang. (***)