back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Kamis 25 Maret 1999 |
Kompas |
"Mangken mele napa'a bi saos bebas, sobung se alarang. Tape kaula bingong, partayya bannyak. Sadaja ngako partai Islam (Sekarang memilih apa saja bebas, tidak ada yang melarang. Tetapi saya bingung, partainya banyak. Semua mengaku partai Islam)," ujar Asmadin, warga Desa Rong Tengnga, Kecamatan Kota, Kabupaten Sampang, yang ditemui saat mengikuti kampanye Ketua Umum DPP PPP Hamzah Haz, Selasa (23/3).
Berada di tengah keramaian massa PPP, Asmadin tampak kurang bergairah. Hanya sesekali Asmadin menyambut yel-yel yang diteriakkan pengurus PPP. "Tidak seperti kampanye dulu, sekarang saya kurang tenang berada di tengah PPP. Keluarga di desa terus membujuk saya untuk ikut PNU (Partai Nahdlatul Ummah -Red). Katanya, PNU juga partai Islam," ujarnya.
Asmadin kadang melihat perang mulut bahkan nyaris ke bentrokan fisik antara pendukung partai. Tidak jarang partai satu menjelekkan partai lainnya. "Saya betul-betul tidak tenang," ujarnya.
Kebingungan sekaligus ketidaktenangan Asmadin mengesankan rasa aman masyarakat yang mulai terganggu. Namun, di lain pihak, hal itu mencerminkan munculnya kegairahan terhadap pemilu. Persoalannya, bagaimana kegairahan bisa tetap terpelihara sekaligus mengurangi kemungkinan timbulnya gesekan yang lebih luas.
Selama Orde Baru, daerah tapal kuda yang meliputi Pulau Madura dan pesisir utara Jawa di timur Surabaya, merupakan basis utama PPP.
Namun, Kabupaten Sampang merupakan satu-satunya basis PPP di Jatim yang baru "menyerah" pada Golkar pada Pemilu 1992. Hal ini bisa terjadi karena hampir seluruh ulama Sampang berjuang lewat PPP.
Tampilnya sosok KH Allawy Muhammad yang memperjuangkan para korban kasus Nipah, membuat Sampang mulai dikenal masyarakat nasional. Apalagi, di bawah KH Allawy pula, Sampang merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang meminta Pemilu 1997 diulang.
Namun, seiring dengan kebebasan mendirikan partai politik, ulama di Sampang tidak lagi hanya berhimpun di PPP. Sebagian ada yang ikut berjuang di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang lain di PKU yang diketuai KH Syukron Makmun, tokoh Nahdlatul Ulama asal Sampang.
ANTROPOLOG Belanda Elly Touwen-Bouwsma mengatakan, orientasi masyarakat pedesaan Madura adalah kiai, bukan kepemimpinan birokrasi. Sehingga, wajar bila berpencarnya para kiai itu di berbagai partai membawa dampak langsung pada rasa keamanan warganya.
Apa yang diungkapkan Asmadin hanya contoh kecil dari adanya persaingan antarwarga partai. Tetapi, Ketua Umum DPP PPP Hamzah Haz mengkhawatirkan adanya bentrokan terbuka antara pendukung PPP dan PKB, dan tidak memustahilkan adanya pertikaian fisik. "Itu harus dihentikan," ujar Hamzah.
Di sekitar wilayah perkotaan Sampang belum terlihat adanya lambang dan simbol partai yang cukup dominan. Bendera atau spanduk partai hanya terpasang di tempat-tempat sesuai basis pendukungnya. Meski masih baru bersifat dugaan sementara, PPP akan tampil dominan di Kecamatan Kota, sedang PKB lebih terfokus di pinggiran kota. Sedang di pedalaman, PNU yang banyak mendapat dukungan.
Kuatnya dukungan terhadap PPP dari warga perkotaan, tidak lepas dari penampilan dan manuver PPP di tingkat nasional. Mereka melihat peran PPP dalam menumbangkan Soeharto cukup besar, di samping PPP telah kembali ke asas Islam dan lambang Kabah. "Wajar kalau saya bertahan di PPP, meskipun dengan perasaan waswas," ujar Asmadin.
Ketua DPC PPP Sampang Hasan Asy'ary mengatakan, kalaupun ada suara yang hilang, PPP masih bisa berharap dapat luberan dari pengikut Golkar. "Kalau dari tempat kita ada yang tumpah, kita akan menampung tumpahan dari tempat lain," ujarnya.
PKB yang pendiriannya dimotori PB NU, tidak mustahil mendapat dukungan warganya. Duet Ketua PW NU Jatim Hasyim Muzadi dan Ketua DPW PKB Jatim Choirul Anam, cukup efektif membendung isu negatif, khususnya menyangkut "keislaman" PKB.
Hasyim tidak segan secara terbuka meminta warga NU agar tidak oleng, sedang Choirul terus berupaya mendekati para ulama sepuh. Duet ini sangat efektif menarik massa NU, sehingga tidak heran jika di Bangkalan, PPP gemanya berkurang.
"PPP Bangkalan sudah kehilangan KH Amin Imron, sekarang anaknya KH Fuad Amin bergabung dengan PKB. Jadi, sulit bagi PPP berkembang di sini," ujar seorang pengurus PPP Bangkalan.
Kehadiran KH Syukron Makmun di pentas politik memimpin PNU, membuat peta politik di Sampang masih kompetitif. KH Syukron, mantan Ketua Lembaga Dakwah NU (LDNU), punya hubungan dekat dengan KH Dr Idham Chalid, yang berseberangan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di tahun 1995, KH Syukron yang memimpin Ittihadul Muballighin, mengajak seluruh pengurus LDNU mengundurkan diri.
Di mata warga Madura, KH Syukron merupakan contoh sukses kiai Madura di pentas nasional. Sehingga, selain ada keterikatan budaya, dukungan kepada KH Syukron bisa diartikan sebagai penterjemahan keinginan warga Madura untuk melihat ulamanya tetap hadir di pentas nasional.
Apalagi, jauh sebelum PNU berdiri, KH Syukron membuat jaringan Ittihadul sampai ke Madura. Ketika Ittihadul menjadi salah satu pendiri PNU, dengan mudah cabang Ittihadul daerah menyesuaikan diri. "Itu keunggulan PNU. Tetapi, itu pun tidak menjamin PNU bisa meraih kursi terbanyak di DPRD nanti," ujar Hasib, warga Desa Omben, Kecamatan Omben, Sampang.
BILA masyarakat Sampang cukup bergairah menyambut Pemilu, tidak demikian halnya dengan para pegawai negeri sipil (PNS). Mereka tampak apolitis. Mereka, selama Orba menjadi mesin suara Golkar, tak banyak berharap dari Pemilu 1999. Mereka menganggap pemilu sesuatu yang biasa, yang hanya bisa dinikmati para pemain politik. "Saya tidak tahu politik, Pak. Kalau boleh saya tidak ikut memilih," ujar Chairul.
Menurut Chairul, ketika berlangsung Pemilu 1997, yang paling besar menerima imbasnya adalah PNS yang menjadi anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara). Mereka dihina, bahkan ada yang dianiaya. Sehingga, banyak guru yang merasa tidak aman dan harus keluar dari Sampang. "Itu trauma bagi kami, yang sampai sekarang masih sulit dihapus," ujar Chairul.
Apatisme PNS seperti Chairul, tentu berpengaruh pada kinerja Partai Golkar. Sehingga, di seluruh wilayah Sampang, bendera atau umbul-umbul Golkar bisa dihitung dengan jari. Bahkan, di wilayah perkotaan, lambang-lambang Golkar nyaris tak terlihat.
"Mungkin nasib Golkar akan sama dengan PDI, yang selama Orba tidak pernah kebagian kursi di sini. Jadi, kalau pemilu betul-betul jujur dan adil, saya kira hanya tiga partai (PKB, PNU, PPP -Red) itu yang akan bersaing," ujar Asmadin.
Kemungkinan itu bisa terjadi, karena sampai Pemilu 1997, belum satu pun ulama yang selama ini mengakar di Sampang mau bergabung dengan Golkar. Kalaupun ada ulama yang bergabung seperti KH Muafi Zaini, Golkar tidak akan bisa menarik simpati warga. "Kalau Pemilu 1997 dibilang trauma, saya kira itu betul," ujar Hasan Asy'ari.
Seperti dibilang Hamzah Haz, DPC PPP Sampang mulai sekarang harus menyiapkan orang yang bakal dicalonkan jadi bupati. "Kalau suara PPP di Sampang unggul dari yang lain, pantas kalau Bupati Sampang berasal dari warga PPP," ujar Hamzah Haz. (mba)