Pakar Hukum Madura Prihatinkan Ulah PT Garam
Sumenep - Surabaya Post
Penangkapan 21 orang yang diduga bromocorah membuat pakar hukum dan kriminalitas di Madura, Drs As Siqaki SH, prihatin.
Pasalnya, penahanan para bromocorah itu membuktikan adanya sikap arogansi kekuasaan yang dilakukan penguasa dan pejabat di PT Garam terhadap para petani.
Kalau perkara itu lebih jauh lagi ditarik ke belakang, menurut dia, maka dugaan adanya unsur pemaksaan dan penekanan terhadap para petani pemilik tanah pegaraman yang membangkang menolak pembebasan tanah pada 1975, itu tidak diragukan lagi kebenarannya.
"Artinya, arogansi kekuasaan penguasa dan pejabat PT Garam dalam menghadapi perlawanan para petani garam, itu harus diakui sudah ada sejak pembebasan tanah pada 1975," katanya, Rabu (18/8).
Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kargalu, Sumenep, Drs Bazanon Art, menambahkan, tidak sepantasnya PT Garam melakukan perlawanan dengan kekerasan.
Bazanon mengatakan, seharusnya penguasa dan pejabat di PT Garam sangat malu bila melihat bentuk perlawanan yang dilakukan para petani garam dengan cara sehat tanpa kekerasan. Apalagi, tambahnya, kalau melihat dan membandingkan kualitas dan latar belakang pendidikan antara petani dengan para pejabat di PT Garam tindak kekerasan itu tak bisa ditoleransi.
Dibayar Tinggi
Dalam pemeriksaan Satserse Polres Sumenep, 21 orang bromocorah yang mengaku memperoleh bayaran tinggi itu memang direkrut khusus untuk menggempur para petani yang coba-coba akan menguasai lahan milik PT Garam. Menurut pengakuan mereka, penyerangan terhadap sejumlah petani di Desa Gapura, Kec. Gapura, beberapa waktu lalu, tak sampai menelan korban jiwa.
Dalam perkelahian yang berlangsung di lahan pegaraman, menurut laporan polisi, sangat terlihat ketidakberdayaan sejumlah petani. Banyak petani lari menyelamatkan diri. Yang tak bisa lari, terjungkal bersimbah darah.
Kepala Biro Satuan Pengawasan Intern (SPI) PT Garam, Kalianget, Drs Sarwoto, mengatakan bertanggung jawab atas penyerangan yang dilakukan 24 buruh pegaraman. Dijelaskan, penyerangan itu terpaksa dilakukan, karena ada kabar sejumlah petani hendak menyerang dan akan menguasai lahan.
Sarwoto membantah penyerangan yang dilakukan para buruh pengaman terhadap sejumlah petani atas dasar instruksi dari Direksi PT Garam. "Serangan itu murni inisiatif para buruh pengaman dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya terhadap keamanan lahan-lahan pegaraman PT Garam," katanya.
Soal senjata tajam yang dibawa para buruh pengaman saat melakukan penyerangan terhadap para petani, juga tak pernah diperintah siapa pun. Dijelaskan, mereka melengkapi senjata tajam dijadikan sarana bekerja.
Sebagai buruh, katanya, mereka mendapat bayaran Rp 300 ribu/bulan. "Mereka memang berasal dari luar Desa Gapura. Tapi mereka bukan bromocorah. Karena itu saya tak setuju bila mereka disebut tukang pukul. Mereka adalah masyarakat biasa yang kebetulan bertugas sebagai pengaman," katanya. (len)
|