back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment for Maintaining Professional Vitality |
Senin 3 Januari 1999 |
Kompas |
Asinnya Garam, Pahitnya Petani
"TANAH ini milik rakyat." Tulisan itu mencolok di papan yang terpancang tegar di pintu masuk kawasan lahan pegaraman di daerah Karanganyar, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep (Madura). Di samping papan itu terbentang poster, "Pegawai PT Garam dilarang masuk, polisi dan TNI jangan mau disogok."
Itulah cara masyarakat Karanganyar dan Pinggirpapas melakukan reclaiming atas lahan pegaraman sekitar 4.000 hektar yang kini dikuasai PT Garam (Persero). Lebih kurang 3.000 jiwa masyarakat yang melakukan reclaiming itu tergabung dalam kelompok Tanah Leluhur. Dasar reclaiming-nya adalah seharusnya tanah itu dikembalikan kepada rakyat tanggal 7 Agustus 1986. Alkisah, pada tanggal 3 Agustus 1936, klebun atau kepala desa dua desa itu masing-masing Sastro Wijoyo dan Sastro Sudirso menyerahkan lahan itu kepada Bupati Sumenep Kanjeng Raden Samadikun. Jika sudah 50 tahun akan dikembalikan ke petani. "Bukti yang kami miliki itu sah. Sudah menjadi keharusan kalau kami menuntut hak tanah warisan leluhur itu," kata Masrawi, tokoh petani Pinggirpapas. Pada tahun 1986, masyarakat sudah mulai menggunjingkan secara lirih-lirih. Tetapi tidak ada yang berani terang-terangan karena masih kuatnya represi rezim saat itu. Apalagi untuk melakukan protes secara terbuka, risikonya terlalu besar. Pengalaman sudah mencatat, harus masuk tahanan, diintimidasi, diteror. Akan dengan mudah mendapat stigma sebagai PKI atau antipembangunan, antipemerintah. Merupakan tipikal Orde Baru, setiap suara rakyat atas keadilan dan kebenaran dipersepsi sebagai bentuk perlawanan dan pemberontakan terhadap negara. Baru pada tahun 1998 bersamaan dengan gelora reformasi yang ditandai dengan merosotnya kepercayaan rakyat terhadap negara, rakyat mulai berani menggugat. Rakyat mencoba negosiasi langsung dengan PT Garam, unjuk rasa ke DPRD dan Pemda, memasang pancang reclaiming sampai melakukan blokade karyawan PT Garam. Di sebagian areal itu, ada kelompok lain yang mengklaim. Mereka adalah bekas pemilik tanah seluas 982 hektar yang dibebaskan tahun 1975 oleh PT Garam. Dari sekitar 800 petani, sebanyak 170 di antaranya tergabung dalam Yayasan Al-Jihad. Lainnya bergerak dalam Kelompok Gapura, Kelompok Delapan maupun diam sama sekali menunggu hasil perjuangan kawan-kawannya. Pada tahun 1975 tanah pegaraman milik petani itu dibebaskan oleh PT Garam dengan alasan untuk modernisasi. Achmad Zaini, petani Karangnyar masih ingat bagaimana saat itu rakyat menolak. Sebab, itulah satu-satunya alat produksi mereka. Rakyat menangis berusaha keras mempertahankan. Bayangan mengalami degradasi sosial terbukti nyaris secara absolut. Dari petani pemilik lahan menjadi petani penggarap atau bahkan buruh olah pegaraman maupun buruh angkut. Lahan itu memang menjanjikan rezeki yang besar. Lahan produktif bisa menghasilkan 90-100 ton per hektar. Kalau dibuat rata-rata, lahan di kawasan itu menghasilkan 70 ton per hektar. Jika harga garam sekarang Rp 250.000 per ton, berarti per hektar menghasilkan uang Rp 17,5 juta per musim. "Untuk itulah kalau tanah itu diserahkan kepada petani, petani sanggup memberikan ke pemda per tahun Rp 500.000," kata Imam Sutarjo, petani asal Sumenep. Tanah bagi mereka juga memiliki nilai religi. Merupakan amanat leluhur untuk melestarikan budaya dan kehormatan. Tanah itu merupakan tempat semayam jasad leluhur yang harus dijaga kesakralannya. Tradisi di masyarakat itu, kuburan leluhur berada di pekarangan dekat rumah. Sehingga jika tanah itu digusur untuk lahan pegaraman, otomatis akan menggusur kubur leluhurnya. "Rakyat menerima uang pembebasan itu dengan menangis," kenang Zaini. Untuk itulah rakyat hanya pasrah. Sampai-sampai lahan dan uang ganti rugi juga dipotong. Zaini mengaku, tanahnya yang lebih 12.000 meter persegi hanya dihitung 11.000 meter persegi. Sejumlah petani mengaku hal yang sama. Diperkirakan, total luas tanah yang dibebaskan sekitar 1.350 hektar tetapi dihitung cuma 982 hektar. Sisanya dibagi-bagi sebagai barang rayahan. Sehingga muncul pemilik-pemilik baru di luar desa tersebut. Uang ganti rugi yang diterima rakyat sebagian besar hanya sekitar 50 persen. Dari sejumlah bukti pembayaran dan akta jual beli terlihat pemotongan itu. Ada yang di akta jual beli tertulis Rp 1,2 juta, tetapi di kuitansi hanya Rp 528.000. "Kami tidak berani mempermasalahkan potongan itu karena pada dasarnya menerima saja dengan terpaksa dan ketakutan," kata Firdaus.
***UNTUK meredakan kegelisahan rakyat, PT Garam menerbitkan SK Nomor 1222 tahun 1975 yang isinya selama modernisasi pegaraman belum dilaksanakan, petani pemilik tanah diperbolehkan menggarap lahannya. Keterhiburan petani tidak lama. Setahun kemudian PT Garam menerbitkan SK 370 tahun 1976 yang isinya membatalkan SK 1222. Sebanyak 40 petani Gapura memberanikan diri melakukan gugatan. Dasarnya, pembebasan tanah itu dianggap cacat hukum karena dilakukan dengan ancaman, teror, dan penipuan. Tetapi gugatan mereka ditolak pengadilan, hanya karena teknis gugatan, bukan substansinya. Kata "40 petani CS" dianggap salah karena ratusan petani lainnya tidak menggugat. Ansori dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya melihat, gugatan petani itu masuk akal. Pembebasan tanah yang disertai ancaman bahkan penahanan jelas tidak sah. Apalagi kenyataannya PT Garam melakukan pengingkaran. "Modernisasi yang dipakai sebagai dasar pembebasan tanah hingga sekarang tidak diwujudkan. Tanah itu disewakan kepada masyarakat termasuk bekas pemilik. Banyak pula lahan yang telantar," katanya. Lahan-lahan itu memang disewakan rata-rata Rp 1,3 juta per tahun. Biaya sewa terlalu rendah. Sebab harga sewa di pasaran untuk lahan yang relatif sama berkisar Rp 3 juta-Rp 5 juta per tahun. Rendahnya angka sewa itu, kata Imam Sutarjo, karena berbau KKN. Lahan itu sebagian disewakan kepada keluarga pejabat PT Garam. PT Garam kelihatan tidak terlalu risau dengan proses reclaiming itu. Direktur Utama PT Garam, Imam Hidayat, menganggap klaim petani bahwa 40.000 hektar milik petani, tidak masuk akal. "Kalau begitu, apa PT Garam ini tidak punya apa-apa?" katanya. Imam Hidayat yang asli putra Kalianget ini juga tenang-tenang saja menghadapi aksi bekas pemilik tanah yang dibebaskan tahun 1975. Ia menyatakan siap menghadapi gugatan secara hukum para petani itu. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep, Mansyur, membenarkan bahwa lahan PT Garam memiliki sertifikat hak pakai dan hak kelola atas tanah yang diklaim rakyat itu. "Tanah itu memang milik negara. Sedang hak pakai dan hak kelolanya sudah diberikan kepada PT Garam," kata Mansyur.
***RECLAIMING rakyat atas tanah pegaraman itu tampaknya masih jauh panggang dari api. Belum bisa mengejar daerah lain yang sudah melangkah jauh seperti Jenggawah (Jember), Gambar (Blitar), Simojayan dan Sumbermanggis (Malang), Grati (Pasuruan), Nipah (Sampang). Persyaratan untuk melakukan reclaiming seperti kekompakan masyarakat, kepemimpinan, belum cukup dipenuhi. Rakyat pegaraman itu terserpih-serpih dalam pelbagai kelompok. PT Garam punya andil besar dalam menyusun skenario pemecahbelahan masyarakat dan konflik horizontal. Reclaiming pertama dilakukan Kelompok Delapan, berasal dari bekas pemilik yang dibebaskan tahun 1975. Belum apa-apa sudah pecah karena sebagian menerima 60 hektar garapan lahan dari PT Garam, lainnya menolak. Yang menerima kemudian pecah karena soal pembagian lahan. Yang menolak akhirnya membentuk Yayasan Al-Jihad. Al-Jihad tidak mau menempuh jalur ekstra-legal seperti menguasai tanah lebih dulu, baru proses legalisasinya menyusul. Di samping alasan normatif melanggar norma keagamaan, hal itu juga untuk menghindari konflik horizontal. Sebagian besar tanah yang diklaim itu kini di tangan penyewa. Jika mengambil alih tanah itu bukan hanya berhadapan dengan PT Garam, tetapi juga berhadapan dengan penyewa. Dirusaknya kantor Yayasan Al-Jihad dan demonstrasi terhadap tokoh-tokoh Al-Jihad oleh kalangan penyewa, adalah bukti bahayanya konflik horizontal. Tak bisa dipungkiri, Al-Jihad sebenarnya juga belum punya strategi yang konkret. Lantaran itulah, bekas pemilik lain di Gapura hampir seluruhnya tidak mau bergabung ke Al-Jihad. Mereka memilih kuasai lahan dulu, proses hukum menyusul, seperti meniru pola Simojayan. Kelompok Gapura memang sudah berhasil menguasai lahan, tetapi hasilnya sebanyak 5.000 karung disita PT Garam yang juga mengerahkan tenaga masyarakat untuk melakukan penyitaan. Tanah Leluhur dan Al-Jihad diam-diam juga saling curiga. Sama-sama khawatir yang menang akan mengambil hak atas tanahnya karena posisi lahan memang tumpang tindih. "Inilah susahnya, mestinya untuk menghadapi PT Garam sebagai musuh bersama, mereka bisa bersatu," kata Raut Faiq Ja'far, anggota DPRD Sumenep. Petani juga tidak memiliki ideologi yang jelas. Di beberapa daerah, ada ideologi yaitu tanah untuk keadilan semua rakyat. "Tetapi di sini, tanah baru untuk diri sendiri. Maka kalau sudah mendapat hak garap, diam, bahkan melawan yang lain. Tidak adanya akidah ini sulit menyusun perjuangan bersama," kata Arifin. Tidak adanya kepemimpinan yang kuat menjadikan soliditas gerakan lemah sekali. Secara teoretis sosial, kepemimpinan itu mestinya di tangan kiai. Tetapi praktis hanya KH Abdullah Said yang berdiri di barisan depan membantu rakyat. Ia menjadi penasihat Al-Jihad. Di mana para kiai? Raut Faiq Ja'far melihat, terlalu lama kiai terkooptasi kekuasaan sehingga sulit diharapkan pembelaannya terhadap rakyat dalam kasus ini. Arifin sependapat dengan Raut bahwa di Sumenep proses birokratisasi sangat kuat, sehingga lembaga-lembaga masyarakat termasuk kiai kurang berperan. Sejarah panjang birokratisasi itu terjadi jauh sebelum Orde Baru. Sumenep merupakan pusat pemerintahan Pulau Madura pada zaman Mataram maupun Belanda. Daerahnya relatif lebih subur dibanding daerah lain. Ketika bureaucratic policy yang dilakukan Orde Baru menggelinding, daerah ini paling intensif. Golkar selalu menang mutlak di daerah ujung timur Pulau Madura ini. Sekalipun rakyat sesumbar akan merebut tanah sampai titik darah penghabisan, seperti yang disampaikan di depan Bupati Sumenep Soekarno Marsaid dan Imam Hidayat, beberapa kalangan meragukan itu. Tradisi heroistik sangat lemah sehingga sulit dicari orang yang siap menjadi martir. Untuk jangka waktu yang agak lama, barangkali, rakyat masih harus merasakan asinnya garam itu sebagai pahitnya kehidupan mereka. Kecuali rakyat melakukan akselerasi pemberdayaan diri. (anwar hudijono) |