back
Serambi MADURA PadepokanVirtual
Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment

Selasa
24 November 1999
Radar Madura


Petani Garam Menggugat Tanahnya Yang Dirampas

Perjanjian Dibuat 7 Agustus 1999 Dengan Batas Waktu 50 Tahun

Sudah bertahun-tahun lamanya, tanpa henti, para petani garam terus menggugat perampasan tanahnya oleh PT. Garam Kalianget Sumenep. Salah satu tuntuta mereka adalah agar segera mencabut izin pengelolaan tanah atau lahan oleh PT Garam (persero) serta membatalkan sertifikat hak pakai atas tanah dan lahan yang diberikan kepada PT Garam (persero). Benarkah, tanah tersebut adalah tanah leluhur mereka?. Rasul Junaidy, wartawan Radar Madura di Sumenep melaporkan asal-muasal tanah tersebut. Inilah kisahnya.

Ini adalah pengakuan dari wakil atau mewakili seluruh warga Karanganyar, Pinggir Papas Sumenep mengenai riwayat tanah atau lahan, yang saat ini telah dikuasai atau dikelola oleh PT Garam tersebut.

Pada jaman dahulu, ada seorang raja Sumenep yang bernama Pangeran Lor, yang lebih dikenal sebutan Pangeran Wetan. Pada saat itu, Pangeran Lor menghibahkan tanah pada seorang gurunya yang bernama Mbah Angga Soto, seorang warga setempat yang dikenal di Desa Karanganyar dan Pinggir Papas, karena atas jasa-jasanya dalam perang melawan Raja Bali. Batas-batas tanah hibah yang diberikan Pangeran Lor atau Pangeran Wetan tersebut, meliputi: mulai dari sungai sebelah utara sampai ke tengah perbatasan dengan Desa Marengan. Sedangkan untuk Desa Palebunan dimulai dari sungai tapal batas desa sampai selatan dekat Desa Kebun Dadap, yang pada saat ini dikenal sebagai Desa Pinggir Papas.

Sedangkan sebelah Timur adalah lautan dan sebelah barat adalah Desa Nambakor dan Desa Gunggung yang pada saat itu masih merupakan tanah sawah atau tegalan. Sedangkan untuk Desa Palebunan dan Desa Pinggir Papas pada jaman itu sudah merupakan lahan garam yang merupakan tempat mata pencaharian bagi warga setempat. Tanah atau lahan tersebut, awalnya dalam penggarapan Mbah Angga Soto yang kemudian diteruskan oleh anak turunnya sampai pada jaman Bupati Sumenep yang bernama Kanjeng Samadikun dengan patihnya bernama Kyai Mangoen Widjojo.

Sementara untuk Desa Palebunan, kepala desanya bernama Sosro Sudarso dengan cariknya bernama R. Rachmad Sadli, serta untuk Desa Pinggir Papas bernama Sosro Widjojo dan cariknya bernama R. Suharjo Atmojo. Pada saat itu hingga saat Bupati Sumenep, telah terbiasa bahwa penggarapan lahan oleh warga Desa Palebunan dan Pinggir Papas, yang juga merupakan para leluhur warga sekarang, hasilnya telah dijualbelikan pada bangsa penjajah atau bangsa Belanda.

"Mungkin karena sikap penjajah pada waktu itu serakah, maka terdapat kolusi antara bangsa kita dengan Belanda yang akhirnya bangsa Belanda dapat menguasai lahan tersebut untuk digarap dan dikelola," ujar salah seorang warga menjelaskan. Tentu saja, hal tersebut tidak terlepas dari adanya bentrok fisik antara warga setempat, karena sebagian warga tetap mempertahankan haknya sebagai pemilik atas dasar waris atas lahan tersebut. Lahan itu sekarang dikenal sebagai Desa Karanganyar dan Pinggir Papas.

"Yang perlu diketahui, pada jaman itu bertepatan dengan jaman Patih Kyai Mangoen Widjojo yang telah mendapat protes dari warga setempat atas kesewenang-wenangan Bangsa Belanda,'' ujar seorang warga yang namanya tak mau disebutkan. ''Karena bagi warga yang tidak tunduk akan dikerjapaksakan sehingga tidak sedikit memakan korban warga setempat," tuturnya. "Setelah berakhirnya bentrokan fisik, maka terjadilah kesepakatan bersyarat antara warga setempat yaitu Desa Karanganyar dan Pinggir Papas dengan bangsa Belanda yang licik dan pembohong itu. Intinya, warga harus rela menyewakan lahan tersebut pada bangsa Belanda," tambahnya.

Perjanjian itu sendiri dibuat pada tanggal 7 Agustus 1936 dengan jangka waktu 50 tahun. Perjanjian tersebut ditulis dengan huruf Jawa. Bunyi dari perjanjian tersebut adalah ''Yang bertanda tangan jempol dibawah ini, saya bernama Bapak Sastro Widjojo sebagai Kalibon Pinggir Papas benar-benar memasrahkan lahan garam tanah milik rakyat kepada Bupati Sumenep dengan sukarela selama 50 tahun mulai sekarang juga pada tanggal 7 Agustus 1936, maka bila telah habis, Bapak Bupati akan mengembalikannya pada pemiliknya. Sekian perjanjian ini." Dibawah surat perjanjian itu dibubuhi stempel sontroleor t.b. Pamekasan, cap jempol dan stempel assistant resident Sumenep.

Soal Tanah Rakyat, Pernah Dijelaskan pada Presiden Soekarno

Setelah terjadinya penyerahan lahan atau tanah atas dasar sewa-menyewa, maka bangsa Belanda dengan sikap sewenang-wenangnya merampasi petok-petok tanah atau lahan milik seluruh warga Desa Palebunan beserta rumah dan kuburannya dengan maksud dipindahkan dengan janji akan diberi ganti rugi.

Warga tersebut dipindah kesebelah barat jalan, sedangkan yang lainnya dipindahkan di sebelah utara Marengan yang sekarang dikenal sebagai Desa Marengan Laok. Sedangkan yang dipindah ke Desa Kertosodo sekarang menjadi kampung baru. "Saat itu, setelah ada penyerahan lahan berdasarkan sewa-menyewa, Belanda seenaknya saja memindah warga ke tempat lain," ujar Pak Mad saat ia melakukan unjuk rasa di DPRD Sumenep. "Ada yang dipindah ke sebelah barat jalan, sebelah utara yang sekarang Desa Marengan Laok dan ada juga yang dipindah ke Desa Kertosodo, sekarang sudah menjadi sebuah kampung," lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.

Dengan adanya pemindahan warga setempat yang dulu dikenal sebagai warga Palebunan, maka desa tersebut sekarang dikenal sebagai Desa Karanganyar. Setelah itu pada tahun pertengahan 1937 Belanda mengeluarkan surat dengan bahasa Belanda yang menurutnya sebagai pengganti petok-petok warga yang dirampas. "Jadi Pak, setelah Belanda leluasa menguasai tanah atau lahan tersebut, maka warga justru dibalik posisinya menjadi buruh pembuatan garam," ujar Pak Murahwi menjelaskan. "Tentu saja, Bapak bisa bayangkan sendiri, bagaimana kondisi penghidupan masyarakat yang sangat memprihatinkan dan sengsara saat itu," tutur Pak Wi panggilan akrab Murahwi dengan suaranya yang serak.

"Namun dengan tidak mengubah anggapan, penguasaan tanah atau lahan telah diteruskan pada jaman jajahan bangsa Jepang. Hal itu hanya dapat merubah kondisi perekonomian sedikit lebih lumayan bagi warga setempat saat itu," sambungnya. Setelah Indonesia merdeka penguasaan tanah atau lahan tersebut dilanjutkan dan atau diambil alih oleh pemerintah, dibawah Presiden Soekarno tentang penguasaan dan pengelolaannya dengan sebutan sebagai PN. Garam.

Pada saat itu, berangkatlah seorang tokoh warga setempat untuk memperjuangkan dan memberitahukan kepada pemerintah (Presiden Soekarno). Orang tersebut bernama H. Moh. Imam. H. Imam menjelaskan kepada pemerintah saat itu, bahwa tanah atau lahan tersebut adalah benar-benar merupakan tanah rakyat atau warga setempat yang diperolehnya secara turun-temurun. Pemerintah saat itu dengan tidak mengubah status hak atas tanah atau lahan dimaksud untuk dialihkan kepada pihak lain, melainkan tetap, tanah atau lahan tersebut merupakan milik warga dan rakyat setempat. Hal itu sesuai perjanjian yang dibuat pada tanggal 7 Agustus 1936 tentang perjanjian sewa-menyewa tanah atau lahan antara warga setempat dengan bangsa Belanda.

Yang Tak Mau Membebaskan Tanahnya, Dianggap Antek-Antek PKI

Pemerintahan pada saat itu tidak berkelanjutan dengan masuknya peristiwa G.30 S/PKI. Sehingga terjadilah suatu pergantian pemerintahan yakni dari pemerinathan orde lama ke orde baru. Adapun tanah atau lahan tersebut pada tahun 1975 (orde baru) pernah mencoba akan membeli secara paksa pada warga atau rakyat setempat, akan tetapi warga atau rakyat tetap bertahan atas haknya tersebut yaitu tanah atau lahan yang sekarang ini dikuasai oleh PN. Garam (nama saat itu).

Yang perlu dicatat, saat orde baru, warga setempat telah banyak mengalami keresahan. Pada tahun 1987 PN Garam lalu merubah menjadi PT. Garam (persero). Dan saat itu mencoba memindahkan warga Karanganyar ke tempat lain. Tentu saja, warga setempat menolak dengan tegas dan bertahan hingga saat ini karena memang lahan atau tanah tersebut adalah milik warga yang diperoleh secara turun-temurun. Menurut penjelasan Ach. Zaini, pada tahun 1975 para petani garam rakyat dari masing-masing kecamatan diberi tahu atau dipanggil berkumpul di suatu tempat, dan pada waktu itu kepala penerangan (Pak Asmawi) menyampaikan maksud, yakni bahwa tanah-tanah warga diperlukan untuk proyek modernisasi PT. Garam (persero) dengan memberikan ganti rugi.

"Tentu saja Pak, para petani garam rakyat menolaknya, karena tanah yang dimiliki kami adalah satu-satunya landasan untuk dijadikan mata pencaharian," ujar Ach. Zaini.Masih menurut pengakuannya, akhirnya saat itu, ada pertemuan lanjutan yang melibatkan Bupati, Kepala Penerangan, anggota DPRD (H. Busrawi) dan kepala Agraria. Dari pertemuan tersebut, warga yang tidak mau membebaskan tanahnya dianggap antek-antek PKI.

"Lho, kalau kami para petani garam tidak memberikan tanahnya untuk dibebaskan, bapak-bapak dalam pertemuan saat itu mengatakan bahwa kami telah menentang pemerintah, tuturnya. "Bahkan kami digolongkan sama dengan antek-antek PKI," katanya tegas. Kemudian pada waktu para petani sudah kebingungan, kepala desa Pinggir Papas yang berusia 75 tahun mengumpulkan para petani pemilik tanah untuk merundingkan tentang pembebasan tanah pegaraman rakyat. Pengarahan dari kepala desa itu, diterima oleh rakyatnya, tapi dengan nada penyesalan sambil menangis.

"Beliau mengatakan bahwa sesungguhnya dirinya tidak rela tanahnya untuk diganti rugi,'' kata Ach. Zaini ''Akan tetapi karena beliau tidak mampu menahan arus tekanan-tekanan dari atasannya, dengan keadaan terpaksa beliau memberikan tanahnya, sekalipun tanah-tanah tersebut diharapkan bisa diwariskan kepada putra-putrinya," jelasnya. Keesokan harinya setelah pertemuan itu, terjadilah penangkapan-penangkapan bagi orang-orang yang masih mempertahankan tanahnya dan ditahan dikodim 0827 Sumenep. "Saat itu, orang yang masih bertahan dan tidak mau memberikan tanahnya ditangkap dan ditahan di kodim 0827 Sumenep," tutur Ach. Zaini yang juga mengaku pernah dipanggil ke kodim itu.

Yang Nekat Menggarap, Dilemparkan Ke Atas Truk

Pertemuan demi pertemuan terus dilakukan. Menurut penuturan warga setempat, dalam pertemuan ulang di Kecamatan Kalianget akhirnya dengan keadaan terpaksa, tanah-tanah tersebut diberikan dengan ganti rugi. Namun petani setempat minta agar tanahnya bisa digarap sampai proyek modernisasi dimulai. "Saat itu, dalam keadaan terpaksa, tanah-tanah kami diberikan untuk ganti rugi, bukan ganti untung Mas," katanya. Keinginan para petani untuk tetap bisa menggarap tanah tersebut, akhirnya dipenuhi oleh PN Garam dengan dikeluarkannya pernyataan bernomor 1222 tanggal 29 Oktober 1975. "Tentu saja, saat itu, kami sangat senang dengan dikeluarkannya pernyataan dari PN Garam bernomor 1222 pada tanggal 29 Oktober 1975," ujar Zaini. Namun kegembiraan itu tak berlangsung lama. Sebab, pada tahun 1985, terjadi pemaksaan kembali. Para petani yang tanahnya diganti rugi disuruh berhenti menggarap tanahnya. Bagi mereka yang nekat menggarapnya, dilemparkan ke atas truk oleh aparat keamanan.

Pada tahun 1986-1989 proyek modernisasi yang direncanakan oleh PT. Garam belum dilakukan. Dan tanah yang dibebaskan secara paksa itu, lanjutnya, pada tahun 1991 disewakan kepada orang-orang terdekat pegawai PT Garam. Menurut H. Ach. Zain, anehnya harga itu relatif murah dengan biaya Rp 1, 5 juta per hektare. "Bayangkan pendapatan garam pertahun sebanyak 75 ton dalam satu hektare per musim. Dan harga satu ton sebesar 500 ribu. Dan tanah garam yang disewakan secara KKN itu seluas 300-400 hektare. Jika dijumlahkan selama delapan tahun lebih, berapa kerugian negara," ujar H. Zain, salah satu petani yang membela tanah garam terhimpun dalam Yayasan Al-Jihad.

Menurut H. Ach. Zain, yayasan Al-Jihad pada bulan Juli 1999 pernah melapor ke Kejaksaan Negeri Suemnep tentang adanya penyewaan yang tidak benar dan bernuansa KKN. ''Saat itu, PT Garam sudah menyanggupi ke kejaksaan untuk mengembalikan tanah garam seluas 300-400 hektare ke petani garam yang terkabung dalam Yayasan Al-Jihad untuk digarap lagi. Tapi sampai sekarang tidak ada realisasi dari janji PT Garam itu," kenang Ach. Zain dengan nada kecewa.

Dikatakan oleh R Herlambang Perdana SH, wakil LBH Surabaya Divisi Pertanahan, upaya yang akan dilakukannya adalah dengan memberi advokasi (penyadaran hukum) kepada para petani garam yang telah dirampas tanah kepemilikannya. Dikatakannya, persoalan terpenting terletak pada keinginan para petani garam untuk merebut kembali hak tanah garam yang dirampas oleh PT Garam, Kalianget.

Dia menengarai perampasan tanah petani garam oleh PT Garam Kalianget dilakukan melalui sindikat lokal kapitalisme yang profesional. Karena itu, Herlambang menambahkan bahwa nantinya ia akan memaparkan sejarah dokumen kepemilikan tanah garam. Setelah para petani garam memahami, akan dilakukan upaya administrasi dengan menekan birokrat terkait untuk menyelesaikannya.

Namun yang jelas, kini ratusan petani garam masih dengan sabar dan tenang menunggu kepastian dari jawaban yang pasti dan jujur dari pihak PT Garam, atas tanah mereka. Sebab kalau tidak, petani akan terus melakukan "perlawanan" sampai tuntutan mereka berhasil. Sekarang pertanyaannya, sampai kapan? Inilah yang menjadi pertanyaan petani garam dan kita semua.

Pertemuan Terakhir Terdapat Ketidaksesuaian

Inilah tuntutan dari bekas pemilik tanah yang pernah dilontarkan tanggal 29 Juli 1998. PT Garam mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dibebaskan secara paksa. Pengembalian tersebut melalui kesepakatan jual beli antara PT Garam dengan bekas pemilik tanah, sepuluh hari kerja terhitung dari tanggal tersebut. Unjuk rasa pada tanggal 29 Juli 1998, sebenarnya merupakan kelanjutan unjuk rasa yang dilakukan ke DPRD II Sumenep tanggal 15 Juni 1998. Selanjutnya DPRD Sumenep beberapa kali melakukan pertemuan, dialog, dan peninjauan lapangan bersama wakil PT Garam dan wakil pengunjuk rasa untuk mencari pemecahan yang bisa memenuhi harapan kedua belah pihak.

Sementara DPRD II Sumenep dan PT Garam mekakukan pendataan dan evaluasi, namun dari pihak pengunjuk rasa tidak sabar menunggu hasil tersebut, sehingga akhirnya wakil pengunjuk rasa minta bantuan LSM (KRAN) untuk membantu menyelesaikan permasalahan dengan PT Garam. Ketika proses pemecahan masalah sedang dilakukan dan belum tuntas kemudian terjadi unjuk rasa tanggal 29 Juli 1998 ke Kantor PT Garam.

Langkah-langkah yang sedang dilaksanakan oleh PT Garam, baik bersama DPRD dan wakil LSM (KRAN) serta wakil pengunjuk rasa antara lain: Pertemuan antara kuasa hukum bekas pemilik tanah, Komisi E DPRD II Sumenep, dan PT. Garam (persero) dilaksanakan tanggal 16 Juni 1998 di ruang pertemuan DPRD. Tanggal 18 Juni 1998 di PT Garam dilakukan pertemuan antara Komisi E DPRD II Sumenep dengan PT Garam (persero). Tanggal 18 dan 20 Juni 1998 peninjauan lapangan oleh DPRD II Sumenep dan PT Garam untuk lokasi utara dan selatan.

Tanggal 27 Juli 1998 pertemuan tindak lanjut hasil kunjungan lapangan. Tanggal 20 Juli 1998 pertemuan di PT Garam antara PT Garam dan DPRD II Sumenep membahas pemecahan masalah tuntutan sebagian bekas pemilih tanah. PT Garam mengemukakan bahwa terhadap tanah yang telah dibebaskan dimasksud tidak mungkin untuk dijual kembali sebagaimana tuntutan para pengunjuk rasa karena tanah bagian selatan tersebut telah dibangun satu kesatuan lahan pegaraman yang dikenal dengan nama proyek Renovasi/Modernisasasi Madura Timur fase I dan II yang saat ini dikenal nama pegaraman I dengan kapasitas produksi pada iklim normal sebesar 150.000 ton/tahun.

Bagian utara masih dalam tahap pengembangan secara bertahap dengan nama proyek renovasi Madura Timur fase III, sehingga lahan tersebut sebagian masih belum termanfaatkan mengingat pengembangan belum selesai dan diperkirakan akan selesai tahun 2001. Terhadap tanah bagian selatan yang tersisa (tidak ikut renovasi) yang saat ini digarap dengan cara bagi hasil/sewa oleh sekelompok penggarap lama atau bekas pemilik tanah yang dibebaskan oleh PN Garam, akan diadakan penataan ulang sehingga diharapkan sebagian tanah tersebut dapat diberikan kepada sebagian pengunjuk rasa dengan cara yang sama seperti penggarap yang lama.

Sedangkan terhadap tanah bagian utara, PT Garam rencananya akan memberikan dengan cara yang sama seperti bagian selatan. Dalam pertemuan berikutnya dicoba mengadakan pendekatan keinginan kedua belah pihak yakni menginventarisasi bersama jumlah pemilik dan luas lahan produktif yang dibebaskan oleh PT Garam. Disamping itu, PT Garam juga mengadakan inventarisasi terhadap kemungkinan pengurangan luas lahan dan jumlah lama (terhadap lahan non produktif) yang diharapkan kelebihan ini akan diberikan dengan sistim sewa/bagi hasil kepada pengunjuk rasa untuk memenuhi tuntannya.

Namun, dalam pertemuan terakhir terdapat ketidaksesuaian, karena pihak pengunjuk rasa tetap menuntut agar tanah yang dijual kepada PT Garam dikembalikan kepada bekas pemilik, karena tanah-tanah tersebut merupakan satu-satunya lahan mata pencaharian mereka. Tawaran PT Garam memberikan lahan non produktif yang telah digarap oleh penggarap lama, tidak bisa diterima karena luasnya terlalu sedikit. Para pengunjuk rasa juga menolak garapan dengan sistim sewa apabila para penuntut mau menerima luas lahan tanah yang disediakan oleh PT Garam.

Dari hal-hal tersebut diatas, usaha musyawarah dan pendekatan dengan pengunjuk rasa melalui wakil-wakilnya sementara mengalami hambatan, sehingga masih menunggu perkembangan lebih lanjut melalui tokoh-tokoh yang membantu penyelesaian masalah ini. Masihkah, musyawarah antara PT Garam dan petani pada Rabu (24/11) yang telah membentuk tim kecil juga akan mengalami nasib yang sama? Kita tunggu saja hasilnya! (rasul junaidy)