back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
No. 50 Tahun II 31 Maret 199 |
Panji Masyarakat |
Bila Celurit Beradu dengan Parang
Kerusuhan Sambas: ‘Perang’ etnis kembali menyapu wilayah Kalimantan Barat. Mengapa konflik personal mudah menjurus ke arah bentrok massal?
Akal sehat sungguh makin mahal saja harganya. Lihat saja apa yang terjadi di Ambon, dan kini mewabah ke Sambas, Kalimantan Barat. Perkelahian berdarah antaretnis yang melibatkan etnis Melayu-Dayak-Cina di satu sisi, berhadapan dengan etnis Madura di sisi lain, merebak di kota yang jauhnya kurang lebih lima jam perjalanan darat dari Pontianak itu.
Pekan-pekan ini, kelompok etnis Melayu-Dayak-Cina terus melakukan patroli di sejumlah ruas jalan. Mereka secara agresif memburu warga masyarakat yang diduga dari etnis Madura. Bahkan bila mereka mendapati rumah orang Madura, dan penghuninya sudah kabur, mereka pun membakarnya. Hingga Senin lalu aksi amuk massa masih mewarnai Sambas, bahkan meluas hingga kecamatan Pemangkat, Tebas, Sambas, Jawai, Samalantan, Sanggau Ledo, Selakau, Sungairaya, Sungaiduri, Tujuhbelas, dan Roban, semuanya di Kabupaten Sambas.
Tentu saja orang-orang Madura lintang pukang. Arus pengungsi membanjiri Kota Pontianak. Hingga Selasa dini hari, diperkirakan lebih dari 10.000 orang meninggalkan rumahnya. Aparat juga terus mengevakuasi kaum pendatang dengan mengerahkan dua kapal perang milik TNI AL, KRI Imam Bonjol, KRI Teluksabang, satu pesawat pengintai Nomad, dan puluhan truk. Ribuan calon pengungsi yang menunggu giliran diangkut masih saja memadati Markas TNI AU Lanud Singkawang II Sanggau Ledo dan beberapa tempat penampungan sementara di Desa Sabaran, Jawai, Kompi B Pemangkat, Kompi A Sambas, Secata B Pasir Panjang, dan Desa Panjajab.
Akibat ‘perang’ antaretnis yang meledak sejak Ahad, 14 Maret 1999 lalu, hingga Selasa pekan ini, di Posko I tercatat korban meninggal 165 jiwa, luka berat 39 orang, dan luka ringan sembilan orang. Korban meninggal umumnya akibat senjata tajam. Bahkan banyak di antaranya kehilangan kepala. Selain itu, 2.142 rumah hangus dibakar, 153 lainnya di rusak, empat mobil dibakar, dan enam lainnya dirusak.
Aparat keamanan pun melancarkan razia senjata tajam dan senjata api milik kelompok yang bertikai guna meredam pertikaian. Razia itu berhasil menyita 995 senjata tajam dan 350 senjata api rakitan. Bersamaan dengan itu Kapolda Kalbar Kolonel (Pol.) Chaerul R. Rasyidi memberlakukan perintah tembak di tempat guna meredam aksi anarkis massa. "Kami terpaksa melakukannya. Hingga sekarang tercatat 12 orang yang terkena tembakan," ujarnya. Bahkan untuk mengamankan situasi, Pangdam VI/Tanjungpura Mayjen TNI Zainuri Hasyim mengatakan bahwa ABRI akan mengirimkan satu batalion plus Pasukan Penindak Kerusuhan Massa ke Sambas, Selasa. "Kami tidak mau ambil risiko. Pengiriman pasukan tersebut untuk mencegah agar kasus Ambon tidak terulang," ujarnya kepada pers usai menghadap Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, Senin lalu. Sebelumnya sudah ada bantuan tiga satuan setingkat kompi (SSK).
Pemicu bara yang berkobar di bumi Sambas memantik pada 17 Januari silam. Saat itu Hasan bin Din warga Desa Sari Makmur Rambaian, Tebas, yang mencuri di rumah Amat bin Tajuin, 26, warga Desa Paritsetia, Jawai, tertangkap basah. Akibatnya, pelaku yang beretnis Madura itu dihakimi massa. Saat itu warga Paritsetia yang mayoritas beretnis Melayu sudah mencium bakal terjadi serangan dari etnis Madura ke desa mereka. Sayang, laporan "intelijen" warga Melayu ini tidak digubris aparat dengan alasan kurang tenaga. Benar saja, dua hari berselang mereka diserang kerabat Hasan. Penyerangan pada hari pertama Lebaran itu menyebabkan tiga warga Paritsetia tewas, yakni Wasli, Mahli, dan Ayub. Sementara Rasyim Ayub dan Pani Bujang luka berat. Suasana mulai memanas.
Pada 23 Januari, ditengahi muspida setempat, dibuatlah kesepakatan damai antara kedua pihak yang bertikai. Namun tak sampai sebulan, 21 Februari, terjadi lagi keributan. Rodi bin Muharap, seorang preman Madura tak mau bayar ongkos naik bus. Kenek bus, Bujang Lebik bin Idris, jengkel. Terjadilah adu mulut yang berbuntut penusukan terhadap Bujang hingga luka-luka. Kejadian ini membuat amarah, yang sempat teredam, kembali berkecamuk. Dalam sekejap beredar isu, Bujang tewas ditikam Rodi. Tak pelak isu ini menyulut serbuan warga Melayu ke perkampungan Madura di kecamatan Pemangkat, Jawai, dan Tebas. Untuk kedua kalinya, pada 27 Februari ditandatangani kesepakatan yang melarang kedua pihak membawa senjata tajam atau senjata api.
Ternyata kesepakatan ini pun hanya mampu meredam ‘perang’ selama dua pekan. Saling bunuh kembali merebak setelah Ibrahim, yang beretnis Madura, bertandang ke desa tetangga pada pertengahan Maret lalu seraya membawa celurit. Teguran seorang pemuda membuat keduanya terlibat perkelahian. Ujung-ujungnya perkelahian massal pun tak terelakkan.
Inilah Kalbar. Kapolda Kalbar Kolonel (Pol.) Chaerul R. Rasyidi sendiri mengakui wilayahnya rawan soal SARA. "Kalau ada pemicu, apalagi yang berasal dari pendatang, cepat sekali. Meskipun masalahnya sepele," katanya kepada Panji. Peristiwa demikian bukan sekali-dua kali terjadi, bahkan sudah berlangsung sejak belasan tahun lalu. Pada 1989 misalnya, perkelahian antara etnis Dayak melawan Madura membawa korban puluhan orang tewas sia-sia. Saat ini jumlah warga Madura di Kalbar sekitar 300.000 jiwa dari total penduduk Kalbar sebanyak 3,7 juta jiwa. Di Kabupaten Sambas, warga Madura tercatat 10% dari total penduduk sebanyak 900.000 jiwa--berarti 90.000 orang.
Gubernur Kalbar Aspar Aswin mengatakan, salah satu faktor pemicunya adalah ketidakmampuan warga pendatang menghormati adat istiadat masyarakat setempat. "Seharusnya mereka menerapkan pepatah yang menyebutkan ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’," ujarnya. Hal ini dibenarkan Julius Hadi Susetyawan, anggota Bankom Dewan Adat Dayak Kanayatan. "Etnis Madura kurang bisa menyesuaikan diri," ujarnya.
Sikap dan budaya masyarakat etnis Madura yang selalu membawa senjata tajam ke mana pun pergi memberi peluang konflik. Sebab, kebiasaan itu tidak lazim di kalangan suku Melayu. "Kalau dia bawa parang di Madura tidak apa-apa. Tapi ini kan daerah orang lain. Kami orang Melayu tidak menyukai mereka yang selalu membawa senjata tajam. Risih dan ngeri rasanya," ucap Rustam Effendi, tokoh masyarakat Melayu.
Ada sisi lain yang dilihat Prof. Dr. Wan Usman, M.A., tokoh masyarakat Dayak, sebagai pemicu konflik. Kebanyakan para pendatang etnis Madura kurang berpendidikan dan masuk dalam kelas status sosial ekonomi rendah, dan membawa watak yang kasar. Merekalah yang kerap menimbulkan gangguan. Dalam kurun yang lama sikap itu menghasilkan akumulasi kejengkelan warga asli. "Selama ini etnis Melayu dan Dayak selalu menghindari konflik dengan etnis Madura. Tetapi lama kelamaan kesabaran mereka habis," tambahnya.
Ditambahkan Julius, gangguan merembet hingga mengklaim tanah yang dipinjamkan penduduk asli sebagai miliknya secara sah. Namun pernyataan itu segera dibantah KH Fuad Amien Imron, tokoh masyarakat Madura. "Mereka tinggal di sana tidak gratis. Tanah yang mereka tempati dulu itu dibeli," kata Wakil Ketua Badan Silaturahmi Ulama Madura (Bassra).
Ucapan Fuad memang ada benarnya. Seperti diakui Dekan Fisipol Universitas Tanjungpura, Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie, M.Sc., meski dari kelas bawah, warga pendatang ini umumnya memiliki etos kerja yang tinggi. "Tak heran mereka banyak yang sukses dan hidup mapan di Kalbar," ucapnya. Kenyataan ini membuat kesenjangan sosial antara kaum pendatang dan penduduk asli makin jauh.
Kenyataan ini juga diakui Fauzi, seorang warga Kalbar yang kini mukim di Jakarta. "Mereka sangat rajin menggarap tanah keluarga kami," katanya. Selain etos kerja yang tinggi, naluri bisnisnya pun mengagumkan sehingga sedikit demi sedikit mereka bisa mengumpulkan kekayaan. "Bahkan mereka mampu menunaikan ibadah haji lebih dulu ketimbang ayah saya, pemilik tanah yang mereka garap," kata Fauzi. Lambat laun mereka menguasai tanah dan sumber-sumber kehidupan ekonomi di kawasan itu. Dari situlah bermula munculnya kecemburuan sosial penduduk asli Kalbar terhadap pendatang Madura yang mapan.
Namun lain lagi yang ditiupkan Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid. Ia menengarai ada unsur politisnya. "Ada provokator di Sambas. Polanya sama dengan kasus Ambon," ujar Abdurrahman Wahiud, meski kali ini ia tak menyebut inisial nama sang provokator. Pernyataan Abdurrahman ini ditampik Wan Usman, yang juga ketua Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Pascasarjana UI, dan ulama asal Sampang, KH Alawy Muhammad. "Itu hanya perbuatan manusia, ada yang baik ada pula yang brengsek. Sama sekali tidak ada unsur politisnya," kata Alawy. KH Alawy mengimbau warga Madura menahan diri. Menurut tokoh PPP ini, untuk mengatasi kasus Sambas, aparat harus segera mengamankan keadaan sebelum dilakukan dialog perdamaian. "Setelah aman baru diadakan dialog. Tetapi kedua pihak jangan menunjukkan sikap ingin menang sendiri," ucap Alawy.
Senada dengan itu, Alqadrie berpendapat, dalam jangka pendek sebaiknya warga Madura diungsikan untuk menghindari saling bunuh. Ia juga menilai pentingnya ketegasan aparat untuk mencegah terulangnya konflik, di samping dialog antartokoh masyarakat. Dalam jangka panjang, menurut dia, sebaiknya didatangkan ulama Madura yang memiliki kemampuan dan wawasan hablum minannas (hubungan sesama manusia) untuk membimbing kaum pendatang. "Kaum pendatang yang memiliki ulama dalam kapasitas itu ternyata dapat hidup berdampingan dengan warga asli secara damai," katanya. Wan Usman pun mengusulkan proses seleksi terhadap kaum pendatang guna menghindari potensi konflik. "Bagi mereka yang tidak jelas tempat tinggal dan pekerjaannya sebaiknya dipulangkan ke Madura. Tetapi tidak bagi yang sudah mapan," katanya.
Sementara sosiolog UI Sardjono Jatiman menilai, solusi kasus Sambas tak cukup dengan acara seremonial yang hanya melibatkan tokoh formal. Cara penyelesaian seperti ini hanya mampu meredam sesaat. Pemerintah harus mencari tokoh yang mengakar dalam masyarakat untuk duduk dan membicarakan persoalan yang ada. Termasuk kemungkinan persoalan ketidakadilan. Ia juga menilai toleransi yang ada selama ini hanya sebatas slogan. "Selama ini pemerintah tidak pernah membangun toleransi. Ini terlihat tidak adanya pusat kajian multietnis. Sehingga, antarsuku atau agama asal makan dan duduk bersama sudah dianggap toleran," katanya. Padahal, sikap toleransi baru teruji saat berinteraksi di dalam masyarakat.
Ratusan nyawa telah melayang, puluhan ribu orang terpaksa kehilangan tempat tinggal dan tercerai-berai dari sanak keluarganya. Tak berlebihan kiranya tuntutan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri terhadap pemerintah Habibie untuk serius menangani kasus ini. "Kalau merasa sebagai pemimpin, datang dan lihat langsung ke Sambas. Agar informasi yang didapatkan benar-benar akurat sehingga dapat menyelesaikan kasus dengan tuntas," ujarnya. Rupanya menyampaikan rasa prihatin pun jadi komoditas saat ini.
Yunita Trihandini
Laporan: Agung Y. Achmad, Almaidha Sitompul, Elly Burhaini Faizal, Nurdin Saleh (Surabaya), dan Pahrian Ganawira (Pontianak)