back | |
Serambi DEPAN |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Jumat 30 April 1999 |
Suara Pemabaruan |
Kalau sejarah pendidikan kita berjalan benar, maka setelah 54 tahun merdeka, kehidupan bangsa Indonesia mestinya sudah mencerminkan tingkat keterdidikan yang tinggi. Undang-undang Dasar kita mengamanahkan begitu. Setengah abad bukan waktu yang pendek. Mestinya sekarang sudah lebih jelas apa itu pendidikan manusia seutuhnya.
Mestinya sudah tecermin kecerdasan kehidupan bangsa. Mestinya, tetapi belum. Bahkan tragis sekali, bahwa justru pada hari-hari ini terdengar suara menyentak tentang "pendidikan pembodohan" rakyat, keterpasungan daya pikir dan matinya motivasi mereka untuk menjadi learning society, masyarakat belajar, yang sudah begitu sering diperkatakan, tetapi yang belum pernah wujud. Dan suara menyentak itu (di telinga tertentu), ternyata mengandung kebenaran.
Tetapi, kalau konstatasi itu masih diragukan, masih banyak fakta lain yang tidak mungkin diingkari. Lima puluh empat tahun setelah merdeka, bangsa ini ternyata lebih mampu memecahkan masalah apa saja yang mereka hadapi dengan perilaku tanpa iman, tanpa nalar, tanpa moralitas, bahkan tanpa sopan-santun sekalipun. Tidak pernah terbayangkan, di negara ber-Pancasila ini, tiba-tiba manusia Indonesia saling menghujat, saling menghina, saling membunuh, saling berperilaku di luar harkat manusia beradab.
Apakah itu hasil pendidikan? Tentu bukan. Itu bukan hasil pendidikan. Namun itu menggambarkan kegagalannya. Melalui pendidikan, bangsa ini masih belum betul-betul memahami pendekatan penyelesaian suatu konflik secara beradab, karena konflik bangsa "diselesaikan" di dalam dan oleh satu sistem kekuasaan otoriter yang jauh lebih kuat dari sektor pendidikan yang ada. Pencerdasan? Bukan. Inilah contoh pembodohan.
Apa yang betul, dan yang salah, yang terjadi sekarang, dapat dipetik sebagai pelajaran yang berharga, walaupun dapat dipertanyakan, apakah bangsa ini harus terlebih dahulu membayarnya sangat mahal untuk menarik hikmahnya. Setengah abad pendidikan yang mempertahankan stabilitas yang disepuh dan kerukunan buatan, hasilnya ternyata tidak dapat mengimbangi hempasan krisis. Pengaruh positif pendidikan rupanya begitu dangkal, sehingga gejolak sosial ekonomi dan sosial politik begitu cepat menimbulkan krisis total di dalam kehidupan berbangsa. Ataukah memang sudah seharusnya begitu dan tidak perlu dipersoalkan?
Hampir semua orang yang menyatakan ketidakpercayaan mereka kepada sesama warga negara, kini menyatakannya tidak dengan cara-cara yang diajarkan melalui pendidikan, apalagi melalui jalan agama. Bangsa ini bahkan telah dapat dipandang mulai mengidap rasa kecurigaan paranoid. Mengapa kita hari ini "berkembang" sebagai bangsa yang saling mencurigai? Mengapa sekarang kita merasa tidak aman di dekat sesama bangsa yang kebetulan kita belum kenal?
Adakah ini hasil pendidikan kecurigaan? Adakah pendidikan ketakutan? Tidak ada bangsa yang dapat menjadi bangsa yang besar di atas landasan kecurigaan dan ketakutan. Dunia pendidikan pasti tahu sekali hal itu. Jadi, kalau bukan karena pendidikan, entah di mana kita harus mencari biang keladinya.
Falsafah Pendidikan
Ada yang menyebut fenomena itu sebagai bukti telah terjadinya setback. Kalau betul demikian, dan kalau kebetulan terjadi pada seorang warga negara saja, mungkin fenomena ini tidak pernah berdimensi nasional. Namun karena bukan hanya seorang, melainkan seluruh bangsa sudah terimbas, maka wajar apabila dipertanyakan. Namun, kepada siapa? Wajarkah pertanyaan ini ditujukan kepada sektor pendidikan? Atau apakah sektor pendidikan memang hanya harus menjadi akibat saja dari pembangunan, apa pun, sehingga tidak harus ikut bertanggung jawab mengenai fenomena tersebut?
Benar bahwa di dalam situasi tertentu, pendidikan adalah hasil (jadi akibat) dari budaya yang melahirkannya, tetapi tidak hanya sampai di situ. Pendidikan dilahirkan untuk menjadi kekuatan penyebab! Kita harus menjadikan pendidikan sebagai penyebab terwujudnya perubahan (baca: pembangunan) yang berencana. Di dalam falsafah pendidikan nasional, jelas pendidikan diberi peran penyebab. Di dalam setiap Repelita, pendidikan dijadikan tulang punggung pembangunan. Karena itu, pendidikan tidak luput dari tanggung jawab.
Dari Repelita ke Repelita, pendidikan selalu diberikan peran terhormat untuk menjadi tulang punggung pembangunan umumnya, pengembangan sumber daya manusia khususnya. Sebuah euforia pendidikan telah berkembang sejak kemerdekaan. Begitu banyak dan begitu besar harapan bangsa ini digantungkan kepada pendidikan. Bangsa ini mempercayai bahwa kalau saja sumber daya manusia telah berkembang dan berdaya -- pendidikan adalah penyebabnya, maka dengan tingkat keterdidikan itu, bangsa ini akan mampu mengolah kekayaan sumber alam, dan mampu menghasilkan apa saja dengan kualitas yang tinggi, yang berarti mampu menghasilkan produk dengan nilai ekonomi yang tinggi.
Dan kalau jalannya benar, yakni kalau pendidikan tampil sebagai penyebab kemajuan, maka proses itu akan berlanjut dan kekuatan ekonomi akan bertambah. Itu memungkinkan investasi lebih besar di bidang pendidikan, yang akan mendidik sumber daya manusia semakin berdaya, yang akan meningkatkan kemakmuran semakin besar.
Dengan lain perkataan, pendidikan di sini menjadi penyebab terjadinya pertumbuhan dan perkembangan. Keberhasilan pendidikan bersangkut-paut langsung dengan kemakmuran bangsa. Itu sebuah aspirasi. Namun setelah setengah abad, das Sein tetap berbeda daripada das Sollen. Euforia mulai padam, dan orang mulai bertanya, mengapa peran strategis itu tidak wujud.
Seringkali orang menunjuk pada kurangnya biaya pendidikan sebagai faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yang dihasilkan. Mungkin itu betul, tetapi pastilah bukan hanya karena itu. Dengan uang yang melimpah untuk membiayai program pendidikan yang tidak benar, uang hanya akan menjadi kutukan, karena uang tersebut membelanjai pendidikan yang salah.
Selain uang, seringkali juga orang menunjuk pada rendahnya mutu guru yang bertugas di garis terdepan pendidikan generasi muda. Memang itu mungkin betul juga, bergantung pada kriteria kualifikasi yang diterapkan. Memang, kita menghadapi risiko yang besar bila mempercayakan pendidikan generasi muda kepada guru yang tidak paham tugasnya.
Andaikata pun setiap guru pada dasarnya adalah guru yang memenuhi semua persyaratan, adakah yang dapat berprestasi memuaskan di dalam kondisi kerja yang tidak kondusif dan program yang kurang relevan? Lalu bagaimana? Tidak cukup sekarang kita hanya berkata, bahwa kelak, apabila uang sudah cukup, dan kelak, apabila semua guru sudah bermutu, maka pasti pendidikan akan berhasil. Pertama, karena "kelak" ini hanyalah dalih apologetik; kedua, karena bukan hanya uang dan guru yang menjadi variabel.
Kalau untuk menghadapi tugas kependidikan bangsa di masa lalu saja pendidikan ternyata belum mampu mencapai hasil yang gemilang, maka dengan kondisi yang tetap sama tetapi dengan tugas yang semakin kompleks, pendidikan akan menjadi semakin tidak berdaya. Pendidikan masa lalu, yang terpelihara sampai hari ini, bukan lagi pendidikan yang diperlukan di masa depan. Pendidikan masa lalu telah menjalankan perannya, dan telah memberikan kontribusinya. Namun, agar pendidikan tersebut tidak ditelan oleh keterbelakangan, sekarang diperlukan inovasi.
Bahkan mungkin yang diperlukan adalah reformasi. Ini bergantung pada pengertian dan penilaian kita mengenai kondisi pendidikan sekarang, dari sudut kebutuhan masa depan. Apa pun namanya, inovasi atau reformasi, yang diperlukan adalah perubahan. Agar pendidikan dapat menjalankan perannya sebagai tulang punggung pembangunan, pendidikan harus berubah. Ini menjadi keharusan.
Perubahan di dalam dunia pendidikan menjadi imperatif karena sekarang diperlukan pendidikan dengan peran baru. Yang diperlukan adalah pendidikan yang mampu mengantisipasi masa depan, bukan yang sekadar membela masa lalu. Yang diperlukan adalah pendidikan yang di dalam dirinya hidup kekuatan bertumbuh, berkembang, berubah, tanpa harus diintervensi. Yang diperlukan adalah pendidikan yang mampu tampil dengan sadar sebagai pendidikan perkembangan, pendidikan pembangunan, pendidikan kemajuan.
Peran strategis ini menempatkan pendidikan di dalam posisi yang strategis. Pendidikan dijadikan potensi untuk memberdayakan bangsa. Itu seharusnya. Namun di dalam kenyataannya, tidak sedikit program dan aktivitas pendidikan yang dikenal di masa lalu, berpengaruh justru hanya mengatrofikan, bukan memberdayakan bangsa.
Itulah yang merangsang timbulnya berbagai pengamatan yang negatif mengenai proses dan hasil pendidikan. Kriteria keberhasilan pendidikan masa lalu (sampai sekarang), ialah apabila generasi muda dengan patuh menerima warisan pendidikan yang diturunkan oleh generasi pendahulunya. Dan apabila generasi muda mampu menyesuaikan diri dengan norma serta moral masa lalu. Tegasnya, pendidikan dinilai berhasil apabila apa yang terjadi hari ini adalah pengukuhan, bukan peningkatan, hasil hari kemarin.
Pendidikan tidak menghendaki perubahan. Dari sudut pandang itulah dirumuskan arti kerukunan, toleransi, partisipasi, keserasian, keseimbangan, dan kesadaran generasi muda. Semuanya dirumuskan dengan konotasi politik kekuasaan, bukan sebagai manifestasi keterdidikan bangsa. Tetapi sekarang, bukan itu lagi yang diperlukan untuk menyongsong besok.
Perubahan sudah datang dan kini telah menjadi ciri kehidupan. Besok, perubahan akan bersenyawa dengan kehidupan, sehingga hampir-hampir identik. Sebagaimana dengan hakikat perubahan, maka di dalam kehidupan pun diperlukan keterbukaan, dinamika, dan kreativitas. Di dalam kehidupannya sejak dilahirkan, setiap manusia harus mampu mengantisipasi perubahan; bahkan harus mampu merencanakan perubahan, menciptakan perubahan, dan mengelola perubahan. Kemampuan, yang di dalam pendidikan pola lama tidak pernah dimimpikan. Pendidikan pola lama sudah tidak ada tempat di dalam kehidupan semacam itu!
Pendidikan masa lalu tertutup; pendidikan masa depan terbuka. Masa lalu mempertahankan; masa depan merintis. Masa lalu mewariskan; masa depan menciptakan. Jenis kecerdasan manakah yang kita inginkan menjadi ciri bangsa ini? Kedua jenis pendidikan tersebut mempunyai pandangan tersendiri mengenai pencerdasan kehidupan bangsa.
Itulah sebabnya yang satu melihat sebagai pencerdasan, yang lain melihatnya sebagai pembodohan bangsa. Lebih dari 30 menteri pendidikan kemudian, di dalam waktu setengah abad ini, problem keterdidikan malah menjadi semakin runyam. Jawaban yang jelas belum ditemukan, karena pertanyaan yang tajam belum tuntas dirumuskan. Jadi kepada penanggung jawab pendidikan di negeri ini kita bertanya: apa agenda utama pendidikan nasional sekarang? Mudah-mudahan pertanyaan ini wajar, dan mudah-mudahan tidak salah alamat.***