back | |
Serambi DEPAN |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
23 Mei 1999 | Suara Pembaruan |
Walaupun telah lengser dari kedudukannya sebagai Rektor IKIP Jakarta dan sudah lereh pula dari jabatannya sebagai Ketua Pusat Kurikulum, Prof Dr Connie Semiawan masih tetap tangkas. Micara (eloquent) mengartikulasikan gagasannya. Sigap menjawab pertanyaan dan kecaman pendengarnya.
Dalam suatu sarasehan di Hotel Sahid Jaya sekitar pertengahan Februari yang lalu, ia mengatakan bahwa Bildung is das, was bleibt, wenn man alles Gelernte Vergessen hat. Pendidikan ialah apa yang tersisa setelah kita lupa akan segala yang kita hapalkan. Lalu tambahnya: "Ini ditulis secara matematis oleh Prof Dr Ir Andi Hakim Nasoetion: C = B-A. Bagaimana agar C maksimal?"
Saya kira yang ia maksudkan ialah bagaimana agar C optimal. Dan pertanyaan ini dijawab seorang peserta sarasehan itu: "Ya, dinolkan saja A-nya!" Kata Connie: "Tetapi itu mustahil. Tak ada orang yang mampu mengingat semua yang telah dipelajarinya".
Lalu ia bercerita tentang seorang guru besar yang pergi ke bioskop bersama istrinya, tetapi lupa membawa istrinya pulang setelah pertunjukan film itu selesai. Setiba di rumahnya, Sang Profesor bingung mencari istrinya. Ia lupa bahwa istrinya tadi ditinggalkannya di gedung bioskop.
Cerita Connie itu kisah nyata. Profesor itu boss-nya Connie sendiri semasa ia menjadi pejabat di Balitbangdikbud. Saya tahu bahwa Pak Profesor itu memang suka menonton film. Pernah dia dan saya sama-sama mengikuti suatu konferensi di MIT. Ketika ada waktu luang, kami menonton film di suatu gedung bioskop di Boston. Pergi-pulang Cambridge-Boston naik bus kota. Pulangnya, turun dari bus hujan mengguyur Cambridge. Terpaksalah kami berdua joging in the rain ke kampus MIT.
Pertanyaan Connie tadi kemudian dijawabnya sendiri: "Pendidikan yang maksimal dicapai, kalau A adalah konsep-konsep yang esensial." Connie memang pendekar CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Semasa ia menjadi Ketua Pusat Kurikulum, ia mempromosikan CBSA setelah proyek ujicobanya di SD-SD Cianjur sukses besar.
Dalam CBSA diusahakan agar aspek-aspek kognitif, psikomotorik dan afektif - dan bahkan emotif juga - terjalin menjadi kegiatan yang menghadirkan keasyikan belajar. Siswa tidak dicekoki informasi yang harus mereka hapalkan sampai titik-komanya, seperti model PMP di masa Orba. Melalui keasyikan belajarnya, mereka "menemukan sendiri" apa yang ingin mereka pahami.
Guru bertindak sebagai fasilitator yang sesekali melontarkan pertanyaan yang sekaligus menggelitik dan mengarahkan. Jadi, seperti pertanyaan-pertanyaan Socrates kepada budak yang sedang belajar menemukan kebenaran dalil Pythagoras, dengan disaksikan Meno, sahabat Socrates.
Tetapi bukan PBM (proses belajar-mengajar) semacam itu yang kami saksikan di sebuah SMA favorit di Bandung. Waktu itu, Prof Jim Eggleston dari Universitas Nottingham dan saya, sedang mempersiapkan suatu penelitian pengamatan kelas (class observation research). CBSA yang kami lihat di SMA terbaik di Bandung itu sungguh-sungguh amburadul.
Guru hanya menunjuk seorang siswa untuk berperan sebagai fasilitator, lalu ia sendiri tak lagi tampak batang hidungnya. Si "guru sulih" (subtitute teacher) mengajukan sederetan pertanyaan yang mengacu ke praktikum yang telah dikerjakan oleh siswa-siswa di kelas itu, yang semuanya adalah temannya sendiri. Aneka jawaban dilontarkan para siswa. Suasananya santai, seperti arena sabung ayam. Penyelewengan "Apa saja boleh"-nya Paul Fayerabend terjadilah. Akhirnya mereka sampai ke kesimpulan, dan kebenaran kesimpulan itu ditetapkan secara demokratis dan terbuka, dengan melihat perimbangan pro-kontranya!
Itu sih, bukan CBSA. Bahkan bukan latihan pengambilan keputusan secara demokratis. Kalau boleh vulgar dan jorok sedikit, "PBM-CBSA" macam itu bisa disebut sesuai dengan ungkapan: "One million flies can't be wrong. Eat shit!" Sejuta lalat tak bisa salah. Santaplah tinja! Itulah bahayanya kalau kita sok demokratis, sehingga keputusan penting yang menyangkut persoalan yang sulit diserahkan kepada massa yang tidak paham betul tentang masalah tersebut.
Proses demokratis dalam "CBSA" di Bandung itu, bahkan bukan pentasdikan (validation) kebenaran keilmuan secara intersubjektif, sebab para penentunya bukan pakar yang telah meneliti masalah tersebut secara mandiri (tanpa saling menyontek) dengan cara, bahan, dan perangkat perantinya masing-masing.
Maka dalam sarasehan tersebut di atas saya nyeletuk: "Tetapi, Bu Connie, CBSA yang kami lihat di lapangan koq amburadul?" Dikritik begitu, Connie tidak marah. Ia tetap tegar dalam keyakinannya pada CBSA. Kalau sampai tidak beres, pastilah ada yang salah dalam pelaksanaannya. Misalnya, gurunya tidak memahami CBSA dan belum dilatih dalam teknik pelaksanaannya.
Ya, saya puas dengan jawaban. Connie pun menyetujui "rumusan" saya tentang pendidikan, yakni "Pendidikan ialah pertemuan pikiran yang telah berkembang dengan pikiran yang sedang mekar". Tetapi itu bukan sekadar pertemuan sekilas-lintas, melainkan lebih merupakan interaksi yang aktif. Ia membuahkan transaksi intelektual antara pihak-pihak yang berinteraksi.
Ini berarti bahwa terjadi perubahan dan perkembangan skemata pemahaman, psikomotorik dan sikap, terutama pada kuncup yang sedang mekar itu, yang tecermin pada keputusannya untuk bertindak (atau tidak) dalam menghadapi suatu situasi dan pada perilakunya. Jadi seperti Connie Semiawan, saya juga melihat pendidikan secara konstruktivistik sebagai perkembangan skemata Piaget-an dalam aspek-aspek cipta (kognisi), karya (psikomotorik), karsa (afektif) dan rasa (emosi).
Memang CBSA, seperti banyak konsep/gagasan lainnya, lebih mudah dikatakan daripada dikerjakan. Lihat saja, betapa mudahnya tokoh-tokoh pemimpin kita sekarang ini ngomong tentang reformasi, demokrasi, paradigma baru, pemilu yang luber dan jurdil, kesatuan dan persatuan, dan sebagainya. Namun kenyataannya ...?
Bahkan JPS pun konon menghadirkan LSM-LSM tiban yang ikut bancakan duit! (Ini saya sontek dari salah satu entri lomba reportase jurnalisme investigatif Pers Kampus se-Indonesia.) Agaknya kita masih harus menanti datangnya "pendekar pedang naga puspa" [Liong Hwa Kiam Hiap (?)]. Simpul Gordian yang harus ditebas masih banyak, di sepanjang jalur birokrasi di bidang apa pun! ***
Penulis adalah fisikawan, dosen senior UKSW Salatiga dan Unsadar, Yogyakarta.