Madura Setelah 'Petteng Calemodan': Omzet Bisnis Miliaran Rupiah Menguap
Terjadinya pemadaman aliran listrik di Madura karena kerusakan kabel bawah laut dari Jawa ke Madura benar-benar membawa "petaka" bagi masyarakat Madura. Sejumlah pengusaha menengah dan kecil seketika kehilangan pendapatan. Malam menjadi gelap gulita sehingga menambah rasa ketidakamanan bagi masyarakat. Berikut laporan wartawan Surabaya Post, Erfandi Putra yang selama beberapa hari "menikmati" kegelapan berkepanjangan.
TAK pernah diduga, Jumat (19/2) pekan lalu merupakan hari nahas bagi pemilik usaha di Madura, terutama bagi mereka yang mengandalkan aliran listrik dalam menjalankan roda bisnisnya. Mulai hari itu, Pulau Garam tersebut tidak dapat menerima aliran listrik akibat putuskan kabel listrik di perairan antara Pulau Jawa dengan Pulau Madura.
Celakanya, sejumlah usaha itu sebelumnya memang tidak menyediakan genset (generator set). Ini memang dapat dipahami. Di samping harga genset mahal, pengalaman selama ini aliran listrik di Madura jarang mati dalam waktu cukup lama. Karena itu, bagi kaum bisnis Madura, keberadaan genset dinilai mubazir. Lain lagi, kalau perusahaan besar di mana alat itu sangat dibutuhkan karena listrik PLN mati lima menit saja akan mengganggu kinerjanya. Bagi industri menengah dan kecil, membeli genset sama dengan menguras kas usahanya.
Padamnya listrik itu membuat sejumlah industri menengah dan kecil harus memikul beban dengan menguapnya omzet. Ambil contoh, Perusahaan Garam (PG) Budiono yang terletak di Desa Tlanakan, Kec. Tlanakan, Pamekasan. Perusahaan ini benar-benar terpuruk akibat padamnya listrik tersebut.
Praktis produksinya terhenti. Omzet yang melayang sedikitnya Rp 107,7 juta/hari. Rinciannya, dari garam meja omzet melayang Rp 10 juta; garam briket Rp 14 juta; garam cetak Rp 3,7 juta; garam halus open Rp 30 juta; garam halus tidak diopen Rp 50 juta.
"Sejak terjadi pemadaman hingga kini perusahaan ini mandheg-dheg," kata Budiono, pimpinan perusahaan tersebut.
Karyawan pun diliburkan, tetapi masih menerima gaji. Menurut informasi, perusahaan ini akan membeli genset seharga Rp 200 juta dalam waktu dekat ini.
Tidak itu saja, kata H M. Domiri SE, Kepala Kantor Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) Kab. Pamekasan. Untuk industri menengah selain PG Budiono, juga ada CV Mahera Putera. Akibat terjadinya pemadaman, perusahaan penangkapan ikan teri yang selanjutnya di ekspor ke Jepang itu berhenti total.
Seminggu, perusahaan ini mampu mengeringkan ikan teri sekitar 110 kg. Harga teri per kg sekitar Rp 30 ribu-Rp 40 ribu. Jadi total nilai omzetnya sekitar Rp 3.300.000,00-Rp 4.400.000,00.
Industri menengah lainnya di Pamekasan yang menghentikan produksinya, yakni sebuah pabrik es dari tiga pabrik es yang beroperasi. "Kedua pabrik es yang beroperasi itu menggunakan genset dan air PDAM (sebelumnya pakai air bawah tanah), sehingga cost-nya meningkat 105%," kata H M. Domiri.
Ditanya omzet pabrik es yang tidak beroperasi itu, dia mengatakan, mungkin saja lebih dari Rp 1 juta/hari.
Sementara industri menengah lainnya, yakni Bengkel Tjokro Bersaudara masih tetap berjalan karena menggunakan genset, tapi sebuah pabrik roti tak berkutik menghadapi padamnya listrik.
Secara keseluruhan, industri menengah yang ada di Pamekasan ada tujuh buah, sedangkan industri kecil yang formal 395 buah, dan yang nonformal 10.940 buah.
Di Sumenep, seperti yang dikatakan oleh Kepala Depperindag Kab. Sumenep, Ir Budi Dadik, sekitar 98% industri yang ada di daerahnya merupakan industri kecil yang notabene tidak bergantung kepada listrik. Industri yang cukup menonjol, yakni PT Garam yang ada di Kalianget, syukurlah kini sudah menggunakan genset.
Di Bangkalan, sejumlah industri menengah seperti PT Guano, PT Adi Luhung (galangan kapal), juga tidak ada masalah karena punya genset. Tetapi pabrik es Karunia terpaksa menghentikan produksinya, sehingga omzet yang setiap harinya mencapai Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta terpaksa menguap. Demikian juga pabrik kecap Tjap Salak yang punya omzet Rp 700 ribu/harinya.
HAl sama dialami di Kab. Sampang, seperti yang dituturkan Kepala Depperindag setempat, Moh. Tjipto. Banyak industri menengah yang terkena dampaknya. Seperti PT Mina Kelola Laut, perusahaan yang bergerak di bidang teri nasi di Desa Sokobanah.
Kalau perusahaan ini menghentikan kegiatannya seperti yang ada di Pamekasan, maka omzet sekitar Rp 500.000,00/harinya juga menguap. Masih beruntung perusahaan garam PT Surya Mandiri Utama yang lokasinya di Kec. Torjun, bisa berproduksi karena punya genset, kendati hanya mampu memproduksi sekitar 30% dari kapasitas yang ada.
Enggan Keluar
Pemadaman listrik ini juga membawa dampak pada sektor ritel. Pemilik Toserba Apollo (Pamekasan), Toserba Sampang (Jl. Trunojoyo, Sampang), dan Toserba Busana Indah (Bangkalan), sama-sama mengatakan, sejak terjadi pemadaman listrik itu mengakibatkan omzetnya mengalami penurunan sedikitnya 50%.
"Anda kan tahu, kebanyakan orang berbelanja itu kan malam hari, tetapi kini sudah tak ada penerangan lagi, sehingga membuat masyarakat malas ke luar rumah. Padahal di Toserba kami sudah diterangi oleh genset , tetapi pengunjung malam hari dapat dikata tidak ada sama sekali," kata Irwan Hariyanto.
Maklumlah, di luar Toserba situasinya petteng calemotdan alias gelap gulita, sehingga siapa mau ke luar rumah?
Hal senada juga diakui oleh Gunawan Wibisono, pemilik Busana Indah. Dia mengatakan, karena pengunjung di malam hari sepi, maka kadang dirinya tutup pukul 19.00-20.00. "Sudah keadaan seperti ekonomi seperti ini, malah ditambah listrik mati," katanya.
Pemilik Toserba itu tidak mau menyebutkan berapa omzet yang hilang. Meski demikian, kalau dihitung kasar pendapatan setiap harinya sekitar Rp 10 juta. Kalau setiap kabupaten terdapat tiga Toserba dan sejenisnya, maka omzet total yang hilang sekitar Rp 60 juta/hari.
Kredit Genset
Lain lagi cerita yang dialami oleh Misnadi, asal Kec. Pakong, yang sebelumnya mesin obrasnya dapat menghasilkan sekitar Rp 10.000,00/hari. Kini semua itu hangus. "Saya sekarang beralih ke usaha tambal ban. Untuk sementara, dan mungkin seterusnya, inilah usaha saya sambil menunggu terangnya listrik. Hitung-hitung banting setirlah. Kalau enak ya diteruskan," katanya.
Suradi, asal Galis (Pamekasan), mengatakan, pihaknya hanya bekerja menarik becak di malam hari karena siang harinya bekerja di sawah dan istirahat. Sekarang, katanya, setelah lampu padam hanya mampu menghasilkan uang sekitar Rp 4 ribu. Padahal sebelumnya mampu menghasilkan sekitar Rp 15 ribu.
"Bagaimana lagi ya, sekarang pukul 19.00 saja sudah jarang orang naik becak. Saya masih berpikir, kalau sebelumnya menggenjot becak dimulai setelah Magrib, mungkin minggu depan bisa dimulai Ashar. Kerja keras ini saya lakukan, karena setiap harinya saya harus menyiapkan Rp 5 ribu sebagai cicilan pada seseorang (bank gelap. Red)," kata Suradi.
Dengan padamnya listrik di Madura ini, masih banyak usaha lain yang terpukul. Baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai contoh, usaha servis elektronik, wisata religius (Batuampar), hingga tukang becak, dan lainnya.
"Dengan tidak adanya listrik ini kami cukup kesulitan dengan pekerjaan. Khususnya dalam pekerjaan solder dan lainnya," kata tukang servis elektronik di Jl. Pramuka, Sampang.
Mengomentari masalah ini, Drs Suroso, Direktur Lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Madura (LP3M) ketika diminta komentar mengatakan, hampir dapat dikatakan kegiatan bisnis, khususnya di malam hari, praktis terhenti. Padahal, kegiatan bisnis di malam hari itu cukup banyak. Sebut saja, restoran, warung, hotel, bioskop, tukang obras, binatu, hingga ke tukang becak.
"Selama listrik masih padam, saya perkirakan omzet bisnis, baik besar maupun kecil, yang menguap dari tanah Madura ini sekitar Rp 1 miliar," katanya.
Melihat masalah ini, kata Suroso yang kini menjadi konsultan Bappenas itu, perlu adanya langkah-langkah penyelamatan. Misalnya, kalau ada industri menengah yang kini terpaksa berhenti karena tidak punya genset, selayaknya diberikan kredit dengan bunga murah.
"Ini untuk membantu mereka. Harga genset untuk industri menengah itu ratusan juta harganya. Terpenting lagi, agar tenaga kerjanya tidak terlalu lama menganggur," katanya.
Lalu bagaimana dengan usaha-usaha yang kecil? Tentang ini, dia mengatakan, inilah yang menjadi permasalahan. Lihat saja warung-warung kecil yang selama ini hanya membuka pada malam hari. Mereka ini orang kecil, dan akibat adanya pemadaman, jelas mereka kehilangan mata pencarian.
Juga yang perlu dipikirkan, bagaimana kalau industri tersebut menggunakan modal dari bank. Suroso yakin, di antara pengusaha itu pasti ada yang menggunakan dana perbankan. Mungkin saja, pada akhirnya berprospek untuk menjadi kredit macet.
"Yang saya heran, hingga sekarang kan tidak ada jawaban pasti dari pemerintah kapan kerusakan kabel listrik itu dapat diatasi. Saya cuma berharap agar keadaan ini cepat diselesaikan, karena dampaknya bukan saja pada faktor ekonomi, tetapi juga sosial, dan lainnya," katanya. (*)