Jawa Pos
RADAR MADURA - 01 Oktober 1999
Menggali Sejarah Bangkalan,
Dari Pra Islam Hingga Cakraningrat
Madura Barat (Bangkalan) Masa Hindu dan Budha
Bangkalan, Radar.-
Bangkalan dulunya lebih dikenal dengan sebutan
Madura barat. Penyebutan ini, mungkin lebih ditekankan pada alasan geografis. Soalnya,
Kabupaten Bangkalan memang terletak di ujung barat Pulau Madura. Dan, sejak dulu, Pulau
Madura memang sudah terbagi-bagi. Bahkan, tiap bagian memiliki sejarah dan legenda
sendiri-sendiri. Berikut laporan wartawan Radar Madura di Bangkalan, Risang Bima
Wijaya secara bersambung.
Menurut legenda, sejarah Madura barat bermula
dari munculnya seorang raja dari Gili Mandangin (sebuah pulau kecil di selat Madura) atau
lebih tepatnya di daerah Sampang. Nama raja tersebut adalah Lembu Peteng, yang masih
merupakan putra Majapahit hasil perkawinan dengan putri Islam asal Campa. Lembu Peteng
juga seorang santri Sunan Ampel. Dan, Lembu Peteng-lah yang dikenal sebagai penguasa Islam
pertama di Madura Barat.
Namun dalam perkembangan sejarahnya, ternyata
diketahui bahwa sebelum Islam, Madura pernah diperintah oleh penguasa non muslim, yang
merupakan yang berasal dari kerajaan Singasari dan Majapahit. Hal ini diperkuat dengan
adanya pernyataan Tome Pires (1944 : 227) yang mengatakan, pada permulaan dasawarsa abad
16, raja Madura belum masuk Islam. Dan dia adalah seorang bangsawan mantu Gusti Pate dari
Majapahit.
Pernyataan itu diperkuat dengan adanya temuan
temuan arkeologis, baik yang bernafaskan Hindu dan Bhudda. Temuan tersebut ditemukan
di Desa Kemoning, berupa sebuah lingga yang memuat inskripsi. Sayangnya, tidak semua baris
kalimat dapat terbaca. Dari tujuh baris yang terdapat di lingga tersebut, pada baris
pertama tertulis, I Caka 1301 (1379 M), dan baris terakhir tertulis, Cadra
Sengala Lombo, Nagara Gata Bhuwana Agong (Nagara: 1, Gata: 5, Bhuwana: 1, Agong:
1) bila dibaca dari belakang, dapat diangkakan menjadi 1151 Caka 1229 M.
Temuan lainnya berupa fragmen bangunan kuno,
yang merupakan situs candi. Oleh masyarakat setempat dianggap reruntuhan kerajaan kecil.
Juga ditemukan reruntuhan gua yang dikenal masyarakat dengan nama Somor Dhaksan, lengkap
dengan candhra sengkala memet bergambar dua ekor kuda mengapit raksasa.
Berangkat dari berbagai temuan itulah,
diperoleh gambaran bahwa antara tahun 1105 M sampai 1379 M atau setidaknya masa periode
Singasari dan Majapahit akhir, terdapat adanya pengaruh Hindu dan Bhudda di Madura barat.
Sementara temuan arkeologis yang menyatakan
masa klasik Bangkalan, ditemukan di Desa Patengteng, Kecamatan Modung, berupa sebuah arca
Siwa dan sebuah arca laki-laki. Sedang di Desa Dlamba Daja dan Desa Rongderin, Kecamatan
Tanah Merah, terdapat beberapa arca, di antaranya adalah arca Dhayani Budha.
Temuan lainnya berupa dua buah arca ditemukan
di Desa Sukolilo Barat Kecamatan Labang. Dua buah arca Siwa lainnya ditemukan di pusat
kota Bangkalan. Sementara di Desa Tanjung Anyar Bangkalan ditemukan bekas Gapura, pintu
masuk kraton kuno yang berbahan bata merah.
Di samping itu, berbagai temuan yang berbau
Siwais juga ditemukan di makam-makam raja Islam yang terdapat di Kecamatan Arosbaya.
Arosbaya ini pernah menjadi pusat pemerintahan di Bangkalan. Misalnya pada makam Oggo
Kusumo, Syarif Abdurrachman atau Musyarif (Syech Husen). Pada jarak sekitar 200 meter dari
makam tersebut ditemukan arca Ganesha dan arca Bhirawa berukuran besar.
Demikian pula dengan temuan arkeologis yang di
kompleks Makam Agung Panembahan Lemah Duwur, ditemukan sebuah fragmen makam berupa belalai
dari batu andesit.
Dengan temuan-temuan benda kuno yang
bernafaskan Siwais di makam-makam Islam di daerah Arosbaya itu, memberi petunjuk bahwa
Arosbaya pernah menjadi wilayah perkembangan budaya Hindu. Penemuan benda berbau Hindu
pada situs-situs Islam tersebut menandakan adanya konsinyuitas antara kesucian. Artinya,
mandala Hindu dipilih untuk membangun arsitektur Islam.
Arosbaya merupakan pusat perkembangan
kebudayaan Hindu di Madura Barat (Bangakalan) semakin kuat dengan adanmya temuan berupa
bekas pelabuhan yang arsitekturnya bernafaskan Hindu, dan berbentuk layaknya sebuah
pelabuhan Cina. (Risang Bima Wijaya)
atas
Dari Plakaran Ke Arosbaya, Pragalba ke Pratanu (Lemah Dhuwur)
Bangkalan, Radar.-
Sosok Pratanu atau lebih dikenal dengan
Panembahan Lemah Duwur adalah putera Raja Pragalba. Dia dikenal sebagai pendiri kerajaan
kecil, yang berpusat di Arosbaya. Masyarakat Bangakalan menokohkan Pratanu sebagai
penyebar agama Islam yang pertama di Madura. Bahkan, putera Pragalba ini disebut-sebut
sebagai pendiri masjid pertama di Madura. Selain itu, Pratanulah yang mengawali hubungan
dengan daerah lain, yaitu Pajang dan Jawa.
Perjalanan sejarah Bangkalan tidak bisa
dilepaskan dengan munculnya kekuasaan di daerah Plakaran, yang selanjutnya disebut dengan
Kerajaan Plakaran. Kerajaan ini diperkirakan muncul sebelum seperempat pertama abad 16,
yakni sebelum penguasa Madura barat memeluk Islam.
Plakaran diawali dengan kedatangan Kiyai
Demung dari Sampang. Dia adalah anak dari Aria Pujuk dan Nyai Ageng Buda. Setelah menetap
di Plakaran, Kiyai Demung dikenal dengan nama Demung Plakaran. Dia mendirikan kraton di
sebelah barat Plakaran atau sebelah timur Arosbaya, yang dinamakan Kota Anyar (Pa
Kamar 1951: 113).
Sepeninggal Demung Plakaran, kekuasaan
dipegang oleh Kiai Pragalba, anaknya yang nomor lima. Pragalba mengangkat dirinya sebagai
Pangeran Plakaran dari Arosbaya. Selanjutnya meluaskan daerah kekuasaannya hingga hampir
seluruh Madura.
Paragalba mempunyai tiga orang istri. Pratanu
adalah anak dari istri ketiganya. Semasa kekuasaan Pragalba inilah agama Islam mulai
disebarkan di Madura barat, yang dilakukan oleh para ulama dari Giri dan Gresik.
Penyebarannya meliputi daerah pesisir pantai sekitar selat Madura pada abad ke-15 (FA
Sutjipto Tirtoatmodjo 1983 : 13)
Islam berkembang pesat sejak penyeberannya
dilakukan secara teratur oleh Syech Husen dari Ampel (Hamka 1981:137). Bahkan, ia
mendirikan masjid di Arosbaya. Menurut cerita masyarakat Arosbaya, reruntuhan di sekitar
makam Syech Husen adalah masjid yang didirikannya.
Namun meski Islam sudah masuk di Madura barat,
Pragalba belum memeluk Islam. Tetapi justru putranya Pratanu yang memeluk agama Islam.
Peristiwa tersebut ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi: Sirna Pandawa
Kertaning Nagara (1450 caka 1528 M).
Peristiwa tersebut berbarengan dengan pudarnya
kekuasaan Majapahit setelah dikuasai Islam tahun 1527 M. Selain itu, Kerajaan Plakaran
mengakui kekuasaan Demak, sehingga diperkirakan penerimaan Islam di Madura bersamaan
dengan runtuhnya kekuasaan Majapahit.
Menjelang wafat, Pragalba masuk Islam dengan
menganggukkna kepala, karena itu dia mendapat sebutan Pangeran Onggu (mengangguk,
Red). Sepeninggalnya, Pratanu naik tahta dengan gelar Panembahan Lemah Dhuwur. Itu terjadi
pada tahun 1531-1592.
Di masa pemerintahan Lemah Dhuwur inilah pusat
pemerintahan Plakaran dipindahkan ke Arosbaya. Karena itu, dia mendapat julukan sebagai
pendiri Kerajaan Arosbaya. Lemahlah Dhuwur yang mendirikan kraton dan msajid pertama di
Arosabaya.
Selama masa pemerintahan Panembahan Lemah
Duwur, kerajaan Arosbaya telah meluaskan daerah kekuasaannya hingga ke seluruh Madura
barat, termasuk Sampang dan Blega. Panembahan lemah Duwur mengawini putri Triman dari
Pajang.
Ini juga menjadi bukti bahwa Lemah Duwur
adalah penguasa Madura pertama yang menjalinm hubungan dengan Jawa. Berdasarkan Tutur
Madura Barat, Rafless mengatakan bahwa Lemah Dhuwur adalah penguasa terpenting di daerah
Jawa Timur pada masa itu.
Panembahan Lemah Dhuwur wafat di Arosbaya
pada tahun 1592 M setelah kembali dari kunjungannya ke Panembahan Ronggo Sukowati di
Pamekasan. Sesuai dengan tradisi dia dimakamkan di kompleks Makam Agung Lemah Dhuwur.
Selanjutnya kekuasaan Arosbaya dipegang oleh
putranya yang bernama Pangeran Tengah, hasil perkawinannya dengan puteri Pajang. Pangeran
Tengah berkuasa tahun 1592-1620. Di masa pemerintahan Pangeran Tengah terjadi peristiwa
terkenal yang disebut dengan 6 Desember 1596 berdarah, karena saat itu telah gugur dua
orang utusan dari Arosbaya yang dibunuh oleh Belanda yaitu Patih Arosbaya Kiai Ronggo dan
Penghulu Arosbaya Pangeran Musarip.
Sejak peristiwa itulah Arosbaya menyatakan
perang dengan Belanda. Pangeran Tengah meninggal tahun 1620. Makamnya terletak di kompleks
makam Syech Husen, dan sampai sekarang dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
Pengganti Pangeran Tengah adalah adiknya yang
bernama Pangeran Mas, yang berkuasa tahun 1621-1624. Sebetulnya yang berhak berkuasa
adalah putra Pangeran Tengah yang bernama Pangeran Prasena. Namun karena masih kecil, dia
diwakili oleh pamannya.
Di masa pemerintahan Pangeran Mas terjadi
peristiwa penyerangan Sultan Agung ke Arosbaya pada tahun 1624. Itulah yang menyebabkan
jatuhnya kerajaan Arosbaya. Sedang Pangeran Mas melarikan diri ke Demak dan Pangeran
Prasena dibawa oleh juru kitting ke Mataram.
Peperangan antara Mataram dan Arosbaya yang
berlangsung pada hari Minggu 15 Septeber 1624 tersebut, memang patut dikenang sebagai
perjuangan rakyat Madura. Saat itu Mataram harus membayar mahal, karena mereka telah
kehilangan panglima perang tertingginya, Tumenggung Demak dan kehilangan 6000 prajurit.
Saat itu laki-laki dan wanita Arosbaya
berjuang bersama. Ada sebuah kisah menarik di sini. Dikisahkan saat di medan perang ada
beberapa prajurit lelaki yang mengeluh karena luka berat. Tetapi katika para wanita
melihat luka tersebut terdapat dibagian belakang, para wanita tersebut menusuk prajurit
tadi hingga tewas.
Lukanya di bagian belakang,
artinya prajurit itu telah berbalik lari, hingga dilukai di bagian punggungnya oleh musuh,
mereka pengecut dalam, demikian kata-kata para wanita Arosbaya.
atas
Cakraningrat I Anak Angkat Sultan Agung
Prasena, putera Pangeran Tengah dari Arosbaya
disertai Pangeran Sentomerto, saudara dari ibunya yang berasal dari Sampang, dibawa oleh
Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang lainnya ke Mataram. Di Mataram Prasena
diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung, yang sekanjutnya diangkat sebagai anak.
Bahkan, kemnudian Prasena dinobatkan sebagai
penguasa Madura yang bergelar Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu
gulden dan berhak memakai payung kebesaran berwarna emas. Sebaliknya, Cakraningrat I
diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena selain menjadi penguasa Madura, dia
juga punya tugas-tugas penting di Mataram. Sementara pemerintahan di Sampang dipercayakan
kepada Pangeran Santomerto.
Cakraningrat I kemudian menikah dengan adik
Sultan Agung, namun hingga istrinya, meninggal dia tidak mendapat keturunan. Kemudian
Cakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih keturunan Sunan Giri. Dari
perkawinannya kali ini dia menmpunyai tiga orang anak, yaitu RA Atmojonegoro, R Undagan
dan Ratu Mertoparti. Sementara dari para selirnya dia mendapatkan sembilan orang anak,
salah satu di antaranya adalah Demang Melaya.
Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang
kemudian diganti oleh Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai pemberontakan Pangeran
Alit, adik raja. Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I
tewas seketika. Demikian pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya
tewas dia segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya.
Cakraningrat I diganti oleh Undagan. seperti
halnya Cakraningrat I, Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga lebih banyak
menghabiskan waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan putra
Demang Melaya yang bernama Trunojoyo terhadap Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan
penculikan Cakraningrat II dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri. Pemberontakan
Trunojoyuo ini mendapat dukungan dari rakyat Madura. Karena Cakraningrat II dinilai rakyat
Madura telah mengabaikan pemerintahan Madura.
Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo cukup
besar dan kuat, karena dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran dan Kraeng
Galesong dari Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan putra Kraeng
Galesong, unutk mempererat hubungan.
Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut
kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai Raja Merdeka Madura barat, dan
merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Berbagai kemenangan terus diraihnya,
misalnya, kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan Oktober 1676 Trunojoyo
menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom.
Selanjutnya Trunojoyo memakai gelar baru yaitu
Panembahan Maduretna. Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan pasukannya semakin berat
sejak Mataram menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC, tanggal 20 maret 1677. Namun
tanpa diduga Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Sehingga Amangkurat
harus menyingkir ke ke barat, dan meninggal sebelum dia sampai di Batavia.
Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat
dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27
Desember 1679. Dengan padamnya pemberonrtakan Trunojoyo. VOC kembali mengangkat
Cakraningrat II sebagai penguasa di Madura, karena VOC merasa Cakraningrat telah berjasa
membantu pangeran Puger saat melawan Amangkurat III, sehingga Pangeran Puger berhasil naik
tahta bergelar Paku Buwono I. Kekuasaan Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada
Bangkalan, Blega dan Sampang.
Pemerintahan Madura yang mulanya ada di
Sampang, oleh Cakraningrat II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal dengan nama
Panembahan Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun 1707, saat dia pulang
dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun. Raden Tumenggung Sosrodiningrat menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai Bupati Madura barat dengan gelar Cakraningrat III.
Suatau saat terjadi perselisihan antara
Cakraningrat dengan menantunya, Bupati Pamekasan yang bernama Arya Adikara. Untuk
menghadapi pasukan dari Pamekasan, Cakraningrat III meminta bantuan dari pasukan Bali.
Dimasa Cakraningrat inilah Madura betul-betul bergolak, terjadi banyak peperangan dan
pemberontakan di Madura.
Tumenggung Surahadiningrat yang diutus
Cakraningrat untuk menghadapi pasukan Pamekasan ternyata menyerang pasukan Cakraningrat
sendiri dengan bantuan pasukan Sumenep. Sekalipun Cakraningrat meninggal, pergolakan di
Madura masih terus terjadi.
Cakraningrat III digantikan oleh Timenggung
Surahadiningrat dengan gelar Cakraningrat IV. Awal pemerintahan Cakraningrat IV diwarnai
banyak kekacauan. Pasukan Bali dibawah kepemimpinan Dewa Ketut yang sebelumnya diminta
datang oleh Cakaraningrat III, datang dengan membawa 1000 prajurit.
Tahu yang meminta bantuan sudah meninggal dan
situasi telah berubah, pasukan Bali menyerang Tonjung. Cakraningrat yang sedang berada di
Surabaya memerintahkan adiknya Arya Cakranegara untuk mengusir pasukan Bali. Tetapi Dewa
Ketut berhasil membujuk Cakranegara untuk berbalik menyerang Cakraningrat IV. Tetapi
dengan bantuan VOC, Cakranoingrat IV berhasil mengusir pasukan Arya Cakranegara dan Bali.
Kemudian dia memindahkan pusat pemerintahannya
ke Sambilangan. Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger Pacina (pemberontakan
masyarakat Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat IV bekerjasama dengan VOC
memerangi koalisi Mataram dan Cina ini. Namun hubungan erat antar Madura denga VOC tidak
langgeng. Cakraningrat menyatakan perang dengan VOC karena VOC telah berkali-kali
melanggar janji yang disepakati.
Dengan bekerja sama dengan pasukan Mengui
Bali, Cakraningrat berhasil mengalahkan VOC dan menduduki Sedayu, Lamongan, Jipang dan
Tuban. Cakranoingrat juga berhasil mengajak Bupati Surabaya, Pamekasan dan Sumenep untuk
bersekutu melawan VOC. Tapi Cakraningrat tampaknya harus menerima kekalahan, setelah VOC
mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Cakraningrat dan dua orang putrinya berhasil
melarikan diri ke Banjarmasin, namun oleh Raja Bajarmasin dia ditangkap dan diserahkan
pada VOC.
Cakraningrat diasingkan ke Kaap De Goede Hoop
(Tanjung Penghargaan). dan meninggal di tempat pembuangannya, sehingga dia juga dikenal
dengan nama Panembahan Sidengkap. (ris)
atas