Kompas
Opini - Jumat, 10 Maret 2000
Demam Tasawuf
Oleh Budhy Munawar Rachman
''Ia datang bagai mutiara peradaban'' begitulah pamflet dari penerbit
Mizan Bandung, menyambut kedatangan Prof Annemarie Schimmel. Dalam
ceramah umumnya di Perpustakaan Nasional 25 Februari lalu, yang
bertemakan ''Tasawuf dan Relevansinya untuk Dunia Modern'' hadir
lebih dari 600-an orang, yang membuat auditorium Perpustakaan
Nasional yang besar itu pun menjadi pengap. Bayangkan, sebuah acara
ceramah ilmiah keagamaan dihadiri oleh begitu banyak peminat yang
bersemangat!
Melihat perkembangan Islam di Indonesia sepuluh tahun belakangan,
salah satu pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf-di
samping segi sosial-politik Islam yang seringkali kontroversial.
Kalau kita memperhatikan laporan media-massa, kita akan mendapatkan
betapa sering muncul laporan mengenai perkembangan tasawuf itu,
seolah-olah ada kecenderungan baru cara keberagaman masyarakat yang
beralih ke cara Sufistik.
Media massa sering memberitakan laporan yang aneh-aneh mengenai
kajian-kajian tasawuf itu, misalnya kita baca ada kursus Sufi
Dancing, ada spiritual gathering mengenai masalah kematian
dan alam kerohanian, ada kajian mengenai kedokteran Sufi, juga
psikologi Sufi yang memberi konseling atas krisis kehidupan, di
sebuah TV bahkan muncul acara dengan rubrik tasawuf. Walhasil,
tasawuf telah menjadi pertanda ekspresif fenomena keagamaan dewasa
ini.
Keberagamaan sufistik: pengalaman mistik
Tasawuf adalah segi batin dari agama. Segi lahirnya biasanya
disebut syari'ah, yang terutama berisi hukum-hukum keagamaan
formal, mengenai apa yang seorang beragama harus lakukan, dan apa
yang dilarang. Tasawuf di samping memberi segi batin dari aspek
formal keagamaan itu, juga memberi visi mengenai arti hidup
beragama. Ibn al-Arabi seorang filsuf mistik paling terkemuka,
membagi empat tingkat praktik dalam memahami tasawuf, yaitu (1)
syari'ah (segi esoterik hukum-hukum agama), thariqah
(sebagai jalan mistik), haqiqah (mengenai kebenaran), dan
ma'rifah (gnosis, pengalaman kesatuan dengan Yang Ilahi).
Keempat tingkat itu dirumuskan: pada tingkat hukum
(syari'ah) ada kesadaran ''milikmu dan milikku'', di mana
hukum-hukum agama akan mengatur hak dan kewajiban antarpribadi,
seperti penataan hubungan di antara orang-orang. Dalam tingkat jalan
Sufi (thariqah), rumusannya menjadi ''milikku adalah milikmu,
milikmu adalah milikku'', karena itu para Sufi diajarkan mengenal
sesama Sufi sebagai saudara, untuk membuka diri masing-masing,
membuka hati, termasuk derma untuk sesama dan perkembangan Sufi.
Pada tingkat kebenaran (haqiqah), ada pengalaman baru ''tidak
ada milikku, dan tidak ada milikmu''. Pada tingkat ini ada
minimalisasi atas egosentrisme, dan mereka ''dari luar masuk ke
dalam mencari pengalaman batiniah yang paling asli (fitrah,
primordial). Dan, yang keempat adalah pada tingkat gnosis
(ma'rifah) di mana yang ada ''tak ada saya, dan tak ada
Anda'', yang ada hanya Allah. Seorang Sufi akan merealisasi
pengalaman bahwa yang ada seluruhnya adalah Allah, dan tidak ada
satu pun yang terpisah dari Allah: Sebuah pengalaman mistik yang
sekarang sering disebut ''panenteisme,'' yang populer dalam tasawuf
dengan wahdat al-wujud (kesatuan keberadaan). Keempat tingkat
ini adalah perjalanan, dan menjadi tujuan Sufisme, di mana
pengalaman sebelumnya mendasari pengalaman selanjutnya.
Maka tidak heran dalam keberagamaan tasawuf ini, pengertian yang
mendalam mengenai ''jalan hati'' (the path of heart)-yang
tidak lain adalah ''jalan kepada cinta, the path to
love-mendapat perhatian, sehingga segi-segi psikologi-spiritual
menjadi begitu penting dalam jalan ini, khususnya dalam mencapai
tingkat kedirian (nafs) yang dari sini kita bisa sampai pada
pengalaman kesatuan dengan yang Ilahi itu (yang disebut
ihsan, yaitu ''seolah-olah kita melihat Tuhan, kalaupun
tidak, kita tahu bahwa Tuhan melihat kita'').
Tujuan jalan hati dan cinta adalah untuk mencapai ''gunung dari
cahaya gnosis dalam hati yang terdalam''. Sabistari, seorang penyair
Sufi mengatakan, ''Kalau kita bisa membelah setetes air (memasuki
hati kita), kita akan mendapatkan tujuh samudera (pengalaman menyatu
dengan Yang Ilahi). Cahaya gnosis itu ada dalam hati manusia, yang
hanya bisa didapat lewat perjalanan hati dan cinta. Lewat jalan hati
dan cinta ini manusia pun menemukan kembali Dirinya yang Sejati.
Kerinduan pada Diri yang Sejati ini (jiwa yang penuh ketenangan,
al-nafs al-muthmainnah) menjadi cita-cita kaum Sufi.
Tasawuf positif dan dialog kemanusiaan
Untuk memahami makna tasawuf itu, memang diperlukan
pengertian yang mendalam: yakni maknanya dalam keseluruhan
keberagamaan, dan kaitannya dengan penciptaan kehidupan kemanusiaan
yang lebih baik. Inilah yang disebut ''tasawuf positif'', sebuah
tasawuf yang terbuka kepada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia untuk
pertumbuhan, keseimbangan dan harmoni. Dengan tasawuf positif ini,
terbuka juga kemungkinan dialog dengan berbagai ragam spiritualitas
agama-agama, maupun non-agama yang semuanya sebenarnya dewasa ini
menghadapi masalah besar bersama yaitu ancaman kemanusiaan!
Macam-macam tasawuf telah berkembang mengatasi krisis global
kemanusiaan. Karena itu dialog di antara sesama penganut tasawuf,
walaupun dari berbagai agama, bisa menyumbangkan wacana untuk
berbagai krisis kemanusiaan. Apa yang disebut Hans Kung dengan
''kebutuhan akan Etika global'' tampaknya bisa dipenuhi dengan kerja
sama agama-agama, dimulai dari pandangan positif terhadap hal yang
paling dasar dari agamanya sendiri-the heart of religion,
yaitu hakikat tasawuf itu sendiri, yang bisa mempertemukan berbagai
agama. Dari sini kita bisa merambah kepada dialog bahkan passing
over ke arah agama lain, untuk menggali dan mendapatkan kekayaan
perspektif rohani.
Kalau kita mengamati perkembangan kesadaran mengenai tantangan
etika global itu, perkembangan tasawuf (dalam hal ini ''tasawuf
antar-agama'') memang telah melandasi usaha-usaha bersama mencari
sebuah alternatif atas pandangan kebudayaan modern yang mekanistik,
sekularistik, ke arah cara pandang yang lebih ekologis dan holistik.
Di sini tasawuf bertemu dengan spiritualitas agama-agama (Hinduisme,
Buddhisme, Taoisme, mistik Kristen, new age, spiritualitas
dari kearifan lokal dan seterusnya), yang bersama-sama diharapkan
dapat mendorong massa yang kritis untuk melihat dunia ini secara
baru. Inilah yang disebut Marilyn Ferguson sebagai The Aquarian
Conspiracy (konspirasi Aquarius) yang menjadi pertanda dari
kebangkitan tasawuf di awal milenium.
Tasawuf memang mempunyai filsafat yang begitu mendalam mengenai
spiritualitas dan segi-segi religiusitas keberagamaan, sehingga
harapan banyak kalangan mengenai healthy-spirituality memang
bisa diperoleh dari tasawuf positif ini, di tengah ancaman
''keberagamaan yang sakit'' yang muncul karena otoritarianisme dalam
beragama-yang dalam tasawuf digambarkan sebagai nafs ammarah bi
'l-su (nafsu yang mendorong kepada keburukan, Q. 12:53).
Tasawuf menjanjikan penyelamatan. Apalagi di tengah berbagai
krisis kehidupan yang serba materialis, hedonis, sekular, plus
kehidupan yang makin sulit secara ekonomis maupun psikologis itu,
tasawuf memberikan obat penawar rohani, yang memberi daya tahan.
Dalam wacana kontemporer, sering dibahas tasawuf sebagai obat
mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari
pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti
dan tujuan dari kehidupan di dunia ini. Ketidakjelasan atas makna
dan tujuan hidup ini memang sangat tidak mengenakkan, dan membuat
penderitaan batin. Maka mata air tasawuf yang sejuk dan memberikan
penyegaran dan penyelamatan pada manusia-manusia yang terasing itu.
Mewujudkan cita-cita ini, bukanlah hal yang berlebihan. Apalagi
dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf
dalam hubungan inter-disipliner. Beberapa contoh bisa disebut di
sini, seperti pertemuan tasawuf dengan fisika, dan sains modern yang
holistik, yang membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan
tugas-tugas utamanya di muka Bumi-segi yang kini disebut The
Anthropic Principle; pertemuan tasawuf dengan ekologi yang
menyadarkan mengenai pentingnya kesinambungan alam ini dengan
keanekaragaman hayatinya, didasarkan pada paham kesucian alam;
pertemuan tasawuf dengan penyembuhan alternatif yang memberikan
kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal,
tetapi lebih-lebih ruhani: tasawuf memberikan visi keruhanian untuk
kedokteran, pertemuan tasawuf dengan psikologi baru yang menekankan
segi transpersonal; dan lain-lain pertemuan interdisipliner yang
intinya sama: semua menyumbang kesadaran bahwa arti tasawuf dewasa
ini bukan hanya pada kesalehan formal, tetapi justru terutama etika
global! Untuk itu tasawuf memang perlu wujud dalam cara hidup. Cara
hidup tasawuf bukan terutama benar dari formalnya, tetapi bagaimana
nilai-nilai tasawuf itu menjadi way of life!
Tasawuf tanpa substansi
Melihat perkembangan Islam di Indonesia, belakangan ini
memang kelihatan ada pergeseran orientasi keberagamaan dari
kesalehan formal kepada kesalehan sufistik. Persis pada titik ini
''demam tasawuf'' yang sedang melanda masyarakat Islam ini begitu
mengkhawatirkan dan perlu mendapat perhatian. Seperti kita tahu,
Islam di Indonesia telah berkembang sedemikian rupa sehingga kini
tampak sangat formalis dalam beragama, seolah tidak ada lagi segi
religiusitasnya. Bentuk-bentuk kesalehan formal dan kesalehan
individual begitu menonjol. Keberagamaan sangat semarak, rumah
ibadah berkembang pesat di mana-mana, jumlah orang naik haji
meningkat, tetapi dari segi substansial, sebagai bangsa,
keberagamaan rupanya belum mencerminkan nilai-nilai Islam. Apa yang
disebut egalitarianisme, keadilan, kesadaran humanitarian, hormat
kepada hukum, dan hak-hak asasi manusia, kesadaran lingkungan,
kebersihan, penghargaan terhadap orang yang lemah, sikap inklusif
dan pluralis, dan seterusnya, yang jelas merupakan nilai-nilai dasar
agama, ternyata tidak tercermin dalam kehidupan masyarakat. Padahal
kegairahan dalam beragama begitu tinggi, suasana keagamaan begitu
mencolok.
Nah, kita sangat mengkhawatirkan demam tasawuf belakangan ini.
Kalau demam tasawuf itu hanya kepanjangan saja dari kesalehan
formal, lantas apa maknanya? Antara tasawuf dan bukan tasawuf tidak
ada bedanya: sama-sama kesalehan formal yang tidak mencerminkan
religiusitas! Demam tasawuf mudah-mudahan tidak hanya merupakan
kelanjutan dari kesalehan formal, yang kalau hanya begini, ya ibarat
buih dalam lautan: tidak bermakna apa-apa secara sosial!
Maka kita berharap demam tasawuf ini, tidak merupakan langkah
mundur dalam beragama, tetapi merupakan awal dari perkembangan Islam
di Indonesia yang diharapkan dapat mewujudkan kehidupan keagamaan
yang lebih terbuka, inklusif-pluralis, yang memberi rahmat kepada
semua orang. Demam tasawuf semoga merupakan salah satu pertanda dari
tumbuhnya kesadaran baru dalam mencari sumbangan agama-agama
terhadap tantangan etika global di atas. Namun itu semua tergantung
dari kemampuan kita dalam menyajikan tasawuf yang positif, bukan
yang eksesif!
*) Budhy Munawar-Rachman, manajer program studi Islam
pada Yayasan Paramadina/pengajar filsafat pada Universitas
ParamadinaMulya.
Berita opini lainnya:
- Tajuk Rencana
- Redaksi Yth.
- Demam Tasawuf
- Masyarakat Tanpa Negara?
Pojok Kompas
atas