Ingin Menjadi PNS, Sebidang Tanah Pun Direlakan
PEGAWAI Negeri Sipil (PNS) -- dalam hal ini menjadi pesuruh SDN -- banyak diburu. Banyak orang tergiur jika dijanjikan menjadi PNS. Tidak tanggung-tanggung, tanah pun direlakan sebagai penebusnya.
Ini terjadi di mana-mana, hampir di setiap kabupaten. Dan, kasus itu belakangan mencuat karena ternyata menimbulkan sengketa. Warga yang telanjur melepas tanahnya dan telah dibangun gedung SDN, karena janjinya menjadi PNS tak terbukti lalu mempersoalkan tanahnya.
Intinya, mereka ingin meminta kembali tanahnya walau sudah berdiri bangunan sekolah. Tak peduli bagaimana kelanjutannya yang penting lahan mereka bisa kembali ke tangannya.
Awal terjadinya sengketa tanah warga dengan pemda itu sederhana. Biang keroknya yaitu dropping SDN. Kok bisa? Pemda rata-rata kesulitan mencari lahan untuk membangun gedung SD. Untuk mengatasi hal itu berbagai cara dilakukan.
Di antaranya, kepada pemilik tanah -- anak, atau yang lain -- dijanjikan akan diangkat sebagai pegawai negeri sipil (pesuruh) SDN. Syaratnya mereka mau melepas tanah untuk pembangunan gedung SD.
Cara itu ampuh. Pemda tidak kesulitan mencari lahan strategis. Dan -- tanpa proses berbelit-belit -- dibangunlah ratusan gedung SD. Celakanya, janji pemda sebatas janji tak ada bukti. Jangankan diangkat jadi PNS, disapa saja tidak.
Warga sadar, protes. Mereka meminta bukti. Tetapi tak mungkin. Mengangkat PNS ada prosedurnya, tidak main tunjuk. Lalu, kesabaran mereka pupus. Berbagai reaksi muncul: menutup pintu sekolah, membajak halaman, dan merusak gedung sekolah. Sebut saja di Kab. Bangkalan dan Kab. Lumajang, Kab. Sampang dan Kab. Pamekasan, dan di tempat lain.
Ganti Rugi
Di Bangkalan, misalnya berkait tuntutan ganti rugi pemilik tanah kepada pemda yang tanahnya "dipinjam" untuk gedung SDN. DPRD Bangkalan ikut sibuk mencari solusi. Tapi, karena dana pemda terbatas untuk memberi ganti rugi 100 lokasi lebih SDN bermasalah, akhirnya kasus itu diserahkan kepada Pemerintah Pusat.
Agaknya soal tanah bisa menyulut emosi orang. Di sejumlah daerah, para calon PNS -- pesuruh -- anarkis. Ini tampak dari aksi pengrusakan terhadap gedung SDN baik di Kab. Bangkalan maupun di Kab. Lumajang. Seperti Di Desa Jaddih, Kec. Socah, Bangkalan. Pemilik tanah, Knd plus beberapa orang merusak pintu salah satu ruangan sekolah, menurunkan genting, menjebol atap, serta mengeluarkan rak buku.
Tindakan perusakan terhadap lembaga pendidikan dasar ini masih dalam tahap peringatan. Sebab bila tidak ada tanggapan dari Pemda soal ganti rugi --kata warga-- sekolah akan diratakan dengan tanah.
Kegiatan belajar-mengajar terganggu. Sekitar 100 siswa diungsikan menempati sekolah MI (madrasah ibtidaiyah) swasta yang ada di Desa Jaddih. Aparat kepolisian mengamankan sekolah dari perusakan lebih fatal.
Perusakan SDN ini karena Knd pemilik tanah yang dijanjikan diangkat menjadi pesuruh sekolah, tidak terealisasi. Dalam surat pernyataan yang ditandatangani Camat dan Kades tahun 80-an, pemilik tanah bakal diangkat sebagai pesuruh sekolah. Karena sekarang usianya tidak memungkinkan menjadi PNS, menuntut ganti rugi atas tanah yang ditempati sekitar 40x20 m.
Sebelumnya di salah satu SDN Desa Banangkah, Kec. Burneh, pemilik tanah menutup semua pintu ruang kelas dengan kayu. Akibatnya siswanya keleleran belajar di rumah penduduk.
Intinya sama, meminta ganti rugi atas tanah milik orangtuanya yang ditempati sekolah. Bedanya, di sana pemerintah sudah mengangkat salah satu keluarga pemilik tanah menjadi pesuruh. Namun di intern keluarga terjadi perselisihan sehingga melakukan tuntutan ganti rugi.
Minta Perhatian
Atas kasus itu, pemda adhem ayem. Padahal harapan mereka sederhana saja, jadi pesuruh. Karena tak ada kelanjutannya, mereka berulah agar nasibnya diperhatikan. Di Kab. Lumajang, misalnya pemilik tanah SD membajak halaman SD --ditanami palawija, ada juga yang menutup pagar sekolah, "ngemplang" pintu masuk, dan aksi lain.
Di Kab. Lumajang, menurut Kepala Dinas P dan K, Drs Bambang Hidayat S., sedikitnya ada 17 SDN yang tanahnya "pinjam" pada warga dengan janji akan diangkat sebagai pesuruh. Tetapi, lanjut dia, kasus itu terjadi beberapa tahun silam. Kini warga mempersoalkan. Pemda berupaya menuntaskan. Tetapi, seperti halnya di Bangkalan, dana yaang dipunyai terbatas.
Sementara Kepala Dinas P dan K Bangkalan, Drs H Hasanuddin Buchori MM mengatakan, telah diupayakan melakukan pendekatan dengan pemilik tanah SDN bermasalah itu. Sekarang pemilik tanah ada pengertian, sehingga siswa mengikuti Ebtanas dan THB di sekolahnya beberapa waktu lalu.
"Kami telah melakukan pendekatan yang pada akhirnya bagaimana caranya siswa tidak telantar lagi. Mudah-mudahan tidak ada lagi di sekolah lain yang masih bermasalah melakukan tindakan yang dapat merugikan siswa," harapnya.
Berkaca pada dua kasus diatas Dinas P dan K Bangkalan mendata SDN bermasalah. Ternyata jumlahnya jauh lebih besar dibanding di Kab. Lumajang. Dari data yang ada, sekitar 100-an sekolah yang perlu mendapatkan perhatian serius. Pemda Bangkalan mengirimkan surat pada Departemen Diknas Pusat, agar sekolah yang bermasalah bisa mendapatkan ganti rugi tanah.
Misalnya setiap sekolah mendapatkan ganti rugi Rp 15 juta, berarti memerlukan dana sekitar Rp 2 miliar. Dengan harapan setelah diberi ganti rugi, dan balik nama milik negara, sekolah bermasalah itu di belakang hari tidak ada gangguan lagi.
Rupanya kejadian di Bangkalan juga dialami beberapa SDN di Sampang dan Pamekasan.
Warga desa yang polos justru dimanfaatkan oleh pemda untuk menyukseskan proyek pembangunan SD. Warga hanya bisa berkata, "Ambillah tanah kami asal diangkat menjadi pesuruh." (Kasiono, Suharyo)
|