Empat Bulan Pengungsi Sambas di Penampungan: Bantuan Menipis, Kembali Tunggu Dulu, Lalu .....
Surabaya, Surabaya Post
SUDAH empat bulan sekitar 20 ribu pengungsi Sambas numpang hidup di tanah leluhurnya, Bangkalan dan Sampang. Sejak mereka datang hingga kini kehidupannya tetap tak berubah dan selalu menunggu belas kasihan Pemda maupun para dermawan.
Minggu-minggu terakhir ini, kucuran bantuan sembako tak segencar saat mereka baru datang. Ketika memulai hidup dalam pengungsian sehari mereka bisa mendapat dua kali bantuan pangan, dan pemeriksaan kesehatan.
"Kini sudah empat puluh hari belum ada yang mengirimi bantuan pangan," keluh Saridi, seorang pengungsi Sambas, yang termasuk 185 KK (970 jiwa) di Desa Galis Dajah, Kec. Konang, sambil menunjukkan kartu tanda penerimaan sembako.
Di Kec. Konang, selain di Galis Dajah, pengunsi juga ditampung Desa Kanegara. Selebihnya di Desa Banyoneng Laok, Kec. Geger; Desa Amparaan, Banda Sholeh, Kec. Kokop; dan Desa Telaga, Kec. Galis. Di enam desa tersebut, nasib pengungsi sama dengan Saridi. Bahkan untuk menuju Desa Galis Dajah, harus melewati pegunungan, dan jauh dari kota kecamatan.
Lain hal dengan penampungan di Desa Katol Barat, Kec. Geger. Di tempat ini sering dikunjungi para dermawan, pejabat setempat hingga Gubernur Jatim Imam Utomo, karena lokasinya berada di pinggir jalan raya kabupaten.
"Di Kec. Geger, pengiriman sembako cukup lancar, terutama di Desa Katol Barat," kata Camat Geger, Drs Soenarto. Lain halnya dengan di enam desa tersebut.
Bupati Bangkalan Moh. Fatah menginstruksikan kades-kades penampung pengungsi datang Satkorlak Bangkalan untuk mengambil jatah sembako bila habis. Kenyataannya, stok di Satkorlak kadang habis, tak pelak kades sering gigit jari.
Untuk menanggulangi kebutuhan (pangan) pengungsi, Pemda Bangkalan hanya mampu menganggarkan Rp 500 juta. Dana ini terpaksa diambilkan dari alokasi proyek fisik yang bisa ditangguhkan pelaksanaannya.
Pada bulan pertama (April) dana sebesar itu masih utuh, sebab masih banyak dermawan yang menyumbang, baik sembako, pakaian layak, tikar, dan lainnya. Kini uluran dermawan berkurang. Akhirnya, pemda kerepotan untuk memenuhi kelangsungan hidup pengungsi yang hingga kini masih berdatangan.
"Dengan kebutuhan makan 0,5 kg/jiwa/hari, pemda harus menyediakan sekitar 250 ton beras/bulan. Bila harga dari Dolog Rp 1.000,00/kg, maka setiap bulan membutuhkan Rp 250 juta/bulan. Sementara kemampuan Pemda Bangkalan terbatas," kata Bupati Moh. Fatah.
Sedang Pemda Jatim sendiri rutin membantu berupa beras 20 kg/KK/bulan. Melihat kenyataan ini, Bupati yang putra Bangkalan ini berharap permasalahan pengungsi Sambas segera ditangani pemerintah Pusat. Bukan hanya kebutuhan pangan yang diperlukan pengungsi, juga tempat tinggal dan pekerjaan agar mereka tak bergantung pada bantuan.
Bantuan Rumah
Dari ribuan pengungsi, sebagian kecil yang sudah tak lagi kumpul berdesakan di sebuah rumah sanak familinya yang rata-rata tak layak huni. Sebagai gambaran, dalam satu rumah dengan dua kamar dijejali 50 jiwa, sehingga ada yang tidur di luar rumah, bahkan di kandang sapi.
Akibatnya, banyak pengungsi mulai sakit, bahkan ada yang meninggal dunia, terutama usia tua. "Sepuluh anak balita menginap di rumah sakit dan puskesmas, karena kekurangan gizi," ungkap Bupati.
Agar tak membebani sanak famili atau warga, kini pemda membangun rumah sangat sederhana. Dengan dana Rp 160 juta, Pemda hanya mampu membuat sembilan barak, masing-masing berisi 10 kamar. Setiap kamar 3x4 m dihuni satu KK. Kamar berdinding batako, beratap asbes, dan berlantai semen ini tersebar di Desa Katol Barat, Kec. Geger, Desa Katol Timur, Kec. Kokop.
BK3S Jatim membantu 20 unit rumah semi permanen senilai Rp 18 juta di Kec. Konang, Kokop. Rumah ini dibangun berdekatan dengan rumah penampungan warga.
Mereka yang sudah bisa menempati rumah baru menyatakan cukup lega, karena tak lagi berdesakan di rumah familinya. Meski lega, namun masalah sanitasi luput dari perhatian. Mereka masih mempergunakan air sungai untuk MCK.
Tak Betah
Para pengungsi ini tidak mungkin hanya mengandalkan uluran tangan sekadarnya untuk makan. Mereka punya istri, anak, yang memerlukan tanggung jawab suaminya.
"Saya tidak tahan hanya menunggu uluran tangan untuk makan Pak. Saya butuh uang Rp 1 juta, untuk modal usaha berjualan ikan di perempatan jalan," ujar Ny Loya (55), di Desa Galis Dajah, Kec. Konang.
"Mau usaha apa di sini, tanah tak punya. Saya di Sambas bertani, punya tanah tujuh petak, lima ekor sapi. Saya ingin kembali ke Sambas bila sudah aman," ujar Alwi.
Pada dasarnya semua pengungsi Sambas tidak betah di Madura. Mereka ingin kembali lagi dengan jaminan ada keamanan. Masalahnya hingga kini, jaminan keamanan belum jelas. Sehingga untuk sementara harus tinggal di tempat penampungan di tanah leluhurnya, yang kondisinya masih memprihatinkan.
Bagi Pemda Bangkalan, sudah pasti tak bisa menanggung beban para pengungsi Sambas ini sendirian. Meski demikian, Bupati Moh. Fatah berupaya mencari terobosan untuk pengungsi Sambas agar bisa bekerja.
Dalam proyek pembangunan APBD 1999/2000, diupayakan memakai tenaga kerja para pengungsi Sambas. Di antaranya, proyek pengurukan kali Bangkalan dari Irjat Jatim.
"Usulan bupati ke Pusat mengganti sebagian tenaga mekanik dengan manusia disetujui Irjat Jatim. Kini tinggal pengungsi Sambas, mau atau tidak bekerja menguruk kali, dengan upah seperti proyek padat karya Rp 7.500,00/hari," kata Kadinas Pengairan Bangkalan, Ir Moh. Rifa'i. (Kasiono)
|