back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Senin 29 Maret 1999 |
Kompas |
DI harian ini dua tahun yang lalu ketika Jawa Timur rusuh, saya menulis bahwa orang Madura tidak punya kebiasaan main keroyok jika berkelahi. Benarlah, di Sambas yang mengeroyok memang bukan orang Madura, tetapi penyebab kerusuhan menurut media massa adalah orang Madura tertentu, yang tingkah-lakunya sering menjengkelkan penduduk asli Dayak plus Melayu dan orang Cina setempat.
Tingkah-laku pendatang yang menjengkelkan memang harus disalahkan, tetapi pembalasan berlebihan sampai memenggal kepala orang dan membunuh sekian banyak manusia, juga harus disalahkan. Karena itu menyelesaikan persoalan ini tidak bisa hanya secara artifisial, mengisap pipa perdamaian, jabat tangan lantas spontan dianggap selesai. Yang benar, sebagai langkah pertama semua pihak harus introspeksi diri, dan hal ini hanya bisa dilakukan apabila semuanya mau berterus-terang, tidak takut untuk dicap SARA.
Pendatang yang sukses biasanya lebih makmur daripada penduduk asli. Ini berlaku bagi pendatang dari mana saja, apakah itu Madura, Cina, Arab atau India. Kemakmuran itu mengubah perilaku yang mungkin tampak sombong di mata penduduk asli yang lebih miskin, tetapi merasa memiliki Tanah Air dan semua isinya.
"Sombong" itu sering bukan karena sengaja, melainkan karena orang kaya biasanya lebih percaya diri, sementara yang miskin punya rasa rendah diri. Yang kaya dan percaya diri biasanya tampil lebih meyakinkan, dagu diangkat, dada dibusungkan, ngomongnya lebih lepas dan melihat orang lain terkadang dengan mata dipicingkan. Yang miskin dan rendah diri biasanya hanya mengeluh dan menyalahkan orang lain dan melihat kemiskinannya sebagai akibat eksploitasi yang kaya terhadap "tanah-airnya". Mungkin alasan ini ada benarnya, tetapi pasti ada pula salahnya karena menjadi kaya bukan hanya dampak dari kemampuan mengeksploitasi, tetapi juga karena sebab-sebab yang lain seperti keterampilan, keuletan, bisa pula dengan sedikit kelicikan dan tentunya nasib baik.
ORANG Madura yang kaya di Sambas mungkin punya perilaku angkuh dan dianggap meremehkan penduduk asli dan pendatang lainnya. Tetapi saya ragu bahwa orang Madura di sana semua kaya. Tetapi di antara mereka pasti ada yang preman dan sok jagoan. Sama halnya di komunitas lain, di kalangan orang Madura di Sambas dan di mana saja, akan ada yang preman dan jagoan. Tetapi keliru kalau menganggap semua orang Madura di sana adalah preman. Karena itu menjadi aneh bahkan kurang pantas apabila sikap membalas dendam penduduk asli dan suku lain di Sambas dilakukan sedemikian massive dan sangat brutal. Aneh, karena saya yakin orang Dayak, Melayu dan Cina di sana sebagian besar tidak punya perilaku sadistis seperti yang tampak di televisi. Tetapi karena kesadisan itu telah terjadi, maka yang menjadi pertanyaan adalah mengapa mereka menjadi sangat sadis?
Menurut koran, penduduk asli menjadi sadistis karena kemarahan yang terpendam kepada orang Madura. Tetapi saya tidak yakin. Tanpa menolak kemungkinan adanya provokator, saya kira kesadisan itu sebenarnya ditujukan kepada pihak lain yang tidak pernah berani mereka lawan, yaitu aparat birokrasi pemerintah dan konglomerat yang dilindungi oleh aparat. Sudah lama penduduk asli itu, sama seperti di daerah lain, menyaksikan tanpa berani memprotes, tindakan oknum aparat pemerintah yang merugikan mereka atau protes terhadap perusahaan konglomerat tanpa hasil. Mereka memendam dalam hati selama 50 tahun, kejengkelan terhadap perlakuan aparat dan konglomerat yang tidak adil, terhadap hak ulayat yang dilanggar, terhadap hutan miliknya yang dibabat, terhadap makam nenek moyang yang diratakan dengan buldoser. Lantas ketika ada orang Madura main tusuk, maka terbukalah kesempatan bagi mereka untuk melampiaskan kejengkelan yang terpendam. Orang Madura dibantai karena pendatang ini adalah kelompok lebih mungkin untuk dilawan ketimbang melawan aparat birokrasi dan konglomerat. Analisis seperti ini bisa dianggap mengada-ada. Tetapi kasus Ambon tampaknya punya kesamaan dengan yang terjadi di Sambas. Bedanya, di Ambon pendatang Bugis dan Makassar yang jadi sasaran.
Sekadar marah saja tidak menjadi masalah. Di Sambas, kemarahan itu dilampiaskan karena ada kesempatan untuk itu. Kesempatan datang ketika aparat lemah karena kehilangan wibawa dan di tingkat Pusat tampaknya tidak ada koordinasi antarpejabat. Bahwa aparat keamanan kurang berwibawa lagi, sudah banyak ditulis orang. Kesewenang-wenangan yang dilakukan terhadap rakyat menyebabkan aparat dihujat dan menjadi kehilangan kepercayaan diri. Akibatnya timbul keraguan untuk bertindak tegas. Sikap ragu ini jeleknya diperlihatkan oleh para pemimpinnya sehingga bawahan kehilangan pegangan. Keraguan bertindak ini memberi kesempatan kepada siapa pun untuk melanggar hukum, karena hukum tidak berjalan kecuali hukum rimba. Begitu orang tahu bahwa hukum telah mandul maka di situ ada kesempatan bagi yang mau untuk melanggarnya.
MENJADI penting untuk membuat beberapa langkah konkret. Mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi jelas butuh waktu, tetapi harus dilakukan mulai sekarang. Karena itu, Pemda harus membuat aturan yang jelas misalnya tanah mana saja yang boleh dibeli oleh pendatang, usaha perniagaan apa yang tidak boleh dimasuki oleh pendatang, jabatan apa di dalam pemerintah daerah yang harus diisi oleh orang setempat, dan seterusnya. Tampak diskriminatif memang, tetapi sebelum kohesi sosial dan akulturasi antara penduduk setempat dan pendatang terjadi, langkah seperti ini bisa menjadi katup penyelamat.
Berikutnya, saya paham banyak taretan Madura ingin menuntut balas, tetapi emosi harap ditahan karena balas dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Syukur para tokoh Madura sudah mengupayakan hal ini, tetapi perlu ditambah dengan penerangan kepada perantau Madura bagaimana caranya beradaptasi dengan lingkungan setempat, bagaimana adat istiadat setempat dan sebagainya. Namun, penerangan juga harus dilakukan kepada puak Dayak, puak Melayu dan puak Cina mengenai bagaimana menyelesaikan perselisihan secara tidak brutal dan tidak massal. Paling bagus kalau diselesaikan melalui aparat penegak hukum dan kalau penegak hukum tidak jalan, lembaga ini sajalah yang diprotes ramai-ramai, tentunya jangan sampai dihancurkan.
(* Dr Amir Santoso, Pengajar di FISIP UI dan Universitas Jayabaya.)