KOMPAS
DIKBUD - Jumat, 05 Mei 2000
Perang Ilmu, Nostalgia Kosmis ...
Oleh Nirwan Ahmad Arsuka
DALAM edisi populer karya monumentalnya Philosophy of Symbolic
Forms, Ernst Cassirer dengan menarik menulis begini: "Ilmu
pengetahuan adalah langkah terakhir dalam perkembangan mental
manusia dan boleh dianggap sebagai pencapaian tertinggi dan paling
karakteristik dalam kebudayaan manusia... Dalam dunia modern tak ada
kekuatan lain yang bisa disejajarkan dengan pemikiran ilmiah.
Ilmu diyakini sebagai puncak dan penyempurnaan semua aktivitas
manusiawi, bab terakhir dalam sejarah umat manusia dan pokok
terpenting dalam filsafat manusia."
Meski prestasi ilmu (science) begitu mencolok, banyak
pihak masih salah paham padanya. Beberapa bahkan bisa langsung naik
pitam mendengar pendapat Cassirer. Sejarah pengetahuan ilmiah tak
dibentuk melulu oleh catatan pencapaian-pencapaian revolusioner.
Sejarah itu juga disesaki gelombang kecaman dan permusuhan yang
menderu dari berbagai penjuru. Dari sayap kanan, kelompok religius,
atas nama penyelamatan manusia, menghantamkan alasan teologis
kepadanya. Dari sayap kiri, khususnya mereka yang mengambil
inspirasi dari Marx, atas nama pembebasan dunia menghujamkan alasan
ideologis. Kelak, kedua sayap yang sering baku musuh itu, bergabung
menghantamkan alasan-alasan epistemologis yang membuat mereka yakin
bahwa pengetahuan ilmiah sudah mati-jika belum secara klinis
setidaknya secara filosofis.
Dengan menggabungkan penalaran matematis dan pembuktian empiris,
Galileo Galilei dapat dianggap sebagai pelopor pembangunan
pengetahuan ilmiah modern di Barat. Akan tetapi, Galileo tak cuma
dikenang sebagai fisikawan yang mewariskan hukum gerak dan perontok
astronomi mata telanjang yang dimapankan ribuan tahun dalam
kosmologi Aristoteles dan Ptolomeus. Galileo juga dikenang sebagai
korban Inkuisisi. Selain menopang kosmologi Kopernikan yang
menggeser manusia dari pusat semesta, ia memegang pandangan teori
atomistik materi yang tak sesuai dengan doktrin transubstansiasi dan
karena itu menentang sakramen Ekaristi.
Bahkan, jauh sebelum Galileo, cengkeraman sayap kanan untuk
mengontrol ilmu sudah sangat kuat. Terdapat periode paling hitam
dalam sejarah manusia karena kerasnya tekanan Gereja Abad Tengah
atas kebebasan berpikir. Ilmu tak jarang dikecam sebagai kegiatan
laknat dan sumber kejahatan di dunia karena mengobarkan pencarian
tak bertuhan yang merusak moralitas yang diwahyukan langit. Salah
satu kajian menarik tentang topik ini, ditulis oleh Andrew Dickson
White: sebuah buku yang terbit pada 1896 berjudul A History of
the Warfare of Science with Theology.
Di dunia muslim, perang yang sama juga bisa ditemui. Peradaban
yang awalnya penuh energi pencarian ilmu itu, kelak tampak
mengingkari genealoginya sendiri dan melancarkan perang rasionalitas
dengan akibat yang begitu buruk. Jika antara abad ke-9 sampai ke-13,
dunia muslim menjadi kawasan dengan tingkat pengetahuan relatif
paling tinggi di Bumi, maka sejak beberapa abad terakhir, dari
seluruh peradaban di planet ini, pengetahuan ilmiah menempati posisi
paling lemah di dunia Islam. Akan tetapi, sebagian besar kaum
religius radikal tak punya rasa sesal atas fakta itu. Banyak di
antaranya yang malah bersyukur: menurut mereka, menjauhkan diri dari
sains membantu mereka menjaga Islam dari pengaruh destruktif dan
sekular. Kaum muslim yang agak lebih moderat berpendapat bahwa
makhluk dunia kafir bernama sains itu tidak perlu ditaksirkan dengan
fatwa mengerikan. Cukup "ditobatkan" saja di mana beberapa asumsi
dasarnya harus disunat. Dua-tiga dekade yang silam, wacana
intelektual Indonesia diramaikan oleh literatur-literatur Islamisasi
Sains. Nama-nama seperti Seyyed Hossein Nasr, Maurice Bucaille,
Ziauddin Sardar dan Naquib Al-Atas jadi cukup menonjol. Setelah
sekian dasawarsa, hasil Islamisasi Ilmu ini terbentang mulai dari
pencocok-cocokan bahwa segala penemuan ilmiah mutakhir sudah
diantisipasi Al Quran sejak 14 abad yang silam, sampai ke upaya
penentuan susunan kimiawi jin dan ekstraksi energi dari iblis agar
persoalan energi di dunia muslim dapat diatasi.
Lawan tangguh Islamisasi Sains ini adalah Abdus Salam,
satu-satunya muslim pemenang Nobel Fisika; dan Pervez Hoodbhoy,
doktor fisika Nuklir dari MIT. Di bukunya, Islam and Science,
Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality, Hoodbhoy
menyebut upaya pengislaman pengetahuan ilmiah tak saja telah
melanggar rasio dan logika, tetapi juga melanggar penafsiran
tercerahkan atas ajaran Islam.
Sains Marxis?
Di belahan Bumi lain, sejak dekade 1930-an, ilham Marx
menggerakkan banyak ilmuwan membangun sains dunia fisik yang
epistemologinya berdasarkan materialisme dialektis. Ditopang karya
Engels dalam Dialectic of Nature dan tesis Lenin dalam
Materialism and Empirico-Criticism, dengan heroik mereka
mencoba membangun Sains Marxis yang jelas berbeda dan diharapkan
lebih unggul dari Sains Borjuis masyarakat kapitalis. Dicarilah
tesis, antitesis dan sintesis dan kemudian dilakukan filterisasi
kesesuaian ideologis pada seluruh bidang sains fisik: mekanika
kuantum, relativitas, genetika.
Teladan paling menonjol dari Sains Marxis adalah Trofim
Denisovich Lysenko (1898-1976). Ia seorang pembiak tanaman yang
berasal dari Ukraina, seorang tokoh yang dilambungkan oleh koran
Pravda sebagai ilmuwan cemerlang yang dekat dengan akarnya:
kelas petani. Mantan muzhik (rakyat) yang menjabat Direktur
Institut Genetika Akademi Ilmu Pengetahuan Soviet dan Presiden
Akademi Lenin untuk Ilmu-ilmu Pertanian inilah yang menunjukkan apa
itu Biologi Marxis. Lysenko antara lain bilang bahwa tetumbuhan dari
spesies yang sama menunjukkan "solidaritas sosialis" dan tak akan
saling bersaing demi kelestarian jenis masing-masing. Dia bahkan
menegaskan bahwa pohon-pohon dari spesies yang sama yang ditanam
berdekatan secara kolektif baku tolong untuk bertahan hidup.
Akibat ajaran Lysenko yang gemilang dalam bahasa dialektika dan
perjuangan kelas itu, kehutanan dan pertanian Soviet menderita
kerugian besar. Ilmu biologinya mundur 20 tahun. Kemunduran itu buah
ajaran Lysenko yang ditetapkan sebagai doktrin ilmiah resmi di bawah
Rezim Stalin. Stalin-lah yang memberi Lysenko dan
pedukung-pendukungnya akses kepada alat-alat teror negara, dan
setelah itu mulailah pemecatan bahkan pengadilan yang berujung
dengan vonis hukuman mati terhadap seluruh ilmuwan yang tak
mendukung Lysenkoisme.
Kegagalan Lysenko tak menyurutkan kaum Kiri memerangi sains.
Sejak dekade 1960-an, kaum Kiri Baru melancarkan gelombang kritik
baru, kali ini terutama dengan berbekal sejata filsafat bahasa. Para
ilmuwan, khususnya fisikawan, bukannya diam menghadapi serangan
gencar yang berakibat luas itu.
Parodi Sokal
Serangan Sayap Kiri ditangkis, misalnya, oleh Alan Sokal,
profesor fisika Universitas New York. Pada 1994, Alan Sokal menulis
sebuah naskah yang ia sebut sebagai "eksperimen seorang fisikawan
dengan Cultural Studies". Naskah itu berjudul
Transgressing the Boundaries: Toward a Transformative
Hermeneutics of Quantum Gravity. Sokal kemudian meyerahkan
naskah itu ke Jurnal Social Text, yang editornya antara lain
adalah Fredric Jameson. Pada musim semi 1996, naskah itu terbit
dalam edisi khusus Science Wars.
Media Lingua Franca edisi Mei-Juni 1996 memuat pengakuan
Sokal bahwa naskahnya yang diterbitkan Social Text adalah
olok-olok untuk memperdayai lingkaran akademisi Kiri yang umum
disebut Kaum Postmodernis. Naskah itu sendiri memang sarat dengan
konsep-konsep konyol yang tak punya nilai secara ilmiah, tetapi
terkesan provokatif dari segi retorika. Ada sekian alasan mengapa
"omong-kosong Sokal" bisa dimuat oleh jurnal berwibawa seperti
Social Text. Selain provokatif dan menyanjung prakonsepsi
ideologis para editor Social Text, artikel Sokal itu tidak
harus mematuhi standar, pembuktian dan logika apa pun. Social
Text yang "posmo" tak punya segugus kaidah epistemologis yang
secara tegas ditegakkan. Satu-satunya jenis kerja keras yang
dilakukan oleh Sokal adalah menulis dan menulis ulang artikel itu
untuk mencapai tingkat ketakjelasan yang diharapkan. Upaya ini cukup
sulit, kecuali bagi mereka yang terbiasa menata kalimat-kalimat
ajaib yang sejernih lumpur.
Eksperimen Sokal bersambut. Kecerdikannya meramu sejumlah kutipan
dan penyalahgunaan konsep-konsep ilmiah oleh para pemikir
nonsaintis, khususnya kaum postmodernis, memantik polemik yang
melintasi benua. Halaman depan media internasional seperti New
York Times, International Herald Tribune, London
Observer dan Le Monde, secara bergantian menuliskan
Sokal Affair. Sejumlah debat seru berlangsung di
kampus-kampus besar di Amerika Utara dan Selatan. Reaksi hangat
tentu saja muncul di Perancis. Yang dibidik Sokal memang umumnya
adalah intelektual Perancis yang sekian dekade terakhir
mengharu-biru wacana ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan di Eropa dan
Amerika. Bruno Latour di Le Monde bahkan menuduh Alan Sokal
memimpin sebuah jihad suci Amerika melawan Perancis. Di situ
Perancis adalah "Columbia yang lain", sebuah negeri yang disesaki
oleh pembuat, bandar dan pengecer narkoba keras-Derridium,
Lacanium, dan lain-lain-yang dicandu habis oleh siswa-siswa
doktoral Amerika.
Mereka yang selama ini merasakan sebentuk kepungan
anti-intelektualisme yang disodorkan oleh pandangan yang secara
absolut merelatifkan segala hal dan menegakkan subyektivitas sebagai
penentu kebenaran; mereka itu seakan menemukan pembebasan lewat akal
bulus Sokal. Di mata mereka, Sokal dengan cerdik telah memblejeti
para pemikir besar zaman ini. Lacan, Derrida, Kristeva, Paul
Virilio, Gilles Deluze, Felix Guattari, Baudrillard dan sejumlah
nama penting lain, tampil sebagai barisan idiot yang karena begitu
bersemangat memberi efek dalam argumen-argumennya, telah dengan
penuh percaya diri mengutil dan mengkhianati secara tak kreatif
ide-ide khazanah pengetahuan ilmiah.
Saya pernah menganggap berlebihan tendensi Sokal mengkandangkan
seluruh rumpun pemikiran postmodernisme sebagai Fashionable
Nonsense dan para pemikirnya adalah intelektual penipu yang
berlindung di balik kekaburan bahasa. Sampai batas tertentu,
postmodernisme telah memberi sumbangan penting berupa demistifikasi
dan penyingkapan topeng-topeng filsafat dan rasio, dan karenanya
telah menunjukkan pula ilusi-ilusi dan keterbatasannya. Seluruh
spesies pemikiran postmodernisme adalah kritik terhadap semua
pengetahuan yang melupakan watak fiktifnya, sekaligus penegasan akan
watak fantastik kenyataan. Tetapi justru itulah soalnya: justru
karena pengetahuan itu fiktif dan kenyataan itu fantastik, rasio tak
boleh mundur dan harus dipaksa untuk terus membuntuti kenyataan.
Sokal benar bahwa ada semacam kemalasan intelektual di komunitas
akademi tertentu, yang terlalu gampang takluk pada imajinasi dan
kecurigaannya sendiri, dan tak secara metodologis membenturkannya
pada kenyataan.
Mereka yang dibidik Sokal tampaknya terbius sangat kuat oleh
gelora emansipasi, dan mungkin karena itu merasa berhak untuk
langsung melompat ke kesimpulan yang mengabaikan korespondensi,
verifikasi dan falsifikasi. "Para Pemalas" itu bukan cuma pemikir
posmo yang doyan menjelajahi bidang-bidang "avant-garde"
seperti Mekanika Kuantum atau teori Chaos dan Kompleksitas dan
memulung ide dari sana untuk mempercantik argumen-argumen mereka
tentang watak acak dan fragmentaris kenyataan. Mereka juga adalah
para feminis dan kritikus kebudayaan yang oleh politik identitas
menempelkan noda exism rasisme, kolonialisme dan kapitalisme
tak cuma pada praktik-praktik riset ilmiah tetapi juga pada
kesimpulan-kesimpulannya. Dan juga para sosiolog, sejarawan dan
filsuf yang memandang bukan saja formulasi hukum-hukum alam tetapi
bahkan kenyataan alam itu sendiri adalah konstruksi sosial dan
linguistik.
"Dua Realitas"
Ihwal tentang kenyataan adalah ihwal terpenting filsafat
pengetahuan. Di simpang alaf ini, tampaknya segenap kenyataan di
alam ini masih dapat dibagi dua. Pertama, kenyataan alam yang sudah
ada jauh sebelum hadirnya manusia, dan (sepertinya) tetap akan ada
sekalipun kehidupan dan kecerdasan tak lagi menghuni Tatasurya.
Kedua, kenyataan manusiawi yakni kenyataan yang terbentuk sejak
munculnya manusia dan terus hadir bersama manusia. Karena terbaginya
kenyataan seperti itu maka segenap pengetahuan di Bumi juga bisa
dibagi dalam dua sistem besar: pengetahuan yang bertumpu pada alam
semesta dan pengetahuan yang bertumpu pada manusia.
Para saintis, seperti Alan Sokal, secara intuitif percaya bahwa
ada sesuatu yang disebut sebagai kenyataan obyektif-eksternal yang
kehadirannya tak tergantung pada manusia. Realitas obyektif inilah
yang menjadi dasar sekaligus panggilan hidup ilmu, dan itulah yang
membedakannya dari seni. Kendati harus menghormati kenyataan, seni
mestinya membedakan diri-melebihi dan melampaui-kenyataan,
kehidupan. Jika ilmu diukur prestasinya dari kekuatannya merumuskan
hukum-hukum yang berlaku umum dan korespondensinya atas kenyataan,
seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan
penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan.
Setidaknya begitulah pendapat saya, dan tampaknya begitu pula
pendapat Fernando Pessoa. Penyair terbesar Portugis dalam 500 tahun
terakhir itu pernah berkata bahwa kalaupun puisi (baca: seni) tidak
melebihi kehidupan, maka setidaknya ia berbeda dari kehidupan. Jika
para penyair hanya menyajikan ke pembaca apa yang mereka sanggup
rasakan dalam kehidupan sehari-hari, maka penyair hanya memberi
terlalu sedikit. Pemberian seperti itu tak layak disebut pemberian.
Meski kenyataan itu dan hukum-hukumnya bersifat kekal, namun
pengetahuan manusia yang disusun untuk memahami dan merumuskan
kenyataan itu, sama sekali bersifat subyektif. Untuk membuat
pengetahuan subyektif itu berkorespondensi sedekat mungkin dengan
kenyataan obyektif, pengetahuan manusia harus terus-menerus
dibenturkan dengan kenyataan. Imajinasi manusia, pikiran-pikirannya,
adalah sejenis makhluk luar biasa. Ia akan selalu mencari jalan
untuk mengkonsolidasi dirinya, menjadikan dirinya tampak koheren dan
konsisten, setidaknya menurut kriteria subyektifnya sendiri. Upaya
konsolidasi diri itu bisa dilakukan imajinasi dengan mengabaikan
kenyataan atau setidaknya memiuh kenyataan yang dipersepsi. Pikiran
dan imajinasi manusia tak jarang mengkhianati manusia dengan
mengkhianati kenyataan.
Predikamen Ilmu
Dalam kenyataan manusiawi, berlaku diktum Kant-bahwa
pengetahuan, atau akal-tidak menurunkan hukum-hukumnya dari,
melainkan memaksakannya pada alam (yakni alam manusiawi). Di dunia
fisis, diktum Kant bukan saja tak berlaku, tetapi malah sering
menjadi bahan olok-olok. Lysenkoisme adalah contoh yang gamblang.
Contoh lain adalah tetapan kosmologis Albert Einstein yang ia
paksakan pada teori Relativitasnya. Einstein berpikir bahwa dengan
tetapan itu ia akan "menghasilkan" alam semesta yang tidak memuai.
Tetapan tersebut adalah penyesalan terbesar Einstein dalam hidupnya.
Penyesalan Einstein dan kekeliruan para penghujat sains yang tak
mengakuinya sebagai ekspresi kecerdasan umat manusia yang universal,
adalah contoh yang baik untuk menunjukkan watak istimewa pengetahuan
ilmiah. Kedahsyatan terbesar sains sungguh tidak terletak pada
kemampuannya menyibak rahasia semesta, mengontrol dan mengubah
dunia. Kekuatan terbesar sains, yang membedakannya dengan segenap
sistem pengetahuan yang lebih dulu muncul dalam peradaban, adalah
kesanggupannya meregulasi dan memetabolisir diri, berevolusi dan
merevolusi diri. Seperti sebuah organisme, sains mengembangkan dan
membersihkan dirinya secara periodik, menolak masukan yang tak
berdasar dan mencari masukan bermutu yang akan membuatnya tumbuh,
merombak dan membongkar seluruh dirinya.
Metabolisme seperti ini bisa terjadi karena kode genetik sains
memuliakan dua hal. Pertama adalah metode ilmiah yang meski tak
berpretensi tahu apa yang benar dan karena itu cuma bisa
mengusulkannya, tetapi secara jelas paham apa yang salah dan mampu
membuktikannya. Yang kedua adalah instansi lain yang tak kalah
penting dari metode ilmiah, yakni imajinasi yang selalu berusaha
mengatasi dirinya sendiri. Tetapi memang, genetika seperti ini tidak
akan survive andaikan saja Homo sapiens tidak hidup di
tengah kenyataan, atau ceruk (niche) kenyataan, yang sejauh
ini bisa kompatibel dengan imajinasi dan refleksi-kritis.
Genetika seperti itulah yang memungkinkan sains menjadi puncak
penyempurnaan aktivitas manusiawi yang sangat berhasil untuk
menyingkap sebagian rahasia semesta; sedemikian berhasilnya hingga
ia justru mengancam status ilmu itu sendiri.
Perkembangan-perkembangan mutakhir dalam Fisika dan seluruh
cabang-cabangnya, misalnya, telah menghadirkan sejumlah spekulasi
teoritis yang sepintas lalu terasa lebih ajaib ketimbang fiksi
ilmiah. Teori-teori itu menjangkau tlatah kenyataan imajiner yang
belum mungkin ada di Bumi.
Jika rahasia kosmos yang mengimbau dari luar ibarat musik,
seperti yang dibayangkan, kalau tak salah, oleh Einstein, maka sains
merupakan tarian yang adalah penghayatan atas musik tersebut. Jika
tarian yang baik adalah tarian yang bisa ditubuhkan, maka
pengetahuan yang valid adalah yang bisa diuji. Di masa sains masih
primitif dan aksesnya pada realitas masih terbatas pada jangkauan
inderawi, musik kosmos masih terdengar harmonis dan tertib. Tetapi
begitu kemampuan ilmu meningkat, para saintis memergoki betapa musik
kosmos itu meledak-ledak liar, khaotik dan menjadi mustahil
ditarikan dengan tubuh yang dimiliki sekarang, setinggi apa pun
kekuatan tubuh itu dilatih. Inilah predikamen yang terjadi misalnya
pada para ilmuwan penyusun Teori Superstring-teori yang sejauh ini
menjadi kandidat terkuat Theory of Everything (ToE). Mereka
hanya bisa menari secara imajiner, dan dengan amat terpaksa harus
puas dengan koherensi struktur matematis elegan tingkat tinggi yang
korespondensinya dengan realitas alam belum bisa diuji dengan
tingkat peradaban planet bumi saat ini.
Re-Kreasi Kosmos
Superstring adalah teori mutakhir yang mencoba menuntaskan
impian fisika: menggabungkan semua gaya fundamental alam dan
mentaksanomikan setiap jenis materi di alam semesta. Masalahnya
adalah, satu-satunya perkiraan atas teori ini berlaku pada skala
energi yang sangat besar, yang tampaknya hanya ada pada saat
penciptaan alam semesta. Sementara itu, Superstring, seperti
dihamparkan oleh Edward Witten, profesor Institute for Advanced
Study, Princeton, pemikir yang paling banyak dikutip dalam
kepustakaan fisika mutakhir, dibangun di atas prinsip-prinsip
teoritis yang telah berhasil secara mengagumkan di masa lalu. Teori
ini pun konsisten dengan setiap fenomena kosmis yang sudah
diketahui. Akan tetapi, kendati Superstring menawarkan harapan yang
masuk akal akan penyatuan seluruh pengetahuan ilmiah yang ada
sekarang, Superstring tetap belum bisa disebut sains, belum bisa
disebut ilmiah, sebelum membuktikan prediksinya. Para ilmuwan tentu
saja tahu soal ini, dan pemahaman itu beserta kegamangan akan status
teori mereka bukanlah sesuatu yang enteng ditanggungkan.
Oleh karena itu, dapat dibilang bahwa untuk menjadi ilmiah, sains
mutakhir dan segenap keturunannya yang ingin memahami semesta
seisinya harus menjadi sebuah cabang seni: pencipta
kenyataan-kenyataan yang belum pernah ditemui dalam sejarah, untuk
menguji teori-teori besar itu. Dan untuk pembuktian itu, artinya
mungkin memang menciptakan alam semesta, agar Superstring, atau
teori apa pun yang ingin merangkum semesta raya, bisa diuji. Alan
Guth dan Andrei Linde, perintis Teori Kosmos Inflasioner yang
menjadi sokoguru teori Big Bang, berpendapat bahwa secara teoretis
penciptaan kosmos ini bisa dilakukan di laboratorium.
Dengan melihat bahwa penciptaan alam semesta adalah kemungkinan
logis-untuk tidak mengatakannya sebagai nasib yang tak
terhindarkan-bagi masa depan pengetahuan ilmiah, terbentang bayangan
menakjubkan akan kesinambungan kosmos dan manusia. Alam semesta yang
berkembang dari "ketiadaan" itu, dengan sangat berliku telah
mengembangkan kehidupan yang unsur-unsur ragawinya dulu disusun di
perut bintang-bintang. Kini dari kehidupan itu, setelah berkembang
jutaan tahun, tumbuh kecerdasan yang dalam upayanya menjenguk
jantung materi, hidup dan kosmos, tampak dituntun untuk pada suatu
saat menciptakan semesta raya seisinya.
Timothy Ferris, profesor astronomi Universitas California,
Berkeley, pernah menulis bahwa mungkin sekali impian akan Theory
of Everything adalah sebentuk nostalgia kosmologis, dan
ilmu-ilmu yang dikembangkan manusia adalah medium yang dengannya
alam semesta merenungkan masa silamnya. Kini tampaknya, ilmu-ilmu
manusia bukanlah sekadar medium nostalgia semesta: ilmu adalah jalan
bagi semesta raya untuk melahirkan dirinya sendiri. Dengan demikian,
ilmu bukan saja pokok terpenting filsafat manusia, ia juga adalah
pokok terpenting filsafat kosmos, jika filsafat seperti itu memang
ada. Yang pasti, pemahaman baru akan kesinambungan kosmos dan
manusia, akan memancarkan sebentuk rasa terpaut ke Semesta, sebentuk
rasa takjub dan syukur -- ah, kata ini jadi terlalu miskin rasanya -- yang
belum pernah ada di Bumi.
*) Nirwan Ahmad Arsuka Sarjana Nuklir UGM Yogyakarta.
arsuka@indosat.net.id
Berita dikbud lainnya
:
Di Balik Senyum Sang Jenderal
Jejak Sejarah dalam Gambar
Guru pun "Ngambeg" ...