back | |
Serambi MADURA |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Pengungsi Madura: Membludaknya pengungsi di Pontianak membuat waswas warga setempat. "Penolakan" warga Pontianak mewarnai upaya pemda menangani aliran pengungsi yang mulai kesulitan pangan. Pontianak menjelma jadi kota pengungsian. Situasi di ibu kota Kalimantan Barat itu mencekam. Senin dini hari lalu, sejumlah warga setempat tampak berjaga-jaga di beberapa sudut kota. Secara bergiliran warga terus melakukan siskamling dan ronda malam. Ketegangan itu menyusul beredarnya isu akan terjadinya serangan balik dari warga etnis Madura ke wilayah Pontianak dan Sambas. "Makanya masyarakat masih tampak berjaga-jaga di lingkungan mereka," ujar Bupati Sambas Tarya Ariyanto menanggapi sikap tegang masyarakat. Tak mau kecolongan seperti di Sambas, Kapolda Kalbar Kolonel (Pol.) Chaerul R. Rasyid mengimbau kepada masyarakat untuk segera melaporkan jika melihat hal-hal yang dianggap mencurigakan. Chaerul juga menempatkan sejumlah aparat di sejumlah titik rawan dan kamp-kamp pengungsian di kota Pontianak. "Sebenarnya yang kita waspadai justru di daerah-daerah yang banyak konsentrasi pengungsi. Karena di situ pengungsi sudah tidak punya apa-apa dan mungkin ingin ini-itu sehingga timbul gejolak," ucapnya. Kekhawatiran Chaerul mungkin tidak berlebihan. Apalagi gelombang pengungsi terus memadati Pontianak. Menurut data pemda setempat, hingga Senin telah mencapai sekitar 28.707 jiwa. Bentrok susulan itu membuat pengungsi kian membludak di Pontianak. Mereka tersebar di beberapa tempat penampungan, seperti GOR Pangsuma, Stadion Sultan Syarif Abdurrahman, GOR Bulutangkis, Asrama Haji Pontianak, Stadion Universitas Tanjungpura, Gudang di Sungai Jawi, Tempat Pelelangan Ikan Jeruju, dan beberapa kompleks ABRI. Jumlah pengungsi ini termasuk para korban yang diserang di Kecamatan Paloh, Sekura, dan terakhir di Sejangkung, Kamis pekan lalu. Bentrok bersenjata itu terjadi saat seluruh aparat di Kalbar berkonsentrasi menyambut kedatangan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto di Singkawang. Kerusuhan susulan di wilayah yang hanya berjarak 12 km dari Sambas itu membuat banyak pihak bertanya-tanya. Soalnya di wilayah pedalaman Kalbar yang memang multietnis, selama ini kehidupannya rukun-rukun saja. "Sebenarnya Sejangkung merupakan daerah paling aman. Karenanya waktu kita kirim pasukan, Sejangkung paling belakangan. Ternyata sejam sebelum pasukan datang, pecah kerusuhan," tutur Chaerul yang pernah menjabat kapolres di Sejangkung. Meluapnya pengungsi membuat pemda kewalahan, baik dalam penyediaan sarana umum maupun logistik. Tak heran jika di tempat-tempat penampungan terjadi kekurangan pangan. Bahkan banyak di antara pengungsi terutama anak-anak dan balita terancam kekurangan gizi. "Depsos hanya menyediakan dua kali makan, siang dan sore. Anak-anak diberi tambahan sarapan pagi berupa kue atau mi instan. Jatah yang diberikan hanya tiga ember besar nasi beserta sayur dan lauk-pauk seadanya. Padahal pengungsinya ribuan orang," ujar Wati, seorang relawan di GOR Bulutangkis Pontianak. Selain kurang, jatah makanan yang diberikan kadang terlambat. "Pernah nasi didatangkan pukul 07.00, tapi sayur dan lauk-pauknya baru datang pukul 09.00," kata mahasiswi STAIN Pontianak itu. Kepedihan juga dirasakan Marsikan, bocah berusia delapan tahun yang menjadi salah satu dari ribuan pengungsi yang ditampung di halaman Stadion Sultan Syarif Abdurrahman Pontianak. Ahad pagi lalu ia terduduk kuyu. Matanya nanar menanti jatah makanan. Sudah setengah hari tak sesuap nasi pun masuk ke perutnya. Sehari sebelumnya ia cukup beruntung karena dapat jatah sarapan dan makan malam. Di tempat pengungsian ia bersama kakak dan dua orang adiknya. Ayah dan ibunya hingga kini belum diketahui rimbanya. Mereka terpisah saat kampungnya mendapat serangan. Kedua orangtuanya lari ke hutan, sementara ia dan ketiga saudaranya, diajak lari para tetangga untuk mengungsi. Di kamp pengungsian ini banyak yang bernasib seperti Marsikan. Agaknya episode ‘pelarian’ warga asal Madura di Kalbar belum akan berakhir. Soalnya, meluapnya pengungsi memunculkan kekhawatiran baru di kalangan warga sekitar. "Warga masyarakat mulai khawatir dengan terus membanjirnya para pengungsi di Pontianak," ujar Julius Hadi Susetyawan, anggota Bankom Dewan Adat Dayak Kanayatan. Hal ini dibenarkan Adrianto Alio, salah seorang tokoh adat Dayak saat berdialog dengan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto di Singkawang, Kamis pekan lalu. Menurut dia, jajak pendapat yang dilakukan Dewan Adat Dayak di Kabupaten Sambas yang diikuti suku Dayak, Melayu, Cina, dan Bugis menyatakan menolak hidup berdampingan dengan suku Madura. Dengan kata lain, migran Madura tidak lagi disenangi di wilayah Sambas. Alasannya, budaya etnis Madura yang selalu membawa-bawa celurit ke mana pun pergi tidak cocok dengan budaya keempat suku lainnya. Tak pelak suara itu membuat Pemda Kalbar kian kerepotan. Padahal, pemda telah menyusun tiga langkah dalam mengatasi kerusuhan Sambas. Pertama, penyelamatan berupa penampungan yang diperkirakan sekitar dua bulan, diikuti rehabilitasi fisik dan psikis. Serta bantuan penyediaan makanan, minuman kesehatan, dan pakaian. Kedua, relokasi sementara berupa pengerahan ke pengelolaan lahan tidur serta pembuatan barak-barak sementara. Tahap ketiga, perencanaan transmigrasi lokal bagi korban kerusuhan. Sebagai ancang-ancang, pemda melirik Kecamatan Ketapang sebagai lokasi transmigrasi lokal. Wilayah tersebut dipilih karena dianggap potensi konfliknya rendah. Sayangnya, rencana ini mendapat reaksi negatif. Beberapa pemuka masyarakat Kabupaten Ketapang dari berbagai etnis termasuk Madura pada Jumat mendatangi DPRD Tk. II dan Bupati Kabupaten Ketapang. Tujuannya menyampaikan penolakan bersama pada tawaran Gubernur Kalbar Aspar Aswin yang hendak menjadikan wilayahnya sebagai lokasi transmigrasi lokal bagi para pengungsi korban kasus Sambas. "Kami tidak ingin persatuan, persaudaraan, dan ketenangan warga Ketapang yang selama ini terjalin diusik. Nanti gara-gara segelintir orang, kami warga Madura yang sudah lama menetap menjadi korban," ujar Abdullah Yasin dari Ikatan Keluarga Madura Ketapang. Arus penolakan terhadap orang Madura di wilayah Kalbar memang tak dapat disalahkan meski musykil dikabulkan. Selain tak menyelesaikan masalah, ‘pengusiran’ juga akan memicu konflik baru. Lantaran banyak migran Madura yang telah hidup bertahun-tahun di wilayah Kalbar. Bahkan tak jarang yang sudah merupakan generasi ketiga atau keempat dan menganggap Kalbar sebagai kampung halamannya. Ini diungkapkan Marba’i, salah satu tokoh adat Madura. Hal itu juga ditegaskan dalam siaran pers ulama Madura yang ditandatangani KH R. Fuad Amin Imron. Dalam siaran persnya ulama Madura juga mengimbau pemerintah untuk tidak memulangkan warga Madura sesuai dengan haknya sebagai warga negara. Pengusiran etnis Madura, lanjut Fuad Amin, hanya akan menumbuhkan dendam yang tak berkesudahan. Penyelesaian kasus ‘perang’ antaretnis yang memang potensial di Kalbar ternyata cukup pelik. Menyadari hal tersebut, Gubernur Kalbar Aspar Aswin tak ingin tergesa-gesa merumuskan formulasi penyelesaiannya. Saran Mentrans dan PPH A.M. Hendropriyono untuk memulaukan para pengungsi tak segera disetujuinya. "Kalau mereka harus dipulaukan, hendaknya disurvei secara menyeluruh terlebih dahulu. Sehingga kasus serupa tidak berulang kembali," ujar Aswin. Dalam pandangan Aswin, setidaknya ada dua aspek yang perlu diperhatikan, baik dari sudut pandang masyarakat yang diungsikan maupun aspirasi masyarakat setempat. "Dalam kondisi seperti saat ini, saya belum bisa menjamin pengungsi ditempatkan di mana pun bisa secara otomatis diterima masyarakat setempat," tutur Aswin. Yang pasti, berbagai cara dilakukan aparat untuk meredam gejolak di Kalbar. Selain terus berjaga-jaga, juga mempertemukan tokoh dari berbagai etnis untuk berdialog dan membuat kesepakatan damai. "Kami juga mengimbau tokoh-tokoh masyarakat di seluruh daerah agar aktif mengadakan penyuluhan ke desa-desa," kata Chaerul. Aparat juga terus melancarkan razia senjata api dan senjata tajam. Menurut Satgas Penerangan Kerusuhan Sambas Letkol (Pol.) H.C. Tukimin di Singkawang, hingga kini aparat telah menyita 530 pucuk senjata api rakitan, 2.000-an senjata tajam berbagai jenis, delapan toples bubuk mesiu, 51 tabung peluru kecil, 405 butir peluru timah, 35 butir peluru gotri, 79 batang pipa besi, 207 peluru standar ABRI, 19 peluru bomen buatan Malaysia, 13 bom molotov, serta 500 busur dan anak panah. Sementara jumlah tersangka yang diamankan petugas hingga Senin tercatat 55 orang dari berbagai suku. Mereka ditangkap atas berbagai tuduhan mulai dari pelaku pembakaran, perusakan, sampai pembunuhan. Mereka, lanjut Kapolda, termasuk para provokator kerusuhan Sejangkung yang berasal dari wilayah sekitar. Berbagai upaya meredam meluasnya eskalasi kerusuhan telah dilakukan aparat. Semoga prediksi Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid soal kerusuhan susulan meleset.
Yunita Trihandini
Laporan: Agung Y. Achmad, Elly Burhaini Faizal, dan Pahrian Ganawira (Pontianak)
No. 51 Tahun II
7 April 1999Panji
Masyarakat
Banyak Aral Hidup di Kalbar