back | |
Serambi DEPAN |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Selasa 27 April 1999 |
Kompas |
SELAMA 22 tahun para pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh Orde Baru (Orba) bersikeras hati dan bersitegang leher mempertahankan Timor Timur (Timtim) sebagai "bagian yang sah" dari Indonesia. Dengan ngotot mereka menyatakan bahwa coute-que-coute Timtim harus tetap menjadi propinsi ke-27. Bahkan sampai kira-kira setengah tahun pertama Orref (Orde Reformasi) pun, Menlu Ali Alatas masih tegas-tegas mengatakan bahwa Timtim telah berintegrasi ke Indonesia, dan bagi Indonesia persoalannya sudah selesai. Seandainya ia masih seorang magang ingusan di suatu kedutaan kita, dan bukan diplomat kawakan yang telah merasakan masam-asinnya asam dan garam, barangkali ledakan pernyataannya akan sekeras ucapan Sandy Nayoan kepada WIL-nya, Devi Permatasari. "Timtim telah berintegrasi. Tak perlu dipermasalahkan lagi. Titik!!"
Para diplomat kita, terutama yang di PBB, berjuang keras untuk mencegah jangan sampai pembicaraan tentang Timtim diagendakan, baik di Majelis Umum, maupun terlebih-lebih lagi di Dewan Keamanan. Sampai sejauh ini usaha itu pun berhasil, walaupun Portugal juga tetap ngotot.
Sementara itu kecaman dari sana-sini terus saja terdengar. Mana yang pelanggaran hak asasi manusia (HAM)-lah, yang represi ABRI terhadap aspirasi rakyat Timtim-lah, yang anti-penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) Timtim-lah, dan lain-lain, ab infinitum, ab nauseam (kecuali bagi Ramos Horta dan sebagian dari kita). Dari warga kita sendiri pun datang kecaman keras, misalnya dari George J Aditjondro, tentang peristiwa Santa Cruz.
Anjing menggonggong, khafilah berlalu. Kecaman itu tidak mengendurkan leher yang tegang dan tidak melunakkan hati yang keras. Pejuang kemerdekaan Timtim yang anti-integrasi terus saja diperlakukan sebagai GPK -julukan yang kemudian direformasi menjadi GPL. Mereka tak ada bedanya dengan GPL di Aceh, atau sisa-sisa Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Irja, yang disebut GPL pula.
Namun, dengan "mendewasa"-nya (?) Orref, lalu terjadi perubahan yang drastis. Pemerintah bersedia memberikan otonomi yang luas kepada Timtim. Auto = sendiri, nomos = aturan; berarti Timtim boleh mengelola urusan dan daerahnya dengan aturannya sendiri. "Luas" berarti di semua bidang, kecuali hubungan luar negeri dan pertahanan. Bahkan mungkin urusan moneter, yang berarti Timtim boleh menentukan kebijakan lalu lintas devisanya sendiri, memakai mata uangnya sendiri, dan mematok suku bunga perbankannya sendiri. Kalau mau menamai mata uangnya "Eskiah" (peleburan/portmanteau antara Escudo dan Rupiah), ya boleh.
Belum lagi tawaran otonomi luar ini terealisasi, muncul kejutan yang lebih besar; Indonesia bersedia melepaskan Timtim. Kalau mereka menolak otonomi, dan MPR hasil Pemilu 1999 menyetujui, Timtim mau merdeka "Ya, mangga", kata Presiden Habibie. "Timtim harus sudah tak membebani Indonesia mulai tahun 2000," tambahnya.
Kebesaran jiwa
Apakah perubahan sikap yang tidak tanggung-tanggung ini menunjukkan kebesaran jiwa dan kenegarawanan tokoh-tokoh pemerintah kita? Apakah ini sikap yang tulus, sesuai dengan Mukadimah UUD 1945 yang mengakui hak setiap bangsa untuk merdeka? Apakah tak ada alasan lain, kecuali keinginan kita untuk memenuhi aspirasi rakyat Timtim? Sebelum menjawab pertanyaan retoris ini, kita tampilkan dulu contoh kebesaran jiwa (magnanimity).
Ketika Prabu Dasarata lengser, ingin sekali baginda menyerahkan takhta Ayodia kepada Rama Regawa. Memang pangeran pati Rama Regawalah yang paling berhak dan paling pantas. Harapan rakyat pun tertuju kepada putra mahkota ini. Tetapi muncul protes dari permaisuri, Dewi Keikayi. Baginda tak boleh ingkar janji. Pangeran Bharata-lah yang harus menjadi raja!
Demi kehormatan Prabu Dasarata yang harus memenuhi "Sabda pandeta raja", Regawa ikhlas mengalah kepada Bharata. Ia bahkan rela menjalani hukuman buang di hutan Dandaka. Bukan itu saja, Regawa juga membesarkan hati Bharata dan menasihatinya dengan wejangan "Wahyu Mahkota Rama". Sikap dan tindakan Regawa itu mencerminkan kebesaran jiwanya. Dia di pihak yang benar dan dalam posisi menang. Namun, dengan iklas ia bersedia mengalah demi kepentingan yang lebih besar, yakni ketenteraman negara dan kepuasan semua pihak.
Contoh dari dunia nyata ditunjukkan oleh Isaac Barrow. Barrow menduduki mimbar Lucas-an (Lucasian chair), yakni mimbar kegurubesaran matematika di Universitas Cambridge. Namun posisi yang terhormat ini ia serahkan dengan ikhlas kepada bekas mahasiswanya yang sekarang menjadi rekan mudanya, yakni Isaac Newton. Profesor Barrow mengundurkan diri sambil memuji Newton sebagai "jenius tanpa tara". Memang benar, penilaian Barrow itu. Tetapi Barrow adalah guru besar ternama yang berpengalaman, sedang Newton baru berusia 27 tahun. Tokoh senioritas dan jenjang akademik Barrow yang tinggi itu tak menghalanginya untuk menunjukkan apresiasinya, dengan tindakan nyata, kepada seorang anak muda! Kesukarelaan Barrow untuk lengser pada tahun 1669 itu dan menjadi emiritus, menunjukkan kebesaran jiwanya.
Timtim
Dalam hal Timtim, sayang bahwa kesediaan untuk melepaskan daerah sengketa ini tidak tanpa syarat. Ada embel-embel nya, yakni (1) tanpa referendum dan (2) kalau disetujui MPR hasil Pemilu 1999. Secara tersirat juga tampak (salah satu) alasannya, yakni karena selama ini Timtim bagaikan duri dalam daging dan membebani anggaran negara. Belum lagi harga yang tak ternilai yang harus kita bayar, berupa hilangnya jiwa anggota ABRI dan rakyat di sana.
Syarat "tanpa referendum" itu konon untuk menghindarkan perang saudara. Tetapi apakah keputusan MPR itu nanti-terlebih-lebih kalau ternyata tidak menyetujui keinginan rakyat Timtim-tak berpotensi menimbulkan perang saudara? Bukankah relatif lebih baik perang saudara itu (kalau toh harus terjadi) merupakan akibat referendum, yang berarti akibat keputusan mereka sendiri? Kalau itu merupakan akibat keputusan MPR, kita mempunyai kewajiban moral untuk mendamaikan mereka. Ini berarti pembangunan di ke-26 propinsi lainnya masih akan terganggu oleh masalah Timtim. Kalau kita "embuh ora weruh" (tak mau tahu) apakah mereka saling cakar atau baku bantai, kita "tinggal gelanggang colong playu", cuci tangan gaya Pontius Pilatus! Lagi pula, syarat "kalau disetujui MPR" itu terasa kurang menghargai hak rakyat Timtim untuk menentukan nasibnya sendiri. Mengapa kita, dan bukan mereka sendiri, yang harus menjatuhkan "kata putus"?
Alasan tak mau lagi dibebani masalah dan biaya sebenarnya tak perlu dikemukakan. Bahwa beban itu, termasuk sorotan dunia, terasa berat, memang benar. Tetapi ini semua adalah konsekuensi intervensi kita pada tahun 1976. Tak pantas kita mengeluh, sekarang. Mengatakan Timtim sebagai beban dan a pain in the neck, hanya mengingatkan orang kepada gerutu kancil dalam kisah "Buah Anggur yang Masam"!
Seandainya tak ada embel-embel syarat di atas; seandainya kita sejantan Sisyphus yang menuai badai "karma"nya tanpa mengeluh; seandainya kita berlapang dada mengakui kekeliruan kita tanpa khawatir kehilangan muka, barulah mungkin orang melihat kebesaran jiwa kita. Sikap dan tindakan yang diandai-andaikan itulah yang mencerminkan kenegarawanan.
( * L Wilardjo, Ph.D., D.Sc., fisikawan, pengamat sosial-budaya, pengajar di UKSW dan Undip Semarang)