back
Serambi MADURA PadepokanVirtual
Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

24 Desember 1999 Suara Pembaruan


Menolak Tawaran Jadi Menteri
Prof Dr Ichlasul Amal

Pembaruan/Dewi Gustiana

MENOLAK tawaran menjadi Menteri Pendidikan pernah dilakukan Prof Dr Ichlasul Amal (57), Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pada masa pemerintahan transisi yang dipimpin BJ Habibie. Alasannya sederhana saja, takut tidak independen lagi dan merasa lebih baik berada di lingkungan kampus.

Tokoh yang populer di kalangan mahasiswa ini memang dikenal sederhana dan tidak mau ikut-ikutan berpolitik praktis. Walaupun guru besar dalam Ilmu Politik Fisipol UGM ini adalah tokoh kampus yang mengedepan dalam merontokkan rezim Orde Baru, karena boleh dikatakan gelombang demo anti-Soeharto bermula dari Kampus Bulaksumur. Bahkan bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X ia ikut menjadi motor penggerak reformasi dan aksi perdamaian yang diikuti sejuta warga Yogya, Mei l998.

Demikian pula, Ichlasul Amal pernah memprakarsai dialog antarpartai politik yang bermunculan menjelang pemilu terakhir. Bukan pekerjaan mudah, tetapi berhasil dilakukan. Ia menilai tidak fair, aturan untuk ratusan partai hanya diatur oleh tiga parpol yang berada di DPR saat itu.

Dan anak pedagang asal Madura itu, memang menepati janjinya saat dilantik menjadi rektor, Maret 1998. Ia justru didemo mahasiswanya agar memperhatikan aspirasi suara kampus. Ia tidak lari seperti Mendikbud Wiranto Arismunandar yang melantiknya waktu itu. Ia justru mendatangi mahasiswa yang berteriak-teriak di halaman Gedung Rektorat dan berjanji akan selalu berada di belakang mahasiswa.

Boleh dikatakan, kedekatan dengan mahasiswa itu menjadikan Amal yang pada masa kecil bercita-cita jadi pemain bola, 'aman' di tengah-tengah mahasiswanya. Apalagi ditambah dengan pembawaannya yang kebapakan. Bahkan wartawan yang biasa meliput di lingkungan kampus UGM terkesan dengan sikapnya tersebut.

Ia bersedia diwawancarai di mana saja. Di ruang kerjanya, di sela-sela acara, di rumah, atau ketika hendak naik mobil seusai bertugas seharian. Ini berkaitan dengan cap yang ditempelkan wartawan ke diri Amal sebagai pengamat politik, sehingga dalam setiap perkembangan politik, tidak afdal kalau tidak mendapat pernyataan politik darinya.

Dalam keseharian, Amal humoris. Ia tidak pernah mengungkapkan kata-kata dengan nada keras. Tetapi bukan tidak tajam. Ia mengaku tidak bisa asal ngomong keras, tanpa dasar akademis. Justru pernyataan maupun analisisnya sering benar.

Ketika berlangsung Sidang Umum untuk menentukan siapa calon presiden RI, misalnya, Amal justru menunjuk Gus Dur, yang belum banyak dibicarakan orang, termasuk dari Poros Tengah. Dia melihat, tarik-menarik dalam calon presiden akan lebih memunculkan calon lain yang lebih netral dan bisa diterima, untuk menghindari perpecahan antarkelompok. Gus Dur adalah tokoh alternatif yang disebut Amal saat itu.

Analisisnya benar, ketika nama Gus Dur kemudian memang muncul dan menang dalam pemilihan. Beberapa kalangan berpendapat, pernyataan Poros Tengah melalui Amien Rais yang memunculkan nama Gus Dur tidak terlepas dari pandangan Ichlasul Amal. Karena tokoh sekaliber Amien Rais selalu mengontak Amal dalam setiap perkembangan politik yang terjadi di Tanah Air.

Bahkan sesaat sebelum pemilihan Ketua MPR, Amien juga mengatakan kepada Amal, keadaan berubah walaupun sebelumnya ia dicalonkan sebagai ketua DPR. Dalam pandangan Amal, Amien tidak cocok jadi ketua MPR. Ia dapat lebih banyak berbuat kalau menjadi ketua DPR, karena akan langsung berhadapan dengan eksekutif yang memang harus dikontrol secara tegas.

Di Belakang Layar

Itulah Amal, suami dari Ery Hariaty dan bapak dari dua anak, Amelia Heranisa dan Akmal Herawan. Amal yang sudah bercucu ini sebenarnya tokoh di belakang layar yang luput dari perhatian pusat.

Pria kelahiran Jember 1 Agustus 1942 itu meraih gelar sarjana dari Fisipol UGM pada 1967. Kemudian ia mendapat beasiswa untuk meraih gelar master of arts (MA) dalam ilmu politik di Northern Illinois University De Kalb, AS, 1974. Gelar doktor dalam ilmu politik diraih di Monash University, Melbourne, Australia, 1984. Disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor telah dibukukan dengan judul Hubungan Pusat Daerah Dalam Pembangunan.

Sebelum menjabat rektor, Amal menjabat sebagai Direktur PAU UGM Studi Sosial, 1986-1988, kemudian Dekan Fisipol antara 1988-1994, dilanjutkan sebagai Direktur Program Pascasarjana, 1994-1998. Ia diangkat menjadi guru besar dalam Ilmu Politik Fisipol UGM, 1994. Untuk jabatan rektor Amal masih berkesempatan hingga 2002.

Sebagai rektor Amal memang sangat sibuk, namun bukan berarti dia melewatkan kebiasaan berolahraga. Hampir setiap pagi ia bersepeda. Ia rajin jogging dan tenis. Ia tidak pernah main golf, yang selama ini dikenal sebagai olahraga kaum berada. Maka ketika salah satu acara Dies Natalis UGM pada Desember ini adalah pertandingan golf, Amal mengaku cukup bingung. "Jangan-jangan nanti stick-nya yang terlempar," katanya, sambil tertawa.

Ungkapan yang sekaligus menyiratkan kesederhanaan. Rumahnya di kawasan Pandeansari Condong Catur, Sleman, tidak terlalu besar namun sangat nyaman. Tanaman yang terawat rapi dengan kolam ikan menjadikan rumah keluarga Amal terkesan asri.

Tugas Amal sebagai rektor kini memang makin berat. Apalagi dihadapkan pada rencana otonomi daerah termasuk otonomi kampus. Sebagai langkah awal ia sudah berancang-ancang akan menaikkan SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) mahasiswa. Diakui cukup sulit, apalagi di tengah krisis ekonomi seperti sekarang ini. Tetapi, ini harus dilakukan, jika tetap menginginkan UGM terjaga kualitasnya karena subsidi dari Pemerintah Pusat di masa mendatang akan makin berkurang. (132)