|
Asal Usul Islam
oleh Dr Asghar Ali Engineer
Suatu agama, baik yang mengaku sebagai agama wahyu maupun tidak, tidak bisa
lepas dari pengaruh situasi asal-usulnya yang kompleks. Adanya campur tangan
Tuhan sekalipun, tidak bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh ini. Teologi Islam,
sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur'an, tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan
yang semena-mena, bahkan dalam teologi Asy'ariah sekalipun. Pernyataan Al-Qur'an
dalam masalah ini sangat jelas. "Kamu tidak akan pernah menemukan perubahan
apa pun pada sunnah Allah".1 Bahkan pahala
dan siksa Tuhan, berbeda dengan teologi Calvinis, bukan atas dasar tindakan
Tuhan yang semena-mena. Al-Qur'an menyatakan, "Tidak ada sesuatu pun bagi
manusia, kecuali apa yang diupayakan".2
Tentu saja, petunjuk Allah (taufiq min Allah)
tidak ditolak, tetapi petunjuk Allah itu, sepanjang perhatian teologi
Al-Qur'an, tidaklah bersifat semena-mena. Taufiq (petunjuk Allah) dalam teologi
Islam sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan Tuhan, yang
masih mempunyai kemungkinan dapat atau tidak dapat diaktualisasikan, karena
manusia adalah "agen" yang bebas.
Proses historis juga sangat diperlukan dalam Islam. Sejarah bukanlah mitos,
bukan pula suatu proyek arbitrer yang sama sekali tidak mempunyai kausalitas
sosial. Al-Qur'an memang mempunyai pendekatan teleologis sebagaimana
kisah nabi-nabi Israel yang diceritakan dengan penggambaran yang jelas, tetapi
kausalitas tidaklah diabaikan begitu saja. Kemurkaan Allah kepada suatu bangsa
atau seseorang diberlakukan ketika mereka mengabaikan proses kausalitas sosial
dan berbuat menyimpang dari sunnah-Nya, baik secara fisik (hukum alam)
maupun moral (hukum-hukum etik yang mengacu pada hudud Allah dalam
Al-Qur'an). Al-Qur'an menyatakan: "Telah banyak negeri yang Kuhancurkan
ketika warganya melakukan kezaliman. Maka reruntuhannya menimpa atap-atapnya,
dan bagaimana telaga dan gedung-gedung (mereka tinggalkan)."3 Dan lagi, "Dan banyak negeri yang aku biarkan,
sementara warganya berbuat zalim, lalu setelah sampak waktunya, Aku kenakan
siksa bagi mereka..."4
Dengan demikian kita melihat bahwa teologi Islam, sebagaimana dinyatakan
Al-Qur'an, sama sekali tidak mengabaikan determinisme sejarah,5 tetapi sebaliknya, secara serius memperhatikan peristiwa
sejarah serta pengaruh-pengaruhnya yang menentukan. Islam juga mencoba menanmkan
kesadaran sejarah pada umatnya. Al-Qur'an berkata: "Apakah mereka tidak
pernah melakukan penjelajahan di muka bumi? Mereka mempunyai hati yang dengannya
mereka dapat memahami, dan mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat
mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
adalah mata-hati yang ada di dalam dada."6
Apa yang dinyatakan secara jelas adalah bahwa kesadaran yang tepat
diperlukan untuk memahami sesuatu dan mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa
sejarah, dan bukan semata-mata persepsi inderawi yang dimiliki setiap orang.
Sebelum kita membahas lebih lanjut asal-usul Islam, kiranya kita perlu
memahamiistilah "determinisme sejarah" dengan tepat. Hal ini tidak lain untuk
menghindari kesalahpahaman. Istilah ini tidak menafikan lingkup yang sah bagi
inisiatif manusia yang bagaimanapun sesuai dengan persepsi manusia tentang
tujuan ilahiyah.7
Menjelang dewasa, Nabi menemukan situasi yang sangat kacau di Mekkah, tempat
Islam dilahirkan. Seorang yang berperilaku jujur, yang memperoleh gelar
Al-Amin, tentulah sangat gelisah melihat situasi yang ada di hadapannya,
dan mencari jalan keluarnya. Seorang yang sangat rendah hati tapi berhati dan
berotak luar biasa cerdas, mulai mencari jalan keluar yang kemudian menuntunnya
untuk menyendiri di gua Hira, di sebuah pegunungan berbatu di luar kota Mekkah.
Muhammad, Nabi Islam itu, setelah melewati hari-hari meditasi dalam
kesendiriannya di gua, akhirnya memperoleh cahaya wahyu Tuhan. Wahyu, secara
essensial, berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang
ada serta memiliki kesadaran sejarah. Ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang
diwahyukan kepada Nabi, sebagaimana nanti akan kita lihat, mengungkapkan
keprihatinan yang mendalam terhadap situasi yang terjadi di Mekkah.
Lalu, bagaimana situasi Mekkah ketika itu? Mekkah sejak akhir abad kelima
telah berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting. "Mekkah menjadi makmur,
karena lokasinya berada pada rute strategis dan menguntungkan dari Arabia Utara
ke Arabia Selatan; Mekkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat
pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah
melalui Jeddah, bahkan dari Afrika.8 Dengan
demikian Mekkah berkembang menjadi pusat keuangan dari kepentingan internasional
yang besar. Karena itu, bersamaan dengan berkembangnya perdagangan dan peredaran
uang, suatu pandangan hidup dan cara pandang baru pun muncul, meskipun belum
dinyatakan secara sadar dan tepat. Kerja komersial tentu mempunyai logikanya
sendiri dan mengarahkan masyarakat pada suatu cara hidup tertentu. Dinamika
sosial dalam masyarakat Mekkah yang seperti itu mengarahkan pada suatu kehidupan
yang tidak selaras dengan kehidupan masyarakat yang beralaskan norma-norma
kesukuan. Pada pasir di sekitar Mekkah yang tak bersahabat
membuat beberapa suku merasa tenang hidup di Mekkah. Namun, sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi perdagangan yang sangat cepat, biaya kehidupan di Mekkah
menjadi masalah baru bagi suku-suku itu. Orang-orang Baduy itu mempunyai cara
pandang dan etika kesukuan tertentu, misalnya watak egalitarian. Mereka terbiasa
bebas dari semua bentuk tanggungjawab kecuali sebatas apa yang menyangkut suku
mereka. Suku-suku padang pasir itu hidup nomadik, karena itu tidak banyak
mengembangkan tradisi pemilikan pribadi kecuali sebatas hewan peliharaan dan
persenjataan ringan. Kebutuhan-kebutuhan mereka pun sangat sederhana sekedar
untuk melangsungkan kehidupan dan ditandai tidak adanya ekonomi uang (cash
economy). Oleh karena itu, masalah akumulasi dan pemusatan kekayaan, tidak
muncul.
Di satu sisi, masyarakat pedagang (yang berdasar pada sirkulasi produk, bukan
pada produksinya), tergantung pada perluasan ekonomi uang. Masyarakat ini
mengembangkan lembaga-lembaga pemilikan pribadi, memperbanyak keuntungan,
menumuhkan disparitas ekonomi dan pemusatan kekayaan. Etika masyarakat
perdagangan itu tentu saja bertabrakan dengan etika masyarakat kesukuan.
Kebangkrutan sosial di Mekkah, sesungguhnya berakar pada konflik-konflik ini.
Karena cepatnya perkembangan operasi perdagangan, beberapa pedagang yang
memiliki keahlian yang berasal dari berbagai klan dan suku, terus menerus
memperbanyak kekayaan pribadinya. Bahkan mereka membentuk korporasi bisnis
antar-suku dan menerapkan monopoli pada kawasan bisnis tertentu di tempat asal
mereka. Orang-orang lemah dan tersingkir dari persaingan bebas ini mencoba
membentuk asosiasi yang mereka sebut Hilf al-Fudul (Liga Orang-orang
Tulus).
Nabi tergabung dalam Liga ini dan selalu merasa bangga dengan persekutuannya
dengan Liga tersebut. Berbagai penjelasan telah ditawarkan untuk pembentukan
Liga ini.9
Demikian pula orang-orang miskin, lemah, terlantar dan tak terlindungi yang
terjebak dalam proses sosial yang tak terelakkan itu merebak di pinggiran kota
perdagangan Mekkah. Dalam struktur masyarakat kesukuan, hancurnya struktur
masyarakat kesukuan di Mekkah bertanggungjawab terhadap terbukanya pintu
ketegangan sosial.10 Sementara itu, monopoli
perdagangan sedang muncul di Mekkah.11
Agama apapun, sebagaimana telah dinyatakan di muka, membawa
ciri-ciri asal-usul kelahirannya, sekalipun agama itu agama wahyu. Ajaran Islam
sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur'an, tanpa pengecualian juga terkena hukum
ini. Tuhan menjanjikan dalam Al-Qur'an untuk mengutus seorang pembimbing atau
seorang pemberi peringatan ketika suatu masyarakat menghadapi krisis sosial dan
krisis moral. Muhammad dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk
membimbing dan membebaskan rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir
dari penumpukkan kekayaan yang berlebih-lebihan sehingga menyebabkan
kebangkrutan sosial. Islam bangkit dalam setting sosial Mekkah, sebagai
sebuah gerakan keagamaan, namun lebh dari itu, ia sesungguhnya sebuah gerakan
transformasi dengan implikasi sosial ekonomi yang sangat mendalam. Islam, dengan
kata lain, menjadi tantangan serius bagi kaum monopolis Mekkah.
Harus dicatat, kaum hartawan Mekkah, bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran
keagamaan Nabi--sebatas ajaran-ajaran tentang penyembahan kepada satu Tuhan
(Tauhid). Hal itu bukanlah sesuatu yang merisaukan mereka. Yang merisaukan
mereka justru implikasi-implikasi sosial-ekonomi dari risalah Nabi itu. Seperti
diketahui, di sana telah berkembang kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat
kuat. Mereka semuanya merasakan bahwa di dalam risalah Nabi terdapat suatu yang
mengancam kepentingan mereka, yakni kepentingan akumulasi kekayaan yang selama
ini berjalan tanpa rintangan. Namun sekarang ayat-ayat Al-Qur'an mencela
penumpukan kekayaan itu. Salah satu ayat yang diturunkan di Mekkah pada
awal-awal Islam mengatakan: "Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela,
yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa harta itu
dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan
dilemparkan ke dalam Huthomah. Dan tahukan kamu Huthomah itu? (yaitu) api (yang
disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke ulu
hati."12
Fakta bahwa Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal, tetapi juga risalah
yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan
pribadi, dibuktikan oleh penekanannya pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan
ayat Al-Qur'an, shalat tidak pernah disebut tanpa diiringi dengan zakat. Zakat,
seperti digariskan Al-Qur'an, dimaksudkan untuk distribusi kekayaan kepada fakir
dan miskin, untuk membebaskan budak-budak, membayar hutang mereka yang berhutang
dan memberikan kemudahan bagi ibnu as-sabil (yang secara harfiah
diartikan sebagai infrastruktur bagi orang-orang yang berpergian). Di Arab
ketika itu, langkah-langkah seperti itu dirasakan sebagai hal baru yang sangat
revolusioner, karena itu masyarakat bisnis Mekkah, yang merasa kepentingannya
terancam melakukan perlawanan terhadap Nabi. Signifikansi
transformatif dari ajaran Islam, lebih lanjut dibuktikan oleh kenyataan bahwa
ajaran-ajaran itu lahir di dalam polarisasi kekuatan-kekuatan sosial.
Budak-budak dan orang-orang yang tidak pandai berdagang di satu pihak, dan
pemuda-pemuda radikal di pihak lain, bersatu mendukung Nabi. Orang-orang kafir
yang menentang risalah Nabi merasakan hal itu sebagai pukulan keras bagi
kepentingan mereka. Masalah ini diisyaratkan dalam Al-Qur'an ketika ia
mengatakan: "Dan kami tidak mengutus pada suatu negeri seorang pemberi
peringatan, melainkan orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu berkata:
"Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk
menyampaikannya."13 Tapi Al-Qur'an
memperingatkan orang-orang kaya ini: "Dan sekali-kali bukanlah harta dan
(bukan) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepadaKu sedikitpun; tetapi orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh."14
Dengan demikian sangat jelas bahwa orang-orang kafir dalam arti yang
sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan menghidupkan terus
menerus ketidakadilan serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan dalam
masyarakat. Keadilan, sebagaimana nanti akan kita lihat, merupakan salah satu
aspek penting dalam ajaran Islam di bidang ekonomi. Karena
memperluas jaringan perdagangan di tingkat internasional, Mekkah siap berada di
puncak revolusi sosial. Namun, hingga munculnya Islam, tidak ada pemimpin
terkemuka yang mampu mengartikulasikan teori yang sistematis dan masuk akal
untuk memajukan masyarakat Mekkah, baik pada dataran spiritual maupun pada
dataran fisik. Muhammad, adalah orang pertama yang memikirkan proses perubahan
yang terjadi dalam masyarakat Mekkah secara serius. Tetapi, visi dan pemikiran
Nabi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya itu tidak semata-mata ditentukan oleh
situasi Mekkah saja. Ajaran-ajarannya, yang diekspresikan dalam idiom-idiom
religio-spiritual, sangatlah universal dalam pelaksanaannya dan menimbulkan
restrukturisasi masyarakat secara radikal. Kita akan membahas masalah ini secara
detail, agar kita mampu memahami kekacauan dunia Islam saat ini.
Sebagaimana yang dikemukakan dengan tepat oleh Muhammad Ahmad Khalfallah,
pada dasarnya Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner dalam ucapan maupun
dalam perbuatannya. Ia bekerja demi perubahan radikal pada struktur masyarakat
sosial pada masanya.15 Ia mengabaikan kemapanan
di kotanya, yang telah dikuasai oleh orang-orang kaya dan penguasa Mekkah.
Rumusan yang didakwahkan, La ilaha illa Allah, dengan sendirinya sangat
revolusioner dalam implikasi sosial-ekonominya. Kekuatan revolusioner manapun,
pertama-tama haruslah merombak status-quo, sebelum alternatif lainnya
bisa berfungsi. Dengan mendakwahkan La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad
tidak hanya menolak berhala-hala yang dipasang di Ka'bah, tetapi juga menolak
untuk mengakui otoritas kelompok kepentingan yang berkuasa dan struktur sosial
yang ada pada masanya.
Orang-orang kafir Mekkah lebih merasa terusik oleh implikasi-implikasi
revolusioner teolog Muhammad ketimbang dakwahnya yang menantang penyembahan
berhala. Semua tokoh penentangnya berasal dari kelas pedagang kaya yang merasa
terancam otoritas dan dominasi mereka. Ancaman itu dirasakan begitu serius
sehingga mereka memutuskan untuk menyiksa para pengikut Muhammad kapan dan di
manapun. Karena alasan tersebutlah, Nabi memerintahkan para pengikutnya untuk
hijrah ke Medinah, tempat di mana dia memperoleh dukungan dan jaminan tertentu.
Bahkan sekelompok pengikutnya ada yang sudah lebih dulu hijrah ke Ethiopia.
Nabi Muhammad, dengan inspirasi wahyu ilahiyah menurut formulasi
teologis, mengajukan sebuah alternatif tatanan sosial yang adil dan tidak
eksploitatif serta menentang penumpukkan kekayaan di tangan segelintir orang
(oligarki). Memang rumusan Al-Qur'an lebih bersifat teologis, tidak sosiologis,
seperti pada umumnya sistem berpikir yang dirumuskan pada masa kenabian, tetapi
semua orang akan melihat betapa rumusan-rumusan itu mempunyai
implikasi-implikasi sosial yang sangat besar. Distribusi kekayaan yang berlebih
kepada kelompok masyarakat yang lemah diistilahkan dengan infaq fi
sabilillah. Al-Qur'an mengutuk orang-orang yang menimbun emas dan perak,
tidak menafkahkannya di jalan Allah serta meminta Nabi untuk memperingatkan
mereka, bahwa hukuman yang berat menunggu mereka.17
Dengan struktur ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ketika itu,
maka satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang
lemah adalah memberi tanggung jawab kepada orang-orang kaya untuk membagikan
kelebihan kekayaan di jalan Allah.
Haruslah diingat, bahwa ketika revolusi sosial didakwahkan melalui
konsep-konsep religius, maka terma yang demikian itu pasti digunakan. Namun
untuk mempertahankan keutuhan ruh dari ajaran-ajaran teologis ini, maka
diskursus teologis ini harus ditafsirkan kembali dalam terma sosial, politik dan
ekonomi modern. Ajakan teologis untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan
Allah, dalam terma sosial modern, ditransformasikan menjadi penciptaan
institusi-institusi yang tepat misalnya pemilikan alat-alat produksi oleh
masyarakat, penarikan pajak melalui negara untuk pembiayaan berbagai proyek
kesejahteraan rakyat, dan institusi-institusi lain yang mampu memeratakan
kekayaan di dalam masyarakat.
Nabi tidak pernah berkeinginan untuk memutarbalik roda sejarah. Ia sangat
keras mengecam praktek riba yang eksploitatif, namun sama sekali tidak
mengharamkan laba yang diperlukan dalam masyarakat perdagangan. Hanya saja ia
memberi batasan-batasan tertentu untuk menghilangkan praktek-praktek pemerasan
dan penghisapan yang dilakukan oleh para pedagang yang serakah dan tidak jujur.
Menghilangkan sama sekali laba akan membuat surut masyarakat komersial yang
sedang berkembang. Tentu saja, semua praktek licik yang dianggap curang atau
mengambil keuntungan yang tak semestinya dari seseorang sangat dikutuk. Ibnu
Hazm, seorang ahli hukum terkenal menyatakan prinsip transaksi terbuka:
"Penjualan suatu barang yang fakta-faktanya tidak diketahui oleh
penjual tidak dibenarkan, sekalipun diketahui oleh pembeli; demikian pula
untuk komoditas yang tidak jelas bagi pembeli meskipun penjual mengetahuinya.
Transaksi barang-barang yang kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tidak
mengetahui fakta-faktanya, juga tidak diperbolehkan (tidak sah)."17 Dalam situasi tertentu, bahkan di
negara-negara sosialis sekali pun, perdagangan swasta, perusahaan bahkan
produksi tetap diperbolehkan pada skala yang terbatas, selama tidak menimbulkan
eksploitasi-eksploitasi terhadap orang lain. Seseorang tidak bisa kaku dalam
masalah-masalah seperti ini. Sangat bergantung pada situasi tempat kita
berurusan. Nabi sadar benar akan situasi dan idealismenya selalu mempunyai
dimensi historis. Karena untuk berhasil, suatu revolusi sosial harus memiliki
kesadaran sejarah dan harus merespon kebutuhan-kebutuhan yang secara sosial
dirasakan oleh orang-orang yang terkena revolusi sosial tersebut. Konsep riba
tersebut (biasanya diterjemahkan sebagai bunga) juga harus dipahami dalam
konteks sejarah yang tepat. Motif nyata untuk melarang riba (persoalan ini akan
dibicarakan secara rinci di bab lain) adalah untuk mengakhiri eksploitasi
terhadap orang-orang yang tidak berdaya, dan bukan merupakan larangan total
terhadap semua bentuk bunga. Konsep riba, menurut saya, juga harus termasuk
keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari 'eksploitasi' tenaga kerja, atau
keuntungan dari penanaman modal yang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dasar
masyarakat. Al-Qur’an, di samping mendakwahkan cita-cita Islam,
tidak pernah mengabaikan konteks situasinya dan, sebenarnya hal inilah yang
menjadi rahasia keberhasilannya. Misalnya ia tidak mengambil pendekatan kelas
dengan jelas, karena pendekatan itu hampir-hampir tidak akan berfungsi dalam
situasi sejarah berikutnya. Al-Qur’an membenci perbudakan, tapi tidak segera
menghapusnya begitu saja. Perbudakan bukan merupakan bagian integral dari sistem
ekonomi di Mekkah. Meskipun begitu, perbudakan tetap menjadi masalah yang sangat
penting. Terlepas dari dukungan biaya yang bisa diperoleh Nabi dari tokoh-tokoh
penting di Mekkah dan Medinah, penghapusan perbudakan bisa menimbulkan masalah
baru yang tak terpecahkan pada masa permulaan Islam.18 Nabi menempuh cara-cara gradual untuk menghapuskan
perbudakan. Nabi juga memberikan hak-hak budak yang sebelumnya terabaikan.
Namun, sayangnya konteks sejarah belum matang untuk pembebasan budak secara
total, dan karenanya, alih-alih melemah, lembaga perbudakan malah semakin
menguat setelah Nabi wafat. Setelah imperium Byzantium dan Persia berhasil
ditaklukkan, Islam berubah menjadi feodal (feudalised) dan menjadi
kekuatan yang eksploitatif yang terlembaga selama tiga dekade serta telah
kehilangan elan pembebasannya. Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi
kesejarahan yang konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari’ah di bawah pengaruh
atmosfir tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan
Islam-awal. “Kerusakan berat” pada elan pembebasan dan progresivitas Islam ini
telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam dengan cara
mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan situasional. Generasi
berikutnya mengikuti mereka secara tidak kritis dan dengan demikian terciptalah
suatu tatanan syari’ah yang kaku dan tidak dapat diubah. Sementara itu, ulama
masa kini--dengan semangat tidak kritis yang sama--menganggap hukum-hukum yang
dirumuskan oleh ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai
validitas abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah
bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah satu fungsi
Tuhan yang essensial adalah rububiyyah yang didefinisikan oleh Imam
Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui tahap-tahap evolusi yang
berbeda ke arah kesempurnaan.19 Jika
kebijaksanaan ilahiyah harus tetap berlaku, para ulama mestinya berupaya terus
menerus untuk memecahkan ketegangan antara yang aktual dan yang mungkin, yang
nyata dan yang ideal, yang sementara dan yang abadi.
Masalah lain yang juga selalu disalahpahami adalah makna jihad dalam Islam.
Selama ini jihad diartikan sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan cara
kekerasan. Kesan, bahwa Islam mengabsahkan cara kekerasan dalam mencapai
tujuannya terus berlangsung. Agama tidak dapat disebarkan dengan pedang. Ia
tersebar karena kesadaran. Orang harus kembali pada asal-usul Islam jika masalah
ini ingin dipahami dalam konteks yang tepat.
Pada periode permulaan Islam di Mekkah, kaum muslimin merupakan minoritas
kecil yang berhadapan dengan pedagang-pedagang kaya Mekkah yang mapan dan kuat.
Mereka hampir-hampir tidak bisa mengangkat senjata menghadapi
penantang-penantangnya yang kuat itu. Dalam menghadapi penindasan seperti itu,
satu-satunya jalan yang mereka tempuh adalah pindah ke suatu negeri yang lebih
aman dan hal ini dilakukan oleh kaum Muslimin setelah mendapat perintah Nabi.
Mula-mula serombongan kaum Muslimin hijrah ke Ethiopia dan rombongan berikutnya
hijrah ke Medinah. Kemudian Nabi juga ikut bergabung. Beberapa orang dari suku
Aus dan Khazraj bergabung dengan Nabi dan di sana nabi menyusun kekuatan. Di
Medinah juga terdapat beberapa suku Yahudi yang cukup berpengaruh. Nabi membuat
suatu kesepakatan dengan berbagai suku, termasuk kaum Yahudi, dalam upayanya
membentuk sebuah masyarakat yang kohesif.
Di sini, kita harus membedakan antara perang untuk menyebarkan agama dan
perang sebagai sekedar cara untuk mempertahankan diri ketika berhadapan dengan
musuh yang militan. Sejauh dikaitkan dengan kategori yang pertama, Islam justru
tidak percaya pada penggunaan kekerasan. Sikap Al-Qur’an jelas: La Ikraha fi
al-Din (tidak ada paksaan dalam agama),20
dan selanjutnya ia menyatakan: “Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak
akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau tidak akan menyembah apa yang aku
sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.21 Tidak perlu orang dipaksa untuk menerima suatu agama.
Konversi agama mestilah dibebaskan dari ancaman dan pengaruh. Menurut Al-Qur’an,
Tuhan telah membuat jelas jalan yang lurus dan membedakannya dengan jalan yang
salah. Adalah hak seseorang untuk mengikuti jalan yang benar atau mengikuti
jalan yang salah. “Seseorang boleh melanjutkan mengikuti thagut, atau percaya
kepada Tuhan”.22 Tidak ada paksaan sama
sekali.
Masalahnya menjadi lain, bila seseorang disiksa, disakiti atau diserang.
Islam memperbolehkan penggunaan kekerasan atau perang hanya dalam kasus-kasus
seperti itu. Dr. Khalfallah tetap berpendapat bahwa orang Islam tidak pernah
memaksa untuk membangun kekuasaan atas orang lain atau untuk merampas
kemerdekaannya, atau untuk menganiaya orang lain, untuk menumpahkan darah orang
lain, atau merebut hak orang lain, atau mengeksploitasi kekayaan orang lain,
atau menindas orang lain. Ia selanjutnya mengatakan, dengan mengutip Muhammad
Abduh, bahwa memaksa orang lain untuk memeluk suatu agama tidak diperbolehkan,
begitu pula orang lain tidak boleh memaksa seseorang untuk meninggalkan agama
yang telah dipeluknya.23 Ketika seseorang
dianiaya atau diusir dari rumahnya sendiri, maka ia harus melawan tirani itu.
Menurut etik Al-Qur’an, melindungi orang-orang yang tertindas adalah suatu
keharusan. Al-Qur’an berkata:
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela)
orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang semuanya
berdo’a: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim
penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisi-Mu, dan berilah kami
penolong di sisi-Mu”.24
Juga dikatakan:
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah lagi, dan supaya
agama itu semata-mata bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka
sesungguhnya Allah maha melihat atas apa yang mereka kerjakan.25 Dengan demikian jelas, bahwa
berjuang (berperang) diizinkan dalam Al-Qur’an tidak untuk memaksa seseorang
untuk memeluk Islam, tapi untuk mengakhiri penganiayaan dan untuk melindungi
orang-orang lemah dari penindasan orang-orang kuat.
Kajian yang seksama atas Al-Qur’an juga menunjukkan, bahwa Al-Qur’an berpihak
pada posisi orang-orang yang lemah dalam menghadapi orang-orang yang kuat. Term
yang digunakan Al-Qur’an bagi mereka adalah mustadh’afin (orang-orang
yang dilemahkan) dan mustakbirin (orang-orang yang sombong). Semua Nabi
Israel digambarkan di dalam Al-Qur’an sebagai pembela mustadh’afin menghadapi
mustakbirin, yakni orang-orang kaya dan penguasa suatu negeri. Karena itu, nabi
Israel terkemuka, Musa, digambarkan sebagai pembebas orang-orang yang tertindas
(bangsa Israel) dari penindasan Fir’aun (mustakbirin). Simpati Tuhan pun
ditujukan kepada orang-orang yang tertindas itu. Tuhan berfirman dalam
Al-Qur’an: “Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas
di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka
orang-orang yang mewarisi bumi.”26
Inilah konsep Al-Qur’an tentang kepemimpinan bagi orang tertindas.
Pertarungan antara mustadh’afin dan mustakbirin itu akan terus berlangsung,
hingga Din Allah yang berbasis pada Tauhid menyatukan semua rakyat (tanpa
perbedaan lagi antara mustadh’afin dan mustakbirin, orang-orang yang menindas
dan orang-orang yang tertindas, kaya-miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat
“tanpa kelas”. Dari perspektif ini jelaslah bahwa Al-Qur’an menghadirkan suatu
teologi pembebas dan dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi
kepada kelompok penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan.
Sayangnya, Islam dalam fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu.
Tugas generasi baru Islamlah untuk merekonstruksi lagi teologi Islam
revolusioner-transformatif dan membebaskan itu.***
Catatan
1 Al-Qur’an (33:62)
2 Al-Qur’an (53:40)
3 Al-Qur’an (21:45)
4 Al-Qur’an (21:48)
5 Konsep determinisme
sejarah digunakan dalam maknanya yang lebih luas dalam buku ini,
berbeda dengan kategori Marxis, tidak mengesampingkan
faktor-faktor tujuan ketuhanan. Konsep ini tidak dengan
pengertian mekanis yang sempit. 6
Al-Qur’an (21:46) 7
Saya setuju dengan Paul Tillich yang mengatakan bahwa “Manusia,
sejauh ia membangun dan mengejar tujuannya, pada dasarnya
bebas. Ia mentransendensikan situasi yang ada sambil
meninggalkan kenyataan itu untuk mencari kemungkinan-kemungkinan. Ia tidak
terikat pada situasi tempat ia menemukan dirinya, dan
itulah yang disebut sebagai transendensi diri yang
menjadi kualitas dasar kebebasan. Karena itu tidak ada situasi historis apapun
yang bisa membatasi situasi historis lain secara total.
Transisi dari suatu situasi ke situasi lain adalah
sebagian dibatasi oleh reaksi-reaksi kemanusiaan dengan kebebasannya. Sesuai
dengan polaritas kebebasan dan keterbatasan, transendensi
itu tidaklah absolut: ia berasal dari totalitas
elemen-elemen masa lampau dan masa keuangan, perdagangan dan peredaran uang itu,
suatu pandangan hidup dan cara pandang baru sedang
berkembang, meskipun belum dinyatakan secara sadar dan
jelas. Kerja komersial tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan
masyarakat kepada suatu cara hidup tertentu. Dinamika
sosial dalam masyarakat Mekkah yang seperti itu
mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan
masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan.
8 Asghar Ali Engineer, The
Origin and Development of Islam, Orient and Longman, 1980, hal. 41.
9 Watt mencatat, “Mereka
membentuk suatu aliansi antar klan, yang dapat kita sebut sebagai Liga
orang-orang Tulus—nama-nama lain juga sering kita
temukan. Muhammad menghadiri pertemuan yang pembentukan
Liga itu, bahkan ia menyetujui pembentukan liga itu. Tujuan liga itu
adalah untuk menjaga integritas perdagangan, tapi di
balik itu, liga berkepentingan untuk mencegah keluarnya
pedagang Yaman dari pasar Mekkah, karena liga merasakan kesulitan jika
harus mengirimkan sendiri kafilah mereka ke Yaman yang
selama ini sangat profesional dalam perdagangan antar
kota terutama Mekkah dan Syria. (M. Montgomery Watt, Muhammad,
Prophet and Statesman, London, 1961), hal. 9.
10 HAR. Gibb berkomentar, Mekkah
ketika itu menyimpan sisi gelap. Kejahatan dalam masyarakat
pedagang kaya adalah hal yang biasa, begitu juga
kesenjangan yang amat jauh antara kaya dan miskin,
perbudakan dan persewaan manusia dan tajamnya pertentangan kelas-kelas sosial.
Hal ini jelas dari keluhan Nabi Muhammad atas
ketidakadilan sosial dan inilah yang menyebabkan
guncangan keras dalam dirinya. (HAR. Gibb, Mohammadanism, Oxford, 1969), hal. 9.
11 Pada permulaan tahun Masehi, salah satu
dari suku-suku Arab bernama Quraisy menduduki Mekkah.
Kota ini terdiri dari wilayah-wilayah, dan setiap wilayah terdapat klan yang
termasuk suku Quraisy. Penduduk Mekkah ikut serta dalam
perdagangan baik ke dalam maupun ke luar, dan inilah yang
menyebabkan kemakmuran kota ini sekaligus menyebabkan kesenjangan
pendapatan yang besar. Dalam suku Quraisy sendiri,
terdapat keluarga-keluarga kaya terlibat dalam
perdagangan dan praktik riba. (A.P. Petrovsky, Islam da Iran, Persian,
diterjemahkan oleh Karim Kashawarz, Teheran, 1950) hal.
16. 12 Al-Qur’an (104 13 Al-Qur’an (34:34) 14
Al-Qur’an (34:37) 15 Muhammad Ahmad
Khalfallah, Muhammad wa Quwwa al-Muwadadah (Kairo, 1973) hal.
113-4. 16
Al-Qur’an (9:34) 17 Ibn
Hazm, Al-Mahalli, vol. 8 hal. 439, lihat juga Dr. Muhammad Nijatullah Shiddiqi,
Economic Enterprise in Islam (Delhi, 1979) hal. 55.
18 Untuk uraian lengkap mengenai
masalah perbudakan, lihat Asghar Ali Engineer, The Origin and
Development of Islam, op. cit., 19 Lihat Mufradat Imam Raghib; lihat Maulvi Muhammad Taqi
Amini, Islam ka Zar’I Nizam (Delhi, 1981) hal. 13
20 Al-Qur’an (2:256) 21 Al-Qur’an 109 22
Al-Qur’an (2:256) 23 Dr. Muhammad Ahmad
Khalfallah, op. cit., hal. 244. 24 Al-Qur’an
(4:75) 25 Al-Qur’an (8:39) 26 Al-Qur’an (28:5)
************************
Ikutilah milis-diskusi "Islam dan Pembebasan"!!!
Anda dapat mendaftarkan diri melalui website "Perpustakaan Islam dan
Pembebasan" di:
http://www3.cybercities.com/i/islamliberation/islamliberation1.html
atas
|