back | |
Serambi DEPAN |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
5 Mei 1999 | Kompas |
DALAM hiruk-pikuk perselisihan inter dan antargenerasi untuk membela berbagai kepentingan, disadari atau tidak, para pendidik sering menomorduakan persoalan alih generasi. Alih generasi memang pasti terjadi, direncanakan atau tidak. Tetapi tentu dengan kualitas yang berbeda. Jelas, yang dituju adalah alih generasi yang positif dan berkesinambungan berdasarkan kerukunan generasi, bukan yang dipaksakan dan penuh masalah karena dilandasi oleh konflik generasi. Akan teta-pi, alih generasi yang positif tidak dapat terwujud tanpa usaha yang sesuai. Padahal kita tidak boleh gagal karena alih generasi berkaitan langsung dengan eksistensi bangsa.
Di sinilah para pendidik diimbau untuk berperan. Dalam dua hal alih generasi kali ini harus mendapat prioritas melebihi dari yang sudah-sudah. Pertama, kita sedang berada dalam satu situasi pergolakan nasional yang muskil, yakni karena situasi itu adalah situasi konflik generasi. Kedua, kita berada di awal era kesejagatan yang merupakan masalah baru di dalam sektor pendidikan; masalah, yang di dalam 25 tahun mendatang akan menjadi ujian berat bagi ketahanan bangsa ini; apakah kita dapat tumbuh lebih handal ataukah kita hanya menjadi bangsa marginal.
Kedua situasi tersebut melibatkan generasi muda, dan kedua-duanya sangat berpengaruh terhadap kualitas bangsa. Pada tingkat nasional, seharusnya generasi tua menyibukkan diri menyiapkan generasi muda, memberikan yang terbaik kepada mereka sebagai bekal di masa depan. Di lain pihak, generasi muda seharusnya banyak belajar dan mengambil hikmah dari pengalaman, kearifan, bahkan kesalahan yang telah dilakukan oleh generasi lama, untuk dijadikan pelajaran mengelola masa depan. Seharusnya kedua generasi bahu-membahu menciptakan sejarah masa depan yang gemilang. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka bertikai. Pendidikan generasi muda akhirnya telantar.
Pada tingkat global, generasi muda menghadapi situasi yang lebih muskil. Dalam alih generasi kali ini, generasi muda akan langsung dihadang oleh arus kesejagatan dengan peraturan permainan yang sampai sekarang belum lagi terjamah oleh sektor pendidikan. Sampai hari ini, pendidikan masih terlalu terikat oleh belenggu masa lalu, sehingga kemampuan untuk mengantar remaja dan generasi muda ke masa depan, tidak tampak. Ketiadaan persiapan yang adekuat menyebabkan generasi muda kekurangan kemampuan untuk bersaing di dunia luas yang hiperkompetitif. Menghadapi tantangan masa depan, para pendidik sendiri pun sudah kehilangan pegangan. Apabila mereka sendiri, di dalam menghadapi arus globalisasi, sekarang saja sudah terasing, sejauh mana kita masih bisa berharap bahwa mereka dapat turut membangun masa depan?
Alih generasi melibatkan dua generasi, dan tidak satu di antaranya yang dapat mengklaim sebagai kekuatan penentu. Generasi tua tidak dapat terus berjalan sendiri, mereka akan berlalu. Generasi muda juga tidak dapat berjalan sendiri, mereka membutuhkan masa lampau dan sekarang, untuk membangun masa depan. Karena itu, konflik generasi selalu berakibat fatal terhadap kehidupan bangsa. Padahal, alih generasilah yang mencerminkan kesinambungan generasi. Lebih dari sekadar kesinambungan, ia berkaitan langsung dengan survival dan eksistensi bangsa. Adakah lagi peristiwa lain yang begitu langsung menentukan keadaan ini, selain alih generasi? Kalau ini adalah hal yang begitu penting, apakah yang telah kita rintis di dalam pendidikan generasi? Sudahkah dirumuskan visi kependidikan kita bersama, ke mana bangsa ini akan pergi 20, 30, 50 tahun mendatang? Apakah strategi kita untuk memastikannya? Tidak jelas.
Lalu, apa hak kita untuk berpretensi menyiapkan mereka menghadapi hari depan yang gemah ripah loh jinawi, kalau apa yang menyita kehidupan kita sekarang adalah perjuangan melawan tirani kekurangpedulian kita sendiri di masa lalu? Sebagai pendidik, kita memang telah turut menulis sejarah sampai hari ini, tetapi bukan sejarah kegemilangan. Bukan sejarah yang membuat anak cucu kita berbangga menjadi bangsa Indonesia. Bukan sejarah yang mengilhami mereka untuk membela negara ini. Bukan sejarah yang memotivasi mereka untuk bergairah melanjutkan penulisan sejarah. Walaupun begitu, generasi yang sudah telanjur belajar tidak peduli-dengan pendidikan yang tepat guna-dapat belajar bukan hanya membuang ketelanjuran tersebut, tetapi sekaligus belajar membangun dan menebalkan kepedulian berbangsa. Masalahnya sekarang, di mana pendidikan yang tepat guna itu?
PENDIDIKAN yang tepat guna, yang benar-benar tepat guna, belum terwujud. Pendidikan yang lebih mementingkan rutinitas, stabilitas, dan konformitas, bukan pendidikan yang tepat guna. Pendidikan yang berubah fungsi menjadi alat politik, dapat berguna bagi kepentingan politik, tetapi masih sangat diragukan kegunaannya bagi kepentingan generasi muda. Karenanya, pendidikan itu pun bukan pendidikan tepat guna. Program yang bersistem dan yang teratur, yang memudahkan para pendidik untuk menerapkannya, belum dapat dikatakan pendidikan yang tepat guna. Kegunaan pendidikan di mata pendidik tidak lantas menjadikan pendidikan tepat guna. Selagi tidak berguna di mata anak didik, pendidikan tetap tidak tepat dan tetap tidak berguna. Ketepatgunaan sebuah pendidikan hanya dapat ditentukan dari kepentingan anak didik. Karena kepentingan anak didik adalah di masa depan, maka tidak ada pendidikan yang tepat guna apabila ia gagal menghasilkan blueprint masa depan.
Namun, sebaiknya sekarang kita belajar dari pengalaman (baca: kesalahan) masa lalu, bahwa belum cukup apabila kita mampu membuat blueprint saja. Sudah berapa banyak perubahan atas nama pembaruan, yang kita telah intervensikan di masa lalu di dalam sektor pendidikan. Begitu banyak, sehingga sebenarnya bukanlah pendidikan kita tidak pernah berubah, tetapi sudah terlalu banyak berubah. Kita bergerak dari blueprint yang satu ke blueprint yang lain, tanpa masa uji dan alasan yang jelas. Atau pakailah istilah sekarang: pendidikan kita sudah over reformed! Tetapi begitu pun, dampaknya belum lagi terasa, karena bukan hanya blueprint yang menentukan. Seringkali memang desain perubahan sudah salah sejak semula. Akan tetapi walaupun ada yang betul, kelemahannya ialah karena blueprint yang dihasilkan tidak didukung oleh budaya dan kondisi yang kondusif. Ini berarti bahwa bersama dengan lahirnya blueprint pembaruan, perlu juga diciptakan budaya kependidikan yang kompatibel, dan kondisi lingkungan yang mendukung.
Budaya apa yang kita miliki sekarang yang dapat dianggap kompatibel dengan aspirasi pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah ukuran kecerdasan kehidupan bangsa sama saja di dalam budaya yang feodal dengan di dalam budaya demokratis? Jelas tidak. Kalau begitu problematik pendidikan menjadi lebih berat untuk menanamkan benih berbangsa demokratis di dalam persemaian budaya feodal. Apakah kondisi keharmonian hidup antargenerasi berakibat sama dengan kondisi perpecahan generasi? Jelas tidak. Karena itu, semakin sukar lagi tugas pendidikan untuk mendidikkan semangat persatuan dan kesatuan di dalam alam perpecahan. Sektor pendidikan di dalam banyak hal tidak berdaya menjinakkan, menetralkan, apalagi melawan dampak kehidupan yang diwarnai dengan berbagai manifestasi yang negatif, yang pada dasarnya antipendidikan.
Namun, kekuatan dampak kondisi yang tidak mendidik itu, di dalam realitas seringkali seperti menghilangkan dampak pendidikan, sehingga kita dapat bertanya apakah memang sudah seharusnya begitu. Kalau benar sudah seharusnya demikian, maka bagaimanapun usaha para pendidik, mereka akan tetap fight the loosing battle; sudah kalah sebelum berjuang. Kalau benar begitu, maka sepanjang hayat, pendidikan tidak pernah berguna! Ataukah fenomen ketidakberdayaan pendidikan disebabkan karena para pendidik sendiri belum tiba pada kesadaran, apalagi pada keyakinan, bahwa setiap usaha pendidikan dengan desain yang benar, dengan budaya yang benar, dengan kondisi yang benar, dengan pengelolaan yang benar, dan dengan implementasi yang benar, melahirkan dampak yang benar. Dampak yang kuat, mengalahkan dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan. Ini sebuah tantangan besar, dan sektor pendidikan harus menghadapinya.
ALIH generasi yang kali ini sedang terjadi berlangsung di dalam kondisi yang tidak benar, yakni di dalam kondisi tercabarnya persatuan dan kesatuan bangsa. Di dalam keadaan demikian, maka justru sektor pendidikanlah yang harus tampil ke depan dengan desain yang kuat, untuk menjamin tetap tumbuhnya rasa kesatuan, rasa persatuan, tekad keindonesiaan, di dalam dada setiap anggota generasi muda. Sebab apabila tidak, dari mana lagi kita harapkan kekuatan pembinaan yang positif; bahkan mungkin kita dapat selanjutnya bertanya, apakah masih perlu kita berbicara mengenai alih generasi.
Alih generasi kali ini juga menghadapi kondisi lain, yang belum pernah dihadapi di masa lalu, yakni kondisi hidup kesejagatan yang ditandai oleh persaingan terbuka antara bangsa-bangsa. Generasi muda sekarang inilah yang akan beralih dari kondisi nasional yang tidak mantap ke kondisi global yang hiperkompetitif. Sekali lagi, harapan eksistensi bangsa kita gantungkan pada sektor pendidikan. Sampai di mana kesiapan kita?
Sektor mana lagi yang dapat memberdayakan generasi muda sehingga mereka siap untuk bertarung, dan siap untuk membawa bangsa ini sebagai bangsa yang terhormat, dan bukannya bangsa yang tersisihkan, kalau bukan sektor pendidikan? Pemberdayaan tersebut, untuk dapat menjadi tepat guna, perlu memahami problematik masa depan. Pemberdayaan tersebut bukan reaktif, tetapi antisipatif. Akan tetapi, sejauh manakah desain pendidikan kita sekarang adalah pendidikan masa depan yang antisipatif dan yang kompetitif? Melihat pada desain yang ada, kita belum dapat menyimpulkan bahwa pendidikan kita sudah siap mengantar generasi muda sebaik-baiknya kepada kehidupan yang menanti (mungkin menghadang) mereka.
Setelah lebih dari setengah abad, dari tahun ke tahun kita hanya mampu menginventarisasi kegagalan pendidikan. Tidak banyak orang yang suka menerimanya dengan lapang dada, terutama yang berada di dalam jajaran pengelolaan. Namun, sungguh sukar menunjuk pada sebuah prestasi maha besar, maha signifikan, yang dapat dipandang sebagai tonggak sejarah kebangkitan pendidikan di negara ini. Kita terpaksa bertanya lagi; begitu sukarkah mendesain pendidikan yang begitu diperlukan oleh bangsa ini umumnya, generasi muda khususnya? Begitu tipiskah kepekaan dan kemauan politik kita untuk membuktikan bahwa pendidikan adalah tiang utama di dalam pencerdasan kehidupan bangsa ini? Kalau bukan karena semua itu, apakah biang keladinya?
Melihat dari kecenderungan perjalanan pendidikan nasional sejak kemerdekaan sampai hari ini, kondisi kependidikan negara ini masih juga akan jalan terseok-seok dari generasi demi generasi, mungkin 50 tahun lagi, mungkin lebih, kecuali apabila sekarang, bukan besok, kita berani dan bertekad mengambil sebuah keputusan yang lebih mendasar; mengadakan perombakan sektor pendidikan secara menyeluruh, dan menjauhkan diri dari pola perombakan parsial. Bangsa ini tidak dapat dibangun melalui proyek-proyek semata-mata. Sudah terbukti bahwa pada akhirnya yang dicapai hanya keindahan secara kosmetik. Jadi, kalau kita mempunyai determinasi itu, dari manakah sekarang pembaruan itu kita mulai? Pembaruan harus kita mulai dari diri sendiri. Mungkin itu biang keladinya.
(* Winarno Surakhmad, pengamat pendidikan)