OPINI
Sabtu, 03 Oktober 1998

Surabaya Post
back


Sejak awal 1970-an, bahasa Madura tak diajarkan secara intensif di sekolah-sekolah, karena kekurangan guru yang ahli dalam bahasa Madura.
Akibatnya pepatah-petitih yang merupakan ajaran-ajaran idealistik tradisional mulai dilupakan. Bahasa Madura yang baik dan benar hanya dipakai di kalangan tertentu, selebihnya bahasa Madura pasaran yang tak jelas lagi kaidahnya.
Selain itu lagu-lagu Madura pun hampir tak digubah orang lagi, berbeda dengan lagu-lagu Banyuwangen, Bugis, Minang, Sunda, dan daerah lain yang terus dibuat, bahkan dikemas sebagai komoditas yang mendatangkan keuntungan materiil.
Rumah-rumah bertanduk yang menjadi ciri khas bangunan Madura, di bagian timur sekarang sudah banyak yang diubah menjadi rumah masa kini yang modern.
Akibatnya, banyak orang yang datang ke Madura untuk melihat keunikan arsitektur Madura, kecewa. Kalaupun ada bangunan spesifik Madura hanya tinggal sedikit, dan itu pun sisa-sisa dari bangunan lama. Berbeda dengan di Sumatera Barat misalnya, ke mana saja kita pergi selalu ada rumah gadang tempat ninik mamak berkumpul, memusyawarahkan apa saja berdasarkan adat, yang konon tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.
Eka Budianta, Direktur Eksekutif Dana Mitra Lingkungan, menulis dalam bukunya Karena Indonesia, "Yang saya sayangkan di Madura tak banyak pohon tinggi, selain duapuluh dua batang pohon saman besar di depan Kab. Bangkalan." Padahal dulunya, tiga dasawarsa lalu, pohon-pohon besar selalu terdapat di mana-mana, pohon trembesi di halaman sekolah-sekolah peninggalan Belanda; dan pohon asam yang tak pernah putus berbaris di tepian jalan dari kota sampai jauh ke ujung desa.
Bentuk-bentuk perahu yang diteliti dengan cermat oleh Sulaiman BA mencatat, pada 1978 ada 32 jenis bentuk perahu Madura yang masih beroperasi dan dibuat orang. Bentuk-bentuk itu kini sudah semakin sedikit jumlahnya, setelah orang ramai-ramai membuat perahu yang lebih mudah untuk ditempeli mesin. Sisi artistik, agaknya sudah kurang diperhatikan lagi, kecuali di beberapa tempat yang masih mau bertahan.
Benar-benar, Madura sudah banyak berubah. Dan itu sah-sah saja, karena kebudayaan manusia itu memang selalu berubah dan siap menerima perubahan. Tapi yang perlu dipertanyakan, benarkah dalam menerima perubahan itu suatu suku bangsa atau etnis harus kehilangan identitas?
Jepang yang sangat modern dengan teknologi canggihnya, sampai saat ini masih menjaga produk-produk masa lalu yang masih mungkin punya prospek kuat untuk memberi jati diri bagi bangsa Jepang pada saat ini sampai esok.
Orientasi ke Depan
Refleksi budaya yang berkaitan dengan tradisi dalam prespektif modern tentunya tak sekadar membangga-banggakan masa lalu dengan romantisme yang jauh dari realitas kekinian. Berhubung kita menuju hari esok, orientasi seharusnya ditujukan ke masa depan.
Jika kebudayaan itu masih dianggap penting (karena memang penting) apa tidak sebaiknya warisan budaya di Madura itu didokumentasikan, lalu dikaji dan dikaji ulang, kemudian "diolah" dengan semangat modern --tak tradisional lagi-- untuk menumbuhkan formula baru dan visi baru yang lebih sesuai kebutuhan hidup masa kini.
Revitalisasi yang dilaksanakan dengan "melihat dunia" yang sedang bergerak laju, adalah jawaban pas bagi tantangan zaman. Revitalisasi dilakukan karena sadar, kita kini tak hidup pada zaman lalu. Tuntutan revitalisasi itu karena kebudayaan bukan sesuatu yang diam seperti kubur. Kebudayaan yang sehat memang harus berkembang dan dikembangkan untuk menjawab semua persoalan hidup.
Menurut W.S. Rendra, tradisi yang tak mampu berkembang ialah tradisi yang menyalahi fitrah hidup. Sebaliknya sikap yang dengan fanatik antitradisi dan menurut kebebasan mutlak, bisa dinilai sebagai ketiadaan pengertian akan hidup bersama.
Banyak orang yang kecewa terhadap tradisi yang mulai membeku dan mengekang, lalu sama sekali antitradisi. Sikap ini meskipun semula didorong oleh gairah hidup, pada akhirnya akan menjauhkan diri dari hidup.
Dengan terkikisnya banyak peninggalan tradisi, serta semaraknya pencerdasan putra-putra Madura dengan banyaknya SLTP dan SMU, ditambah lagi Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, memang benar-benar membawa putra-putra Madura bisa melihat dunia dengan kacamata agak modern, dan wawasan jauh lebih luas.
Yang dikhawatirkan, ialah pendidikan modern yang tak mendidik dengan "etos kerja" jelas; di samping kurikulum yang hanya berorientasi pada teori, bisa mungkin hanya akan menghasilkan manusia yang SDM-nya lemah, yang tidak mampu untuk menciptakan lapangan kerja sendiri, justru hanya akan menjadi pencari kerja. Yang sangat mendesak, ialah adanya pendidikan yang berorientasi kepada gairah kerja dengan kemampuan (skill) yang jelas.
Tertundanya industrialisasi Madura yang dicanangkan sejak pertengahan dekade ini, baik karena keraguan investor, kekhawatiran sebagian tokoh dan ulama Madura terhadap efek samping industri yang kadang kurang manusiawi, agaknya telah membawa hikmah tersendiri.
Misalnya, agar putra-putra Madura pada zaman mendatang lebih siap untuk berperan dalam mengolah tanah kelahirannya dengan pola yang sesuai iklim modern, tapi sesuai pula dengan kebutuhan pokok orang Madura.
Menurut Ir Sulaiman, anggota MPR RI, pembangunan industrialisasi di Madura menghadapi dua pilihan, yaitu antara "membangun Madura" dengan "membangun di Madura". Jika memilih "membangun di Madura", Madura hanya akan dijadikan lokasi atau tempat, dan hasilnya belum tentu sebagian besar dinikmati oleh orang Madura.
Sedangkan "membangun Madura", Madura bukan sekadar menjadi tempat, tapi manusia Madura juga dibangun SDM-nya serta diberi kesempatan untuk menentukan arah pembangunan itu, sehingga orang Madura tak akan menjadi manusia-manusia marginal di tanah kelahirannya sendiri.
Dengan demikian, pembangunan Madura sangat memberikan harapan bagi masa depan masyarakat Madura, karena orang Madura diberi hak untuk menentukan harga tanah yang akan dijadikan lokasi, dan punya hak menolak hal-hal yang bisa mencemari nilai-nilai spiritual dan kultural masyarakat Madura. Dengan demikian, pembangunan berjalan dalam iklim demokratis, dan melegakan hati semua pihak.
'Selamat Datang'
Industrialisasi memang menjadi bagian penting dari kebudayaan modern, dan orang Madura akan mengucapkan "selamat datang" kalau itu akan bermanfaat bagi masyarakat Madura. Tapi, itu tidak berarti seluruh Pulau Madura harus diserahkan (dijual) untuk kepentingan industri, sehingga mengakibatkan orang Madura tak memiliki apa-apa, kecuali kemampuan untuk menjadi hamba bagi industrialisasi.
Orang Madura tak ingin mengalami nasib seperti sebagian (saudara kita) orang Betawi yang terpinggirkan di tanah warisan nenek moyangnya. Kalaupun ada yang tertinggal, hanya merupakan suaka budaya yang hanya pantas disajikan untuk turis.
Itu artinya, kiamatnya budaya Madura sangatlah tergantung pada daya tahan orang Madura sendiri. Pendidikan di Madura hendaknya punya kepedulian kepada aspek budaya. Yang dikatakan "muatan lokal" hendaknya ditangani oleh guru yang ahli dengan buku-buku yang benar-benar mengarahkan sikap budaya.
Dari pemaparan ini, bisa disimak adanya tanda-tanda, Madura sedang berproses dalam perubahan, dan budaya Madura sedang berada di persimpangan jalan. Barangkali, dibutuhkan upaya-upaya yang lebih mengarah dan ilmiah agar tak menggelinding seenaknya.
Semua perubahan itu bila ditinjau dari kacamata budaya, memang tak ada yang terburu-buru harus dipersalahkan, karena perubahan adalah bagian dari perjalanan kebudayaan.
Yang dikhawatirkan, hilangnya arah budaya yang substansinya berupa nilai-nilai agung, sehingga bisa jadi perjalanan itu ibarat memintal tali yang menjerat kaki sendiri. Untuk itu tak cukup bilang "tidak". Apalagi kalau sudah terjadi.
Yang urgen, sejak sekarang kita mulai berpikir, bagaimana kira-kira wajah yang pas bagi Pulau Madura pada abad ke-21 nanti.

Penulis adalah budayawan tinggal di Sumenep.

top