back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

Surabaya Post
OPINI - Senin, 11 September 00

Mencermati (Kembali) Distorsi- distorsi Program Extension di PTN
oleh Wahyu Kuncoro S.N.

Resistensi terhadap kehadiran program extension di perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri (PTN) memang masih terasa. Sikap "penolakan" tersebut bukan saja dari lingkungan luar, khususnya perguruan tinggi swasta (PTS) yang merasa jalur extension di PTN sebagai penghalang masuknya mahasiswa ke PTS. Namun resistensi tersebut ternyata juga berasal dari lingkungan internal sendiri yakni para mahasiswa yang diterima melalui jalur UMPTN.
Realitas dapat disimak dari aksi mahasiswa dan lembaga kemahasiswaan ITS yang menggugat persamaan sertifikasi (ijazah) bagi lulusan jalur reguler dan jalur extension (Surabaya Post, 3 September 2000).
Sekilas memang, perjuangan mahasiswa jalur reguler tersebut demikian gagah dan heroik. Namun sesungguhnya sikap tersebut tidak mampu menuntaskan problem yang lebih mendasar dari sekadar menuntut perbedaan ijazah kelulusannya. Bahkan bisa jadi tuntutan tersebut tampak lebih mengedepankan aspek kepuasan individual dan kebanggan simbolistis.
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa mahasiswa reguler yang kebetulan "beruntung" bisa menembus PTN melalui UMPTN, memandang bahwa UMPTN adalah variabel yang sudah final untuk menentukan kualitas mahasiswa. Dengan kata lain, "kebanggaan" yang masih "prematur" yang dimiliki mahasiswa ini menyebabkan tidak ingin tersaingi oleh saudara baru mereka yaitu mahasiswa jalur extension.
Kalaupun toh, pijakan argumentasi lebih pada sisi kebanggaan bisa masuk melalui jalur UMPTN, lantas menggugat mahasiswa extension yang masuk tanpa UMPTN sehingga tidak pantas untuk menyandang ijazah yang sama dengan mereka (mahasiswa reguler), adalah sikap yang menyedihkan bahkan cenderung arogan dan kekanak-kanakan. Bukankah kita sebelumnya juga "merelakan" mahasiswa yang masuk melalui lintas jalur (LJ), yakni mahasiswa dari program D3/politeknik yang kemudian melanjutkan ke jalur sarjana --yang nota bene juga tidak melalui UMPTN-- untuk mendapatkan ijazah yang sama dengan yang masuk melalui UMPTN.

Beberapa Distorsi

Munculnya gugatan dan ketidakpuasan akan hadirnya program extension dapat dirunut sebagai buah dari terjadinya distorsi-distorsi dari program tersebut.
Pertama, pada mulanya semangat dibukanya program extension adalah untuk memberi kesempatan bagi masyarakat yang ingin meningkatkan kualitas dirinya. Program selanjutnya lebih diarahkan untuk memberi kesempatan bagi para lulusan D3/Politeknik yang kebetulan sudah bekerja untuk meningkatkan kemampuan akademis dengan meraih gelar sarjana (S1). Karena kesibukan kerjanya maka selanjutnya program extension dilaksanakan pada malam hari.
Namun kemudian pada pelaksanaan mengalami distorsi, berupa dibukanya juga jalur extension yang diperuntukkan bagi para mahasiswa baru lulusan SMU. Dari sinilah kemudian munculnya dualisme penerimaan mahasiswa baru. Yang pertama melalui UMPTN dan yang kedua melalui program extension. Inilah distorsi yang pertama yang menyebabkan kecemburuan tersebut.
Kedua, kalau basis argumentasi yang digunakan untuk menggugat keberadaan jalur extension hanyalah karena tes masuknya tidak dengan UMPTN, jelas merupakan hal yang ironis. Bahkan menantang arus perkembangan baru berupa pemberlakuan otonomi daerah (baca: otonomi kampus).
Ke depan justru mestinya program penerimaan mahasiswa dikembalikan ke kampus masing-masing yang tentunya tidak lagi dengan model UMPTN seperti hari ini. Hal ini mengingat bahwa masing-masing kampus punya standar dan variabel tersendiri dalam menjaring mahasiswa barunya. Sehingga semestinya yang harus dibangun mulai sekarang adalah konsistensi PTN dalam menerapkan proses seleksi yang ketat dan terbuka.
Hal itu bisa dimulai --semestinya-- dari proses seleksi mahasiswa melalui program extension. Namun kenyataannya ternyata pada program seleksi ini juga mengalami distorsi. Yang terjadi kemudian seleksi jalur extension tampak sangat longgar dan mudah, yang akhirnya menimbulkan kecemburuan dan tudingan bahwa jalur extension hanyalah jalur studi yang sekadar mengedepankan aspek uang.
Ketiga, bahwa keberadaan jalur extension tidak bisa dipisahkan dari responsi terhadap semangat dan keinginan peningkatan sumber daya manusia. Artinya pada mulanya jalur extension diperuntukkan untuk memberi kesempatan bagi para lulusan D3/Politeknik yang sedang bekerja untuk meningkatkan kualitas dirinya sehingga mencapai gelar sarjana secara utuh. Apakah kebijakan semacam ini pantas untuk dihalangi dan ditolak. Jelas tidak.
Bahkan bisa jadi para mahasiswa extension yang sudah bekerja ini nantinya akan lebih matang dibandingkan mahasiswa reguler yang sebelumnya tidak pernah bersentuhan dengan dunia kerja. Namun, kemudian, ternyata memang banyak terjadi distorsi di dalam pelaksanaannya.
Kalangan perguruan tinggi kemudian terlena untuk berlomba membuat selebar-lebarnya kesempatan bagi para mahasiswa yang masuk melalui jalur ini yang acap melalaikan aspek seleksi yang memadai. Dan kemudian terjadi distorsi, yakni bahwa yang mengikuti program ini bukan lagi mereka yang sudah bekerja namun siapa pun yang bisa membayar mahal akan diterima. Dan akhirnya kemudian memunculkan tudingan bahwa jalur extension hanyalah mengedepankan sisi komersilnya saja.

Meluruskan Distorsi

Lantaran itu, tuntutan untuk membedakan ijazah tersebut jelas bukan sebuah penyelesaian yang arif dan tuntas. Namun hanya akan bisa memenuhi kepuasan sebagian mahasiswa saja (tentu saja mahasiswa reguler) yang seolah akan menjadi anak kandung, sedang jalur extension anak tiri yang harus dibedakan.
Sejalan dengan semangat otonomi kampus, maka sejatinya proses seleksi mahasiswa baru memang harus menggunakan satu pintu. Bila tetap menggunakan dua pintu, jelas tetap akan terus ada ketidakpuasan-ketidakpuasan. Untuk itu, kalau memang jalur UMPTN masih tetap dipertahankan. Maka semestinya jalur penerimaan mahasiswa baru melalui jalur extension harus dihentikan. Namun kalaupun tetap diadakan, perguruan tinggi harus berani memberikan jaminan bahwa proses seleksi yang terjadi adalah secara ketat dan transparan.
Akhirnya, sesungguhnya terjadinya distorsi semangat yang melatari munculnya jalur extension tersebut harus dibenahi. Karena secara sederhana, muncul logika bagaimana mungkin sebuah institusi yang sama dengan tenaga pengajar yang sama harus mengeluarkan ijazah yang berbeda.
Kondisi ini selanjutnya menyebabkan mahasiswa yang memilih jalur extension, yang memang sungguh-sungguh ingin meningkatkan kualitas akademis, musti harus menerima perlakuan diskrimasi melalui sertifikasi (ijazah) kelulusan. Bagaimana pun sikap diskriminasi tersebut justru menimbulkan problem baru di kelak kemudian hari, berupa ketidakpuasan dan perasan terpinggirkan dari mahasiswa jalur extension. Dan semua itu akibat dari telah terdistorsinya program extension di PTN.
Untuk itu maka pihak kampus harus berlaku adil dan bijaksana dalam menanggapi persoalan tersebut. Bagaimana pun para mahasiswa extension juga tidak ingin mendapat stigma sebagai mahasiswa yang hanya mengandalkan uang untuk mendapatkan ijazah. Akan tetapi juga menginginkan diposisikan sebagai mahasiswa secara wajar.

*) Penulis adalah anggota Majelis Pekerja Kongres (MPK) HMI Pusat dan bekerja sebagai peneliti pada InSPEct (Institute For Social dan Political Ethics Studies), bertempat tinggal di Surabaya.

atas