LAIN-LAIN
Minggu, 27 September 1998

Surabaya Post

DENGAN menggunakan teori konflik, buku ini secara khusus memotret perdebatan soal industrialisasi antara pemerintah dan ulama yang tergabung dalam Bassra (Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura). Konsep yang dipergunakan adalah bureaucratic authoritarianism (lihat, O'Donnel, 1973) di pihak pemerintah, dan kepemimpinan kharismatis (Weber, 1964) di pihak ulama Bassra.
Konflik bermula ketika pemerintah melalui Keppres No. 55/1990 berkeputusan membangun Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) yang diikuti pengembangan kawasan industri di daerah sekitarnya dengan dana dari OEDF (Overseas Economic Cooperation Fund) Jepang. Tapi, bagi warga Madura, keinginan bisa memiliki jembatan tanpa industri amat musykil, sebab jembatan dan industri ini satu paket.
Secara historis Madura tidak pernah terpisah dari Jawa (hlm. vii), tapi pulau Madura sangat terkecualikan dari gemuruh industrialisasi. Tak pelak, rencana industrialisasi di pulau ini membuat warga Madura, terutama di kalangan ulamanya, tersentak. Dalam bayangan ulama, Madura akan disulap seperti Manhattan. Padahal, model pembangunan demikian diyakini hanya akan menghasilkan pembagian akses yang tidak merata hingga menimbulkan kesenjangan sosial, pengangguran masal, dan dampak dekadensi moral (Islam) serta kemerosotan mutu lingkungan (hlm. 70).
Respon ulama sebenarnya tidak tunggal, tapi terbelah dua. Pertama, setuju industrialisasi tapi dengan syarat. Mereka ini tergabung dalam Bassra. Kedua, setuju tanpa syarat. Mereka ini tidak lebih dari kepanjangan tangan pemerintah karena sebagian besar adalah pegawai negeri, khususnya wakil rakyat di FKP.
Sebagai penjaga moral daerah "Seribu Pesantren", ulama Bassra mempertanyakan: industrialisasi yang bagaimana yang diperuntukkan bagi warga Madura. Sebab, selain posisi masyarakat Madura dalam industri belum jelas --mengingat sumber daya manusia Madura yang belum siap-- juga dikhawatirkan akan berdampak buruk pada perkembangan ajaran (moral) Islam (hlm. 118-120). Kekhawatiran itu diwujudkan dengan mengajukan 9 pokok pikiran ulama Bassra yang intinya adalah pembangunan harus berorientasikan kerakyatan.
Aksi "menawar" --sesuatu yang amat ditindas dan diharamkan dalam negara "otoriter birokratik"-- itu dipahami oleh pemerintah sebagai bentuk penolakan (hlm. 132), tapi bagi pemerintah pembangunan harus tetap dilakukan (hlm. 136). Perbedaan pendapat dan cara pandang ini berujung pada konflik antara pemerintah dan ulama yang diuraikan secara gamblang dan panjang lebar dalam buku ini.
Sepanjang buku ini terlihat konflik antara pemerintah dan ulama, antara ratoh (raja, birokrasi, pemerintah) dan guruh (guru, kiai, ulama). Mengapa terjadi konflik antara keduanya?
Tidak Kukuh
Pemerintah yang sekarang adalah pewaris birokrasi terdahulu, yang akar ke bawahnya tidak kukuh, sebaliknya ketergantungannya pada sebuah "pusat" politik sangat kuat. Mula-mula pusatnya adalah Mataram, lalu pada VOC dan pemerintah Hindia Belanda, dan kemudian pemerintah RI. Akar ke bawah yang rapuh itu, menurut Kuntowijoyo (hlm. ix), bisa dicari penjelasannya pada kelangkaan sumber-sumber alamnya, karena Madura berekologi tegalan yang kurang menguntungkan dibandingkan ekologi sawah. Sekarang ketidakmengakaran itu bisa dilihat dari perbandingan alokasi APBN dan APBD untuk proyek-proyek pembangunan.
Sebaliknya, ulama memiliki akar ke bawah yang sangat kukuh di Madura. Ekologi Madura yang terdiri atas tegalan membuat desa-desa menjadi tersebar (scattered village) yang terdiri atas pola pemukiman yang disebut taneyan lanjang --kumpulan 4-8 rumah yang disatukan oleh satu sumur dan satu musala. Beberapa taneyan lanjang ini lalu membentuk dusun, kemudian menjadi desa. Untuk menyatukan ini, Madura memerlukan institusi yang bisa mendekatkan jarak, yaitu mesigit (masjid) desa, dan bukan birokrasi.
Kehadiran masjid (ulama, kiai) diperlukan layanannya dalam banyak kepentingan, seperti muludan, tajin sora, sunatan, upacara kematian, kawinan, hingga layanan sosial, seperti penyembuhan dan ngelmu. Yang paling menonjol adalah peran ulama dalam pendidikan dan pengajaran agama. Pendek kata, di masa lalu, birokrasi adalah beban, dan ulama adalah layanan (hlm. xi).
Karena itu, konflik antara ulama dan pemerintah menjadi tak terelakkan seiring makin pentingnya birokrasi dengan hadirnya beragam institusi layanan. Akan tetapi Madura perlu bersyukur, karena krisis moneter memaksa pemerintah menjadwalkan kembali proyek-proyeknya, termasuk Jembatan Suramadu, sehingga cukup waktu bagi warga Madura untuk bersiap diri. Konflik sosial antara pemerintah dan ulama bisa saja berakhir dengan win-win solution, toh bagi Kuntowijoyo (hlm. xii), akan selalu ada konflik teoretis dan praktis antara agama dan industrialisasi. Debat rencana industrialisasi Madura bisa menjadi model di tempat lain.
Dalam "meramal" masa depan industrialisasi Madura, penulis buku ini mengaku ngeri. Sebab masa depan Madura adalah lompatan dari budaya cangkul ke budaya serba modern dan canggih, budaya mata bajak diganti budaya sinar laser (hlm. 186). Lompatan ini akan merembet kepada: tersingkirnya warga Madura dari tanah kelahirannya dan tergusurnya nilai-nilai tradisional Madura.
Toh bukan berarti Madura tertutup bagi industri. Masa depannya tergantung pada tawar-menawar antara pemerintah dan ulama. Industrialisasi dikatakan berhasil bla ratoh (pemerintah) tertawa, guruh (kiai) tersenyum dan rakyat bahagia (hlm. 187).
Kehadiran buku yang disusun oleh seorang putri Madura ini setidaknya meperkaya referensi tentang hubungan antara ulama dan pemerintah di Madura di masa Orde Baru --sebuah tema kajian yang sepi peminat. Meskipun kurang komprehensif, inilah buku pertama yang "memotret" Madura di masa Orde Baru. (Khudori, Forum Kajian "Integrita" Jember)