back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus


ETIKA PROFESIONAL:
PENGALAMAN & PERMASALAHAN

Makalah Pengantar untuk Perbincangan Tentang
"Perspektif Pembangunan Daya Saing Global Tenaga Kerja Profesional"

oleh Sritomo Wignjosoebroto, Ir., M.Sc., IPM
Institut Teknologi Sepuluh Nopember - Surabaya
[msritomo@rad.net.id]

Makalah disampaikan dalam Simposium, Pameran dan Lomba Inovasi Iptek Terapan dengan Tema "Pemulihan Ekonomi Nasional Bersendikan Industrialisasi dan Pemberdayaan Potensi Otonomi Daerah" - Badan Kejuruan Mesin - Persatuan Insinyur Indonesia, tanggal 30 November s/d 1 Desember 1999 di Jakarta


Profesi, Profesional dan Profesionalisme

  1. Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan -- serta ikrar (fateri/profiteri) untuk menerima panggilan tersebut -- untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan ditengah gelapnya kehidupan (Wignjosoebroto, 1999). Dengan demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan disamping itu pula ada unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) didalam melaksanakan suatu kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk mem bedakannya dengan kerja biasa (occupation) yang semata bertujuan untuk mencari nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi. Lebih lanjut Wignjosoebroto [1999] menjabarkan profesionalisme dalam tiga watak kerja yang merupakan persyaratan dari setiap kegiatan pemberian "jasa profesi" (dan bukan okupasi) ialah
    1. bahwa kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil;
    2. bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat;
    3. bahwa kerja seorang profesional -- diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral -- harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi.
    Ketiga watak kerja tersebut mencoba menempatkan kaum profesional (kelompok sosial berkeahlian) untuk tetap mempertahankan idealisme yang menyatakan bahwa keahlian profesi yang dikuasai bukanlah komoditas yang hendak diperjual-belikan sekedar untuk memperoleh nafkah, melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan demi kesejahteraan umat manusia. Kalau didalam peng-amal-an profesi yang diberikan ternyata ada semacam imbalan (honorarium) yang diterimakan, maka hal itu semata hanya sekedar "tanda kehormatan" (honour) demi tegaknya kehormatan profesi, yang jelas akan berbeda nilainya dengan pemberian upah yang hanya pantas diterimakan bagi para pekerja upahan saja.

  2. Siapakah atau kelompok sosial berkeahlian yang manakah yang bisa diklasifikasikan sebagai kaum profesional yang seharusnya memiliki kesadaran akan nilai-nilai kehormatan profesi dan statusnya yang sangat elitis itu? Apakah dalam hal ini profesi keinsinyuran bisa juga diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok ini? Jawaban terhadap kedua pertanyaan ini bisa mudah-sederhana, tetapi juga bisa sulit untuk dijawab. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan berbagai macam persoalan, praktek nyata, maupun penyimpangan yang banyak kita jumpai didalam aplikasi pengamalan profesi di lapangan yang jauh dari idealisme pengabdian dan tegak nya kehormatan diri (profesi). Pada awal pertumbuhan "paham" profesionalisme, para dokter dan guru -- khususnya mereka yang banyak bergelut dalam ruang lingkup kegiatan yang lazim dikerjakan oleh kaum padri maupun juru dakhwah agama -- dengan jelas serta tanpa ragu memproklamirkan diri masuk kedalam golongan kaum profesional. Kaum profesional (dokter, guru dan kemudian diikuti dengan banyak profesi lainnya) terus berupaya menjejaskan nilai-nilai kebajikan yang mereka junjung tinggi dan direalisasikan melalui keahlian serta kepakaran yang dikembangkan dengan berdasarkan wawasan keunggulan. Sementara itu pula, kaum profesional secara sadar mencoba menghimpun dirinya dalam sebuah organisasi profesi (yang cenderung dirancang secara eksklusif) yang memiliki visi dan misi untuk menjaga tegaknya kehormatan profesi, mengontrol praktek-praktek pengamalan dan pengembangan kualitas keahlian/ kepakaran, serta menjaga dipatuhinya kode etik profesi yang telah disepakati bersama.

  3. Seperti halnya dengan profesi dokter, guru, pengacara, dan sebagainya; maka insinyur bisa diklasifikasikan pula sebagai sebuah profesi. Dalam hal ini Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET, 1993) telah mendefinisikannya sebagai "the profession in which a knowledge of the mathematical and natural sciences gained by study, experience and practice is applied with judgement to develop ways to utilize, economically, the materials and forces of nature for the benefit of mankind". Dengan mengacu pada pengertian dan pemahaman mengenai profesi, (sikap) profesional, dan (paham) profesionalisme seperti yang telah diuraikan sebelumnya; maka nampak jelas kalau ruang lingkup kegiatan rekayasa-keinsinyuran per definisi bisa disejajarkan dengan kegiatan dalam lingkup kedokteran, keguruan, kepengacaraan, maupun keprofesian lainnya. Disini ada beberapa persamaan pengertian -- yang relevan dengan ciri dan karakteristik dari paham profesionalisme yang dianut oleh profesi dokter, guru, maupun pengacara -- seperti yang ditunjukkan melalui penerapan keahlian khusus (matematika, fisika dan pengetahuan ilmiah lainnya yang relevan) untuk melakukan perencanaan, perancangan (design), konstruksi, operasi dan perawatan dari produk, proses, maupun sistem kerja tertentu secara efektif-efisien guna kemaslahatan manusia. Seperti halnya dengan profesi-profesi lainnya, profesi keinsinyuran juga tidak lupa menata-dirinya dalam wadah organisasi profesi insinyur (bisa sangat spesifik/spesialistik, bisa juga umum) baik untuk lingkup nasional (negara) maupun internasional (global) dan sekaligus menerapan kode etik profesi untuk menjaga martabat, kehormatan, dan/atau itikad-itikad etis yang harus ditaati oleh mereka yang akan menerapkan keahlian serta kepakarannya semata demi dan untuk "the benefit of mankind".

Etika Profesi dan Kode Etik Profesi

  1. Dari perbincangan mengenai profesi, sikap profesional dan paham profesionalisme seperti yang diuraikan diatas, tampak jelas bahwa semua perbincangan tersebut tidak akan pernah lepas dari persoalan etika. Memperbincangkan profesi tanpa mengkaitkannya dengan persoalan etika bisa diibaratkan sebagai memperbincangkan pergaulan lelaki-perempuan tanpa mengkaitkannya dengan nilai moral sebuah perkawinan; atau memperbincangkan hubungan orang-tua (ayah/ibu) dengan anak-anak kandungnya tanpa mengindahkan nilai etika kesantunan, norma adat istiadat serta ajaran agama yang telah mengaturnya. Segala macam bentuk pelanggaran serta penyimpangan terhadap tata-pergaulan tersebut dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral (amoral), tidak etis dan lebih kasar lagi bisa dikatakan sebagai tindakan yang tidak beradab alias biadab. Istilah etik dan moral merupakan istilah-istilah yang bersifat mampu dipertukarkan satu dengan yang lain. Keduanya memiliki konotasi yang sama yaitu sebuah pengertian tentang salah dan benar , atau buruk dan baik. Dasar untuk menggambarkan perilaku yang menjunjung tinggi nilai etika dan moral bisa dinyatakan dalam pernyataan "do unto others as you would have them do unto you" (Bennett, 1996). Pernyataan ini harus dipahami sebagai nilai-nilai tradisional yang meskipun terkesan sangat konservatif karena mengandung unsur nilai kejujuran (honesty), integritas dan konsern dengan hak serta kebutuhan orang lain; tetapi sangat tepat untuk dijadikan sebagai "juklak-juknis" didalam menilai dan mempertimbangkan persoalan etika profesi yang terkait dalam proses pengambilan keputusan profesional.

  2. Apakah etika, dan apakah etika profesi itu? Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which can act as the performance index or reference for our control system". Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standard yang akan mengatur pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran -- yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi -- yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat "built-in mechanism" berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan disisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999). Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.

  3. Didalam upayanya untuk mengatur perilaku kaum (elite) profesional agar selalu ingat, sadar dan mau mengindahkan etika profesinya; maka setiap organisasi profesi pasti telah merumuskan aturan main yang tersusun secara sistematik dalam sebuah kode etik profesi yang sesuai dengan ruang lingkup penerapan profesinya masing-masing. Kode etik profesi ini akan dipakai sebagai rujukan (referensi) normatif dari pelaksanaan pemberian jasa profesi kepada mereka yang memerlukannya. Seberapa jauh norma-norma etika profesi tersebut telah dipatuhi dan seberapa besar penyimpangan penerapan keahlian sudah tidak bisa ditenggang-rasa lagi, semuanya akan merujuk pada kode etik profesi yang telah diikrarkan oleh mereka yang secara sadar mau berhimpun kedalam masyarakat (society) sesama profesi itu. Kaum (elite) profesional memiliki semacam otonomi didalam mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri. Menurut Harrris [1995] ruang gerak seorang profesional ini akan diatur melalui etika profesi yang distandarkan dalam bentuk kode etik profesi. Pelanggaran terhadap kode etik profesi bisa dalam berbagai bentuk, meskipun dalam praktek yang umum dijumpai akan mencakup dua kasus utama, yaitu:
    1. pelanggaran terhadap perbuatan yang tidak mencerminkan respek terhadap nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh profesi itu. Memperdagangkan jasa atau membeda-bedakan pelayanan jasa atas dasar keinginan untuk mendapatkan keuntungan uang yang berkelebihan ataupun kekuasaan merupakan perbuatan yang sering dianggap melanggar kode etik profesi; dan
    2. pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa profesi yang kurang mencerminkan kualitas keahlian yang sulit atau kurang dapat dipertanggung-jawabkan menurut standar maupun kriteria profesional.
    Tak pelak lagi, kode etik profesi akan bisa dijadikan sebagai acuan dasar dan sekaligus alat kontrol internal bagi anggota profesi; disamping juga sebagai alat untuk melindungi kepentingan masyarakat dari perbuatan- perbuatan yang tidak profesional.

Etika Profesi Keinsinyuran, Pengamalan dan Permasalahannya

  1. Ilmu rekayasa/keinsinyuran (engineering) secara umum dapat dipahami sebagai ilmu terapan (applied science) atau penerapan dari prinsip-prinsip ilmiah melalui penggunaan model dan teknologi. Tujuan utamanya adalah merancang sistem baru dan memperbaiki yang sudah ada demi kemanfaatan manusia. Etika dalam hal ini perlu dijadikan sebagai pertimbangan untuk menguji signifikansi dari nilai-nilai moral yang melekat selama aktivitas kreatif itu berlangsung. Seperti halnya dengan profesi-profesi yang lainnya, hasil kepakaran profesi "tukang" insinyur ini akan erat berkaitan dengan masalah kehidupan manusia. Kajian terhadap apa-apa yang dihasil kan sebagai karya keinsinyuran seringkali harus mampu memberikan jawaban dan rekomendasi yang memuaskan terhadap dua pertanyaan yang menyangkut
    1. proses penemuan dan pengembangan karya keinsinyuran tersebut apakah sudah mengindahkan nilai-nilai (moral) kemanusiaan ataukah justru mengabaikannya; dan
    2. penerapan hasil karya keinsinyuran tersebut sebenarnya untuk apa, untuk siapa, dan bagaimana cara pengoperasiannya?
    Banyak hal-hal yang akan memicu kontroversi pada saat sebuah karya keinsinyuran sedang dicoba maupun pada saat ingin diaplikasikan. Sebagai contoh, apakah dapat dibenarkan untuk mengadakan percobaan -- baik yang bersifat "trial & error" maupun "scientific method" -- dengan menugaskan manusia untuk menguji berbagai akibat dari perubahan rancangan sistem kerja ataupun pengoperasian sebuah alat? Bilamana manusia itu sendiri bersedia untuk jadi "kelinci percobaan", apakah permasalahan yang kemudian muncul tidak akan tidak akan menjadi persoalan pelanggaran etika yang kemudian menjadi bahan perdebatan yang berlarut-larut?

  2. Apakah etika keinsinyuran (engineering ethics) itu? Menurut Bennet [1996], etika profesi keinsinyuran adalah "the study of the moral issues and decisions confronting individuals and organizations involved in engineering". Pengenalan dan pemahaman mengenai etika profesi keinsinyuran ini perlu dilakukan sedini mungkin, bahkan beberapa perguruan tinggi teknik sudah mencantumkannya dalam kurikulum dan mata kuliah khusus. Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET) sendiri secara spesifik memberikan persyaratan akreditasi yang menyatakan bahwa setiap mahasiswa teknik (engineering) harus mengerti betul karakteristik etika profesi keinsinyuran dan penerapannya. Dengan persyaratan ini, ABET menghendaki setiap mahasiswa teknik harus betul-betul memahami etika profesi, kode etik profesi dan permasalahan yang timbul diseputar profesi yang akan mereka tekuni nantinya; sebelum mereka nantinya terlanjur melakukan kesalahan ataupun melanggar etika profesinya. Langkah ini akan menempatkan etika profesi sebagai "preventive ethics" yang akan meng- hindarkan segala macam tindakan yang memiliki resiko dan konsekuensi yang serius dari penerapan keahlian profesional. Apakah mungkin masalah moral dan etika ini diajarkan bagi mahasiswa teknik? Meskipun tidak mudah -- karena nilai-nilai moral dan etika ini akan merupakan produk warisan orang-tua, dipengaruhi kuat-kuat oleh kultur/budaya masyarakat, dan faktor psikologis -- para "tukang" insinyur ini sebenarnya dapat diajari untuk "think ethically", seperti halnya mereka bisa diajari untuk "think scientifically" (Harris, 1995).

  3. Untuk memberikan semacam rambu-rambu yang dapat dipakai sebagai rujukan tentang etika profesi yang harus ditaati, maka disusun kemudian kode etik profesi yang pada intinya menekankan pada arahan untuk menuju kebaikan, kejujuran, respek (penghormatan) kepada hak orang lain, dan sebagainya; dan disisi lainnya menghindari segala perbuatan yang tidak baik, tercela, menyimpang dari aturan yang berlaku dan sebagainya. Pada dasarnya kode etik profesi dirancang dengan mengakomodasikan beberapa prinsip etika seperti berikut:
    1. etika kemanfaatan umum (utilitarianism ethics), yaitu setiap langkah/tindakan yang menghasilkan kemanfaatan terbesar bagi kepentingan umum haruslah dipilih dan dijadikan motivasi utama;
    2. etika kewajiban (duty ethics), yaitu setiap sistem harus mengakomodasikan hal-hal yang wajib untuk diindahkan tanpa harus mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin bisa timbul, berupa nilai moral umum yang harus ditaati seperti jangan berbohong, jangan mencuri, harus jujur, dan sebagainya. Semua nilai moral ini jelas akan selalu benar dan wajib untuk dilaksanakan, sekalipun akhirnya tidak akan menghasilkan keuntungan bagi diri sendiri;
    3. etika kebenaran (right ethics), yaitu suatu pandangan yang tetap menganggap salah terhadap segala macam tindakan yang melanggar nilai-nilai dasar moralitas. Sebagai contoh tindakan plagiat ataupun pembajakan hak cipta/karya orang lain, apapun alasannya akan tetap dianggap salah karena melanggar nilai dan etika akademis;
    4. etika keunggulan/kebaikan (virtue ethics), yaitu suatu cara pandang untuk membedakan tindakan yang baik dan salah dengan melihat dari karakteristik (perilaku) dasar orang yang melakukannya. Suatu tindakan yang baik/benar umumnya akan keluar dari orang yang memiliki karakter yang baik pula. Penekanan disini diletakkan pada moral perilaku individu, bukannya pada kebenaran tindakan yang dilakukannya; dan
    5. etika sadar lingkungan (environmental ethics), yaitu suatu etika yang berkembang di pertengahan abad 20 ini yang mengajak masyarakat untuk berpikir dan bertindak dengan konsep masyarakat modern yang sensitif dengan kondisi lingkungannya. Pengertian etika lingkungan disini tidak lagi dibatasi ruang lingkup penerapannya merujuk pada nilai-nilai moral untuk kemanusiaan saja, tetapi diperluas dengan melibatkan "natural resources" lain yang juga perlu dilindungi, dijaga dan dirawat seperti flora, fauna maupun obyek tidak bernyawa (in-animate) sekalipun.
    Dengan adanya kode etik profesi, maka akan ada semacam aturan yang bisa dijadikan "guideline" untuk melindungi kepentingan masyarakat umum. Disamping itu kode etik profesi ini juga bisa dipakai untuk membangun "image" dan menjaga integritas maupun reputasi profesi, serta memberikan gambaran tentang keterkaitan hubungan antara pemberi dengan pengguna jasa keprofesian.

  4. Dibandingkan dengan profesi-profesi yang lain seperti dokter ataupun pengacara, maka profesi keinsinyuran mungkin termasuk yang paling ketinggalan didalam membicarakan maupun merumuskan etika profesi-nya dalam sebuah kode etik insinyur (the code of ethics of engineers). Ada berbagai macam kode etik yang dibuat oleh berbagai-macam asosiasi profesi keinsinyuran yang ada, meskipun secara prinsipiil tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dari kode etik yang satu dibandingkan dengan yang lainnya. Struktur dari kode etik profesi tersebut umumnya diawali dengan hal-hal yang bersifat umum seperti yang tercantum di bagian pendahuluan, mukadimah atau "general introductory"; dan selanjutnya diikuti dengan serangkaian pernyataan dasar atau "canon" (dari bahasa latin yang berarti aturan). Canon ini kemudian dijabarkan secara lebih luas lagi dengan memberikan uraian penjelasan untuk hal-hal yang bersifat khusus dan/atau spesifik. Kode etik insinyur yang dipublikasikan oleh ABET (1985) memulainya dengan dengan introduksi umum yang berisikan pernyataan tentang 4 (empat) prinsip etika dasar profesi keinsinyuran sebagai berikut:

    Engineer uphold and advance the integrity, honor and dignity of the engineering profession by:

    • using their knowledge and skill for the enhancement of human welfare;
    • being honest and impartial, and serving with fidelity the public, their employers and clients;
    • striving to increase the competence and prestige of the engineering profession; and
    • supporting the professional and technical societies of their disciplines.

    Selanjutnya kode etik versi ABET tersebut diakhiri dengan 7 (tujuh) fundamental canon yang kemudian dilengkapi lagi dengan uraian penjelasan yang termuat dalam "Suggested Guidelines for Use with the Fundamental Cannons of Ethics". Kode etik yang sama -- secara substansial tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dengan versi ABET -- juga dibuat oleh National Society of Professional Engineers (1998) yang strukturnya terdiri dari pembukaan (preamble), 5 (lima) fundamental canons, aturan praktis untuk mendukung dan menjelaskan canon tersebut, dan satu set yang berisikan 11 (sebelas) "professional obligations", dan beberapa keterangan penutup. Bagaimana dengan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) sendiri? Dalam hal ini PII telah berhasil merumuskan dan menyusun Kode Etik Insinyur Indonesia yang diberi nama "Catur Karsa Sapta Dharma Insinyur Indonesia" yang terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu

    1. Prinsip-prinsip Dasar yang terdiri atas 4 (empat) prinsip dasar, dan
    2. Tujuh Tuntunan Sikap (Canon).
    Selain PII, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI, 1996) telah pula berhasil menetapkan Kode Etik dan Kaidah Tata Laku Keprofesian Arsitek yang rumusannya terdiri atas 7 (tujuh) pasal prinsip dasar dan 31 (tiga puluh satu) ayat tingkah laku yang memberi penjabaran terhadap 7 pasal prinsip dasar tersebut. Substansi dari kode etik profesi yang diformulasikan tersebut umumnya mencakup permasalahan penerapan keahlian profesi yang semata ditujukan untuk kesejahteraan dan kepentingan umat manusia; menjaga martabat, integritas, kehormatan, kompetensi, kualitas, maupun reputasi keprofesian; dan sebagainya. Selanjutnya persoalan yang masih harus dihadapi adalah bagaimana implementasi kode etik yang telah dirumuskan dengan baik itu dalam kenyataan (praktek) sehari-harinya ? Apakah kode etik itu cukup operasional untuk dipatuhi; dan apakah persoalan-persoalan yang menyangkut tindakan yang tidak profesional, melanggar (kode) etika profesi, serta segala macam bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian sudah bisa diselesaikan dengan aturan (kode etik) yang ada? Seberapa jauh organisasi profesi akan memiliki kekuatan untuk mengontrol dan mengambil tindakan terhadap pelanggaran- pelanggaran etika profesi yang dilakukan oleh anggotanya ? Adakah supremasi hukum mampu dan bisa diterapkan untuk menangani kasus penyimpangan-penyimpangan yang berkaitan dengan kode etik profesi ini ?

  5. Persoalan pelanggaran etika profesi dan ketidak-berdayaan hukum untuk menindaknya merupakan masalah besar, karena hal ini bisa mengganggu dan menghilangkan kepercayaan masyarakat akan jasa profesi tertentu. Beberapa kasus dan merupakan tipikal umum isue yang dianggap sebagai bentuk pelanggaran (kode) etika profesi antara lain berupa
    1. konflik kepentingan, sebagai contoh seberapa jauh bisa dikatakan telah terjadi penyimpangan manakala karena posisi/jabatannya seorang profesional menerima "hadiah" dari pemasok barang/material atau klien lainnya? Seberapa besar nilai sebuah "cinderamata" itu dianggap masih dalam batas-batas kewajaran, dan seberapa pula yang bisa dianggap melanggar etika profesi;
    2. kerahasiaan dan loyalitas, seorang profesional harus punya komitmen yang jelas terhadap segala informasi yang diklasifikasikan sebagai konfidensial (terbatas/rahasia) dan juga harus menunjukkan loyalitasnya kepada kliennya. Pelanggaran berupa pemberian informasi yang seharusnya dijaga kerahasiaannya kepada kompetitor jelas merupakan tindakan yang tidak profesional (membuka rahasia dan tidak loyal);
    3. kontribusi (dana) balik, berupa pemotongan sebagian dana yang harus dikembalikan kepada pemilik proyek atau pemberi order;
    4. tiupan peluit (whistleblowing), kesadaran dan keberanian dari sesama profesi meniupkan "peluit"-nya untuk mengingatkan bahwa telah terjadi pelanggaran kode etik. Sebagai contoh, bukankah pelayanan jasa profesi itu tidak boleh ditawar-tawarkan (lewat iklan, misalnya), terlebih kalau belum apa-apa sudah mematok tarif jasa pelayanan tersebut?
    Banyak kasus sengaja untuk ditutup atau diselesaikan secara internal -- dengan dalih melindungi kehormatan dan masa depan rekan sesama profesi (dan justru mengorbankan kepentingan umum) -- karena ada kekawatiran kalau persoalan pelanggaran etik profesi ini berkembang luas dan menjadi terbuka akan bisa menurunkan kehormatan, kepercayaan, ataupun kredibilitas terhadap profesi tersebut; dan seterusnya.

  6. Globalisasi membawa banyak tantangan dan persoalan yang harus dihadapi serta menjadi tanggung-jawab para profesional. Persoalan yang semakin kompleks, keterkaitan dan ketergan- tungan antar individu dalam sebuah sistem akan memberikan dampak sosial dari setiap kebijakan maupun keputusan yang diambil. Setiap profesi (tidak terkecuali) harus benar-benar menaruh perhatian akan dampak sosial dari setiap keputusan yang diambil dan akan diterapkan. Semuanya harus dikemas berdasarkan keahlian-kepakaran serta mengindahkan betul etika profesionalnya. Pelajaran paling berharga yang bisa ditarik dari masa lalu telah menunjukkan bahwa semua kebijakan, keputusan, maupun aktivitas yang dikemas tanpa mengindahkan nilai moral, etika dan hukum pada akhirnya terjerembab, terpuruk serta bangkrut secara memalukan. Moral, etika dan hukum ibaratnya konstruksi bangunan merupakan pondasi, pilar dan atap-nya. Kehidupan masyarakat yang terus berubah cepat dan secara mendasar karena terbentuknya suasana baru (reformasi) dan dipicu dengan kemajuan teknologi di penghujung akhir abad 20 ini telah menyadarkan kita akan arti pentingnya nilai moral, etika dan meningkatnya peran profesionalisme didalam menyelesaikan tantangan dan persoalan yang dihadapi.

Referensi

Accreditation Board for Engineering and Technology. 1993 Annual Report. New York, 1993.

American Society of Mechanical Engineers (ASME). Code of Ethics of Engineers. http://onlineethics.org/codes/ASMEcode.html, 1998.

Bennett, F. Lawrence. The Management of Engineering: Human, Quality, Organizational, Legal, and Ethical Aspects of Professional Practice. New York: John Wiley & Sons, Inc., 1996.

Engineering Ethics: Introducing Ethics Case Studies into Required Undergraduate Engineering Courses. Department of Philosophy and Department of Mechanical Engineering, Texas A & M, http://lowery.tamu.edu/ethics/sethics/essays/brochure.htm.

Harris JR., Charles E., et.al. Engineering Ethics: Concepts and Cases. Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1995.

Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Anggaran Dasar Ikatan Arsitek Indonesia 1996.

Martin, J.Campbell. The Successful Engineer: Personal and Professional Skills - a Sourcebook. New York: McGraw-Hill International Editions, 1993.

National Society of Professional Engineers (NSPE). Code of Ethics for Engineers. http://onlineethics.org/codes/NSPEcode.html, 1998.

Wignjosoebroto, Soetandyo. Profesi, Profesionalisme dan Etika Profesi. Makalah yang disajikan dalam diskusi tentang profesionalisme hukum (notariat) di Fakultas Hukum Universitas Airlangga - Surabaya, 1999.

atas