back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

KOMPAS
OPINI - Selasa, 01 Agustus 00

Menuntaskan Reformasi yang Mengambang
Oleh Winarno Surakhmad

JUDUL ini merujuk strategi mendesentralisasi pendidikan sebagai titik masuk guna menuntaskan reformasi pendidikan, yang hakikat, sifat, dan arahnya belum pernah dirumuskan secara jelas. Tulisan ini berharap menjembatani dikotomi yang tidak menguntungkan antara para perencana dan pengambil keputusan dengan pelaku pendidikan di lapangan. Sekaligus, dikandung harapan untuk menyamakan persepsi penanggung jawab pendidikan di daerah dengan mereka yang ada di pusat. Dialog antara teoretisi dengan praktisi pendidikan, berdasar pengamatan akhir-akhir ini, belum membuahkan hasil yang diharapkan.

Bermula dari sebuah visi

Belum lagi tuntas perumusan berskala nasional mengenai makna reformasi pendidikan, para pendidik kini dihadapkan pada keharusan lain untuk menetapkan rambu-rambu mengenai apa yang dimaksud dengan desentralisasi pendidikan. Yang mengherankan sekaligus mencemaskan, ternyata masih banyak pelaku pendidikan di lapangan yang tetap lebih suka langsung menerima pedoman pelaksanaan dari pada turut mendalami dasar dan rasional reformasi serta desentralisasi itu. Mengherankan, karena mereka ternyata belum dapat melepaskan diri dari belenggu tradisi Orde Baru yang justru telah mereduksi kedudukan mereka semata-mata sebagai operator. Mencemaskan, karena bila tradisi ini dilanjutkan, maka jelas akan merupakan titik awal kegagalan desentralisasi pendidikan.

Di masa lalu, para pelaku di lapangan yang terkondisi hidup dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) , juga terkondisi untuk tidak berpikir. Makna, peran dan posisi visi pendidikan dianggap tidak penting dan tidak berguna bagi mereka, karena dianggap tidak mempunyai nilai praktis. Ini merupakan bukti kegagalan mereka untuk memahami bahwa tidak ada satu pun tindakan kependidikan, termasuk penyusunan juklak dan juknis, yang tidak lahir sebagai implikasi, atau sebagai konsekuensi dari landasan visioner itu! Jadi bagaimana mungkin seorang pelaku di lapangan melaksanakan dengan benar apa yang perlu dilaksanakan, bila konsep dasar yang menjadi landasan setiap keputusan tidak dihiraukan.

Dalam sejarah bangsa kita yang relatif masih pendek, sudah banyak bukti yang meyakinkan, kegagalan kita menerjemahkan visi dan misi pendidikan dari sudut kepentingan pendidikan, telah dimanfaatkan kekuasaan untuk merumuskan dan menjabarkannya dari sudut kepentingan kekuasaan! Oleh karena itu, aci-aci pendidikan mengabdi pada kepentingan anak bangsa, pendidikan berubah menjadi alat politik, mengabdi pada kepentingan kekuasaan!

Mengapa kita kini masih tetap begitu buta untuk tidak melihat kenyataan itu! Mengapa kita tidak peka untuk belajar dari kesalahan masa lalu! Apakah ini bukan sebuah petunjuk, kesiapan kita untuk melahirkan reformasi belum cukup matang, karena manusia yang mendukungnya belum siap. Ini berarti, langkah pertama dalam rangkaian reformasi itu harus lebih dahulu memantapkan pemahaman dan sikap mereka. Salahkah bila kita berpendapat, hal-hal seperti itu sudah tidak diperlukan; pendidikan adalah konsep yang selalu berkembang.

Tidak mungkin kita berharap lahirnya tindakan reformatif dari "reformator" yang tidak berpikir reformatif, karena tidak memahami hakikat reformasi yang dikehendaki. Jadi untuk tidak mengulangi kegagalan reformasi semu masa lalu, reformasi yang sedang kita usahakan harus mencakup perombakan cara berpikir, karena di situlah seharusnya reformasi bermula. Tidak dari sebuah surat keputusan! Sampai hari ini, pemerintah-pusat dan daerah-tak dapat berasumsi, "sumber daya manusia" pelaku reformasi, sungguh-sungguh sudah siap tempur. Ketidakjelasan konsep dasar yang melandasi usaha reformasi dan desentralisasi di dalam benak setiap unsur pelaku, dapat menjadi kekuatan kontra produktif. Lagi pula apakah telah ada kesamaan pengertian pendidikan nasional yang sudah jelas?

Desentralisasi

Momentum dan justifikasi reformasi pendidikan tidak dapat lebih tepat lagi, dengan dicanangkannya desentralisasi pendidikan. Reformasi pendidikan, karenanya, perlu memanfaatkan proses desentralisasi sekaligus proses reformasi. Untuk menjadikan pendidikan lebih bermakna, bagi Indonesia, pengolahan pendidikan yang berbasis pada masyarakat memang lebih wajar dari pengelolaan yang terpusat, karena proses pengambilan keputusan akan berada di dalam masyarakat yang berkepentingan. Memindahkan kepemilikan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, adalah usaha yang lebih wajar dari sudut demokratisasi pendidikan khususnya, penumbuhan demokrasi umumnya.

Namun, di sinilah diperlukan kejernihan berpikir setiap orang, setiap guru sebagai pelaku di lapangan, setiap bupati sebagai penanggung jawab di daerah, setiap anggota masyarakat sebagai pemilik yang paling berkepentingan. Tidak dengan memindahkan titik pusat pendidikan, dari pusat ke daerah, mereka langsung dapat menuntaskan reformasi. Dengan lain perkataan: desentralisasi pendidikan tidak serta merta berarti reformasi pendidikan. Memang, mengalihkan titik berat pengambilan keputusan dapat merupakan perubahan yang cukup radikal, dan pada saat yang sama perlu disadari konsekuensi dan dampak keputusan itu tidak kurang radikal: kecuali banyak dan berdampak jauh, juga penampilannya akan baru atau berbeda. Ke arah itulah reformasi pendidikan perlu terjadi. Akan tetapi, pendidikan yang bagaimana?

Yang menentukan bermakna atau tidak keputusan yang diambil adalah relevan atau tidak relevannya pendidikan yang dimaksud. Agar jelas bagi semua pihak, perlu disadari bahwa pendidikan masa lalu sudah tidak relevan, dan harus ditinggalkan. Pada saat pikiran kita tersita oleh keinginan mencari jalan terbaik untuk melancarkan proses desentralisasi pendidikan, kita harus paham betul mengenai pendidikan yang bagaimana yang dicita-citakan, karena melalui reformasi, kita pada dasarnya menciptakan pendidikan yang baru. Kita semua perlu menyadari, yang harus kita desentralisasikan bukanlah pendidikan yang sudah tidak relevan itu. Bukan pendidikan yang selama ini dibangun dengan dasar pandangan yang antipendidikan!

Sekali lagi, agar jelas bagi setiap orang. Pembaruan pendidikan tidak ditentukan hanya oleh kenyataan bahwa titik tumbuhnya telah kita geser dari pusat ke daerah. Betapa pun kompleksnya, itu baru sebuah awal. Kita harus sadar, sebenarnya dengan atau tanpa kebijakan desentralisasi, pendidikan mutlak untuk sudah direformasi sejak lama. Di dalam pendidikan masa lalu telah tumbuh begitu banyak segi yang tidak wajar, sehingga mutlak harus kita reformasi, sekurang-kurangnya melalui peralihan paradigma lama ke paradigma baru, baik yang bersifat normatif, sistemik, maupun teknis.

Yang normatif, antara lain berkaitan dengan terjemahan kita mengenai pandangan hidup dan ideologi bernegara, makna manusia Indonesia dan tujuan hidup berbangsa, peran pendidikan masa depan dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa, dan pembangunan manusia sebagai makhluk beradab. Yang lebih berkaitan dengan sistem, misalnya, mengenai keterkaitan pendidikan daerah dengan pendidikan nasional, konsep pengembangan masyarakat yang berbasis pengetahuan, teknologi, budaya, dan agama. Atau yang berkaitan dengan pendanaan dan pembinaan sistem. Yang lebih teknis memerlukan paradigma mengenai implikasi proses mengajar dan belajar, operasionalisasi pendidikan berbasis sekolah, kesinambungan pendidikan, dan pengembangan masyarakat belajar.

Dengan singkat, kita harus merumuskan kembali, sambil meletakkan pendidikan pada posisi yang baru, apa dasar, peran, dan tujuan pendidikan, yang kita cita-citakan perlu terwujud di dalam konteks yang baru, yakni dalam konteks pembangunan pendidikan nasional dengan menggunakan strategi pendidikan yang didesentralisasi. Apa yang diperlukan bangsa ini bukan sebuah transplantasi pendidikan, dalam arti hanya memindahkan pendidikan lama dari konteks yang lama ke konteks yang baru. Bukan transplantasi, tetapi transformasi.

Pendidikan lokal

Kita tidak boleh terkecoh seakan-akan dengan dimulainya pendidikan lokal maka berakhirlah riwayat pendidikan nasional. Ini tidak benar. Yang berakhir hanyalah pengelolaannya yang terpusat. Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat berkembang tanpa pendidikan yang berjangkauan nasional. Tanpa pendidikan nasional, tidak ada pendidikan lokal. Mengapa pendidikan perlu ditumbuhkan di tingkat daerah? Oleh karena pendidikan lokal itulah-dalam konteks reformasi-yang berpotensi menjadi landasan kekuatan pendidikan nasional. Jadi dengan menekankan pentingnya pendidikan di daerah, tidak dimaksud untuk lalu meniadakan pendidikan nasional. Wujudnya akan berbeda; sistemnya berbeda; pengelolaannya berbeda; sumber pendanaannya berbeda; tegasnya, implikasinya berbeda karena landasan filosofinya berbeda.

Jelas, ini sebuah pandangan yang radikal berbeda dari pandangan lama. Ketika pendidikan masih terpusat, titik tumbuhnya hanya satu. Dengan desentralisasi pendidikan, di tingkat kabupaten, misalnya, maka titik tumbuhnya adalah 315, sebanyak kabupaten. Satu saja mata rantai pendidikan-katakanlah di tingkat kabupaten-tidak berjalan, dampak negatifnya akan terasa secara nasional. Jadi pendidikan terdesentralisasi, tetapi ini sama sekali tidak berarti pendidikan lokal adalah lawan pendidikan nasional. Kelak, pendidikan lokal justru menjadi satu sifat utama pendidikan nasional.

Pendidikan nasional masa depan, pendidikan yang memusatkan perhatiannya pada pertumbuhan dari bawah, dari, oleh, dan untuk masyarakat, akan tetap mencerminkan keberagaman daerah, yang adalah kekuatannya. Pendekatan ini merupakan strategi yang lebih wajar, lebih sehat, lebih masuk akal, untuk menciptakan sebuah kekuatan pendidikan nasional di atas keberagaman daerah. Tegasnya, dengan visi kependidikan yang bertujuan menciptakan peradaban yang tinggi di atas kesejahteraan dan kecerdasan kehidupan bangsa, pendidikan tidak dapat lain kecuali memulai pertumbuhannya di dalam masyarakat.

Memenuhi kebutuhan pendidikan setiap warga negara di setiap penjuru Tanah Air, termasuk dalam air pemerataan. Namun, bukan sekadar pemerataan. Pemerataan yang dimaksudkan dalam desentralisasi pendidikan, sekaligus berarti membuat pendidikan lebih kontekstual. Setiap warga negara, di manapun ia hidup di republik ini, berhak bukan saja mendapat pendidikan (asalkan pendidikan, tanpa menghiraukan kegunaannya), tetapi berhak mendapat pendidikan yang langsung dan khusus berkaitan dengan realitas dan kepentingan setiap individu.

Jalan terbaik untuk menciptakan pendidikan yang kontekstual, adalah dengan mendesentralisasikan pendidikan, sampai pada unit kegiatan pendidikan yang terkecil. Ini berarti dalam sebuah kabupaten pun, masih diperlukan pengakuan terhadap keberagaman setempat. Ini berarti, sebuah lagi karakteristik pendidikan yang terdesentrali- sasi ialah fleksibilitasnya, atau kelenturan dan keluwesannya.

Pada akhirnya, ukuran relevansi pendidikan ialah bila tiap orang merasakan faedah pendidikan di dalam mendukung kesejahteraan individu, lahir dan batin. Bila tiap manusia Indonesia mampu mengenyam pendidikan yang dirasakan relevan dan berguna dalam kehidupan, maka ia telah memiliki modal atau kekuatan dasar sebagai manusia terdidik. Ini merupakan kekuatan yang melandasi kekuatan masyarakat setempat, dan pada gilirannya menjadi kekuatan bangsa secara keseluruhan.

Pendidikan yang relevan, yang sekaligus berorientasi ke depan, yang kontekstual dan fleksibel, adalah konsep-konsep yang tidak menjadi ciri utama pendidikan masa lalu. Sebaliknya, sifat-sifat itu diharapkan menjadi ciri utama pendidikan yang direformasi. Namun, kita belum berpengalaman. Ini mengharuskan kita berpandangan lebih terbuka, untuk mencoba berbagai alternatif. Sambil berjalan, operasionalisasi konsep itu secara lebih sempurna masih tetap memerlukan perencanaan dan pengalaman yang panjang. Jangankan penerapannya, konsepnya pun harus terus-menerus dikembangkan. Tidak ada pihak yang boleh berkesimpulan, sekarang "tinggal urusan daerah". Ini tetap masalah nasional. Reformasi masih mengambang, masih harus dituntaskan.

* Prof Dr H Winarno Surakhmad MSc Ed, pendidik.

Berita Opini lainnya:

atas