back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

Surabaya Post
OPINI - Sabtu, 11 Maret 2000

Implikasi Perubahan IKIP Menjadi Universitas
oleh G. Wayan Seregeg

Akhir tahun 1999 memiliki nilai sejarah dalam perkembangan kelembagaan pendidikan tinggi di negeri kita. Alasannya, sembilan di antara sepuluh IKIP Negeri diubah menjadi universitas. Yang belum diubah adalah IKIP Menado. Peristiwa bersejarah ini disertai suasana euforia di wajah sivitas akademika IKIP seantero negeri ini. Kesan bahwa IKIP sebagai warga kelas dua dibanding universitas pun sirna.
Yang mengherankan, suasana euforia saja dirasakan belum cukup. Mengapa? Sebab, pengumuman Mendikbud untuk mengubah IKIP menjadi universitas disambut oleh IKIP sambil "memproklamasikan" program-program ambisius sebagai berikut. Pertama, pendidikan guru dikatakan tidak akan terganggu akibat perubahan bentuk dari IKIP menjadi universitas. Sebaliknya, mutu guru akan dijamin meningkat. Sebab, IKIP diubah menjadi universitas justru untuk meningkatkan mutu di samping untuk meningkatkan daya tarik mahasiswa.
Kedua, universitas mantan IKIP akan melaksanakan sistem pendidikan ganda, yaitu sistem yang mencetak dua gelar sarjana sekaligus, guru dan ilmuwan. Realistiskah ini? Dan, mampukah dia melaksanakan misi dan visi ini?
Latar belakang perubahan IKIP menjadi universitas masih menimbulkan tanda tanya. Di antaranya, apakah perubahan kelembagaan ini buah dari keinginan IKIP sendiri, atau perubahan kelembagaan ini memang telah diatur dalam skenario suprastruktur, GBHN? Pertanyaan ini wajar saja sebab sambutan Mendikbud Juwono Sudarsono yang mengiringi Keputusan Presiden 4 Agustus 1999 mengatakan bahwa dalam jangka waktu 2-3 tahun mendatang diharapkan semua IKIP sudah menjadi universitas.
Ini menyusul enam IKIP yang telah berubah statusnya menjadi universitas. Dari sambutan Mendikbud ini saya berkeyakinan bahwa perubahan kelembagaan IKIP menjadi universitas adalah bagian integral dari skenario nasional. Alasannya?
Pertama, tidak semua IKIP ingin dan bersedia diubah menjadi universitas. Ada IKIP yang bersikukuh ingin bertahan sebagai lembaga pendidikan tinggi keguruan. Namun, apa daya. Baginya tidak ada pilihan lain. Syukurlah keinginannya masih bisa dinegosiasikan, sehingga terbentuklah lembaga "poros tengah".
Dia bersedia diubah menjadi universitas asalkan masih diizinkan tetap mengemban misi kependidikan dan dia dapat menerima perluasan mandat ilmu murni. Akhirnya, dia (IKIP) diubah menjadi Universitas Pendidikan.
Kedua, dalam rapat kerja nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 21 Mei 1995 Mendikbud Wardiman Djojonegoro menyampaikan sambutan pengarahan yang meminta agar jajaran Depdikbud memperhatikan program-program yang diprioritaskan departemen. Di antaranya adalah pendidikan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Menurutnya, data pada awal 1994 menunjukkan bahwa di antara 2,2 juta mahasiswa PTN dan PTS di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, hanya 14% di bidang teknik dan 19% di bidang eksakta. Sisanya (67%) di bidang IPS dan humaniora. Pada kurun waktu 25 tahun mendatang, jumlah absolut mahasiswa di bidang teknik akan ditingkatkan menjadi 7,5 kali lipat dari jumlah absolut mahasiswa di bidang yang sama pada awal tahun 1994.
Sedangkan jumlah mahasiswa di bidang eksakta (ilmu murni) akan ditingkatkan menjadi lebih dari 3 kali. Peningkatan jumlah mahasiswa di bidang teknik dan eksakta tersebut tidak akan cukup ditampung pada perguruan tinggi negeri yang lebih banyak membina bidang-bidang teknik dan eksakta, baik dalam bentuk universitas, institut maupun politeknik. Selain itu, bisa juga dimungkinkan beberapa IKIP/STKIP yang kuat di bidang teknik dan eksaktanya diubah menjadi universitas atau politeknik.

Sejak 1980-an

Tampaknya, landasan skenario nasional ini telah ditanamkan jauh hari sebelum kebijakan Mendikbud diluncurkan. Misalnya, tahun 1980-an Mendikbud menghentikan sementara program pascasarjana teknik dan eksakta IKIP. Sebagai penggantinya, sarjana S1 IKIP diwajibkan melanjutkan studi ke pascasarjana di universitas ilmu murni. Oleh karena itu, menjelang akhir tahun 1999 sebagian besar IKIP telah memiliki lebih dari 70% dosen yang bergelar pascasarjana (S2 dan S3) ilmu murni.
Bagaimana dengan dosen senior IKIP, yang bergelar pascasarjana (S2 dan S3) kependidikan? Mereka, yang lulus seleksi, dikirim ke universitas-universitas di Eropa untuk mengikuti program kepelatihan ilmu dasar, ilmu murni. Dengan demikian, IKIP menjadi siap untuk diubah menjadi universitas.
What's next? Apakah perubahan nama dari IKIP menjadi universitas dengan sendirinya akan diikuti oleh perubahan profesionalisme? Pertanyaan yang sama juga bisa dialamatkan ke perubahan sikap mental. Apakah perubahan nama lembaga dengan sendirinya akan diikuti oleh perubahan sikap mental guru menjadi sikap mental ilmuwan para dosen IKIP?
Inilah beberapa permasalahan mendasar yang menjadi kendala utama terhadap pengembangan profesionalisme dosen universitas mantan IKIP. Semangat dan perjuangan yang tidak mengenal lelah untuk mengubah IKIP menjadi universitas harus dilandasi program yang konsepsional. Sebab, sikap mental dan profesionalisme tidak dengan sendirinya akan mengikuti perubahan nama kelembagaan. Alasannya?
Sikap mental laksana batu karang yang tetap kukuh menghadang gelombang perubahan yang datang secara tiba-tiba. Perlu diingat bahwa sikap mental adalah produk dari pengalaman profesional. Oleh karena itu program pengembangan profesionalisme dosen universitas mantan IKIP harus diberikan prioritas utama. Kapan seorang dosen dikatakan profesional? Jawabnya sebagai berikut.

  • Pertama, bila seorang dosen membina laboratorium sendiri, dalam arti fungsional.
  • Kedua, secara konsisten dia memperdalam ilmunya melalui penelitian.
  • Ketiga, secara berkala dia mengkomunikasikan hasil penelitiannya dalam berbagai bentuk temu ilmiah misalnya seminar, simposium, dan diskusi panel.
  • Keempat, secara rutin mempublikasikan hasil penelitiannya dalam jurnal ilmiah yang sebarannya luas.
  • Kelima, dia memiliki desain penelitian induk (master research design) yang setiap saat bisa dijadikan sumber utama skripsi S1, tesis S2, dan disertasi S3 mahasiswa.

Akuntabilitas Dosen

Kendala lain yang menghadang pengembangan profesionalisme dosen universitas mantan IKIP adalah kurang baiknya akuntabilitas dosen IKIP. Dosen dikatakan akuntabel bila dia mengembangkan profesionalismenya, termasuk mengajar, yang dia pelajari di pascasarjana. Sebaliknya, seorang dosen dikatakan tidak akuntabel bila, misalnya, dia seorang doktor (S3) genetika tetapi dalam kenyataan dia mengajarkan mata kuliah evaluasi pendidikan, atau taksonomi tumbuhan.
Kalau toh dalam kenyataannya ini terjadi, salah satu sebabnya datang dari sifat sikap mental yang sulit berubah. Diyakini, dosen-dosen universitas mantan IKIP cenderung kembali mengajarkan mata kuliah yang dia ajarkan sebelum dia melanjutkan studi pascasarjana ilmu murni, yang spesialisasinya berbeda dengan yang dia ajarkan di strata satu (S1).
Kecenderungan "pulang kandang" bisa dimaklumi. Sebab, adakah dosen yang bersedia mengubah haluan, mengubah profesi, setelah 20-30 tahun mengajarkan mata kuliah tertentu?
Apa arti semuanya ini? Perubahan kelembagaan dari IKIP menjadi universitas merupakan eksperimen pendidikan tinggi. Eksperimen nasional ini tidak kalah krusialnya dibandingkan dengan eksperimen-eksperimen sebelumnya. Misalnya, model pembelajaran Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan belajar dengan modul pada Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP).
Berhasil-tidaknya CBSA dan PPSP diadopsi di Indonesia sering diperdebatkan. Diharapkan, Mendiknas tidak bersikap taken for granted terhadap perubahan IKIP menjadi universitas. Bila perlu, tentu untuk lebih berhasil, Mendiknas menyediakan juklak dan juknis sebagai pedoman untuk mengelola perubahan kelembagaan ini. Kalau tidak, dikhawatirkan kemelut adopsi CBSA dan PPSP ke dalam sistem pendidikan nasional akan terulang pada subsistem pendidikan tinggi.


Penulis adalah guru besar pendidikan biologi Universitas Negeri Surabaya dan anggota Komisi Khusus Publikasi Ilmiah, MPPT, Dikti.

atas