back | |
Serambi DEPAN |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Minggu 9 Mei 1999 |
Kompas |
BELUM lama ini seorang ibu dari mahasiswa jurusan seni grafis universitas termasyhur di negeri kita berkeluh kesah pada pembaca harian Kompas. Ny Toeti Soedkidyatmoko dari Pondok Aren Tangerang khawatir akan masa depan anaknya. Dia mengira pendidikan formal di institut itu akan otomatis melahirkan seniman-seniman andal. Tetapi, mengapa ada seorang perupa-penyair yang pernah mengenyam pendidikan di institut itu mengusulkan supaya keluar saja dari sekolah termasyhur itu? Pernyataan itu telah menyebabkan anaknya si mahasiswa seni menjadi jenuh, stres, dan bingung. Bahkan sejak itu si anak segan pulang ke rumah.
Secara terus terang dan lugas, ibu itu bertutur tentang keadaan nelangsa pendidikan anaknya. Tekanan batin yang dirasakan sang anak telah membuat ibu itu betul-betul merasa resah. Setelah menamatkan SMU, satu-satunya pilihan belajar anaknya hanyalah Fakultas Seni Rupa & Desain (FSRD) di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ibu itu bersyukur anaknya diterima di jurusan seni murni (Studio Seni Grafis). Namun, setelah membaca Kompas (8/4 dan 9/4), komentar kepala studionya, Tisna Sanjaya, yang juga seorang seniman grafis terkenal, "sangat membingungkan". Anaknya berharap polemik di koran bisa langsung ditanggapi, baik oleh fakultas itu dan instansi pemerintah terkait (Depdikbud).
Apalagi, ibu itu menyatakan, usul perupa-penyair Arahmaiani agar mahasiswa (seni grafis) memperjelas sikapnya, terasa sulit dimengerti. "Kalau perlu keluar dari ITB," tukas si perupa-penyair seperti dikutip wartawan Kompas. Lalu ibu itu menulis: "Hal ini sungguh meresahkan orangtua dan tampaknya seni grafis ITB tidak bisa diselamatkan lagi."
Institusi pendidikan seni rupa ITB telah "ketinggalan zaman", sebab tak mampu mengikuti perubahan paradigma dunia seni modern dewasa ini. Belum lagi jika kita merujuk pada kelemahan sistem pengajaran, kurikulum yang "rahasia", yang hanya boleh diketahui dan diubah dewan konsorsium. Jika sistem pendidikan tak diubah menjadi terbuka-di mana proses belajar-mengajar dikembangkan bersama-sama baik oleh pengajar maupun mahasiswa, tetapi juga peranan siapa pun di luar, lebih-lebih para lulusannya-maka ketertutupan itu justru akan membenamkan jiwa pendidikan ke dalam kebekuan.
Kurikulum tak boleh dibakukan menjadi kaku, sehingga tak mampu mengikutsertakan mahasiswa atau peserta didik untuk memperdalam bidangnya dalam semangat belajar yang datang dari dalam batin si mahasiswa. Kurikulum yang kaku akan melumpuhkan dinamika pendidikan yang dimaksudkannya sendiri. Kurikulum yang terbuka tentu akan mengkondisikan baik mahasiswa maupun pengajar untuk bekerja keras demi pendidikan yang pusatnya adalah manusia si seniman. Pengajar-pengajar tak bisa seenaknya, atau malah lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja sampingan demi menutup kebutuhan uang. Sedang mahasiswa juga harus lebih terlibat, berlatih terus-menerus dan kreatif menemukan jati dirinya sebagai calon seniman.
Namun, apa yang terjadi selama ini justru sebaliknya. Kenyataan kemandekan pendidikan kini harus diterima, sekaligus dilihat sebagai sebuah tantangan yang akan mendorong ke arah perbaikan dan kemajuan di masa mendatang.
Keadaan FSRD ITB masih jauh panggang dari api. Fokus dan momentum pendidikan di sana belum lagi dapat ditemukan, karena belum diperjuangkan perbaikan apa pun. Tentu saja hal ini sangat dirasakan generasi muda mahasiswa sekarang. Mereka adalah manusia muda yang peka pada keadaan lingkungan. Tentu saja, ini adalah petunjuk positif bagi mahasiswa untuk terus-menerus berusaha menemukan jati dirinya sendiri. Memang, anak muda harus demikian, apalagi mahasiswa. Mahasiswa fakultas seni yang tak kritis dan kreatif tak usah diharapkan menjadi seniman-seniman andal. Kepandaian dan kecerdasan harus datang dan bersumber dari jiwa yang dalam.
Sementara itu mahasiswa dengan jujur dan terbuka telah mengeluhkan rasa bingung dan frustrasinya. Dikatakan, setelah mendapatkan pengetahuan dan keterampilan teknis dalam waktu empat tahun (yang sebetulnya bisa dirampungkan dalam dua semester) akhirnya mereka kembali kepada pertanyaan dasar: "Akan 'dijadikan' apakah aku, tukang cetak, seniman, atau sekadar mahasiswa belaka?"
Masih ada dua aspek pendidikan seni yang perlu ditinjau sebagai prasyarat dasar dan tantangan yang semestinya ditanggapi. Pertama, dalam proses pendidikan mahasiswa sebenarnya masih harus menghadapi tantangan pendidikan dalam mencapai kesenimanannya, yaitu masalah pengembangan kreativitas dan gagasan dalam seni. Kedua, tantangan yang berasal dari dinamika kehidupan masa kini seiring proses globalisasi sistem ekonomi yang tidak terhindarkan di mana tranformasi nilai menjadi keharusan.
Yang terakhir ini merupakan hal mendesak yang harus dipahami sesegera mungkin, sebab perubahan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik lokal maupun global berlangsung begitu pesat. Jika tak segera dihadapi dengan sikap terbuka, maka seniman kita akan sangat ketinggalan zaman dan celakanya malah terjerumus dalam sikap tertutup dan konservatif dalam ghetto-ghetto kelompok kesenian yang mandek.
Jika prasyarat itu dapat dipenuhi, sebenarnya sudah cukup menjadi bekal dasar bagi mahasiswa untuk melanjutkan pencariannya dalam kesenian. Karena, pada tahap berikutnya, keterbukaan yang dikembangkan dalam pendidikan dasar akan membantu menghadapi tantangan selanjutnya yang tak kalah mendesak.
Sayang, kedua hal itu sampai sekarang tak pernah dibereskan. Sikap tertutup dan mandek itu diperparah dengan kenyataan adanya kendala teknologi dalam seni grafis murni karena kecanggihan dan mahal harganya, ditambah kelangkaan studio. Buntutnya, gambaran kemandekan pendidikan seni rupa tak terhindarkan lagi.
Begitulah keadaan yang sebenarnya, menyedihkan, kendati bukan akhir dari segalanya. Inilah gambar buram atau 'konstruksi rahasia' dari sistem pendidikan seni rupa (fine art) kita sebagai cerminan keadaan sosial, politik, dan ekonomi yang tidak kurang buramnya dan harus segera didekonstruksi sejalan dengan momentum reformasi.
Menarik untuk disimak, semua perupa itu pernah mengenyam pendidikan tinggi seni rupa (sekalipun tidak semua menyelesaikan studi formalnya). Dan boleh dikatakan, semua perupa adalah "pemberontak" yang resah, suka mengritik, dan menantang kemapanan atau mempertanyakan sistem pendidikan seni rupa semasa mereka masih mahasiswa. Mereka menyampaikan sikap berontak itu baik secara frontal, dengan membuat pernyataan ataupun diungkapkan lewat karya.
Mungkin kesaksian dan kritik mereka atas ketidakjelasan sistem pendidikan seni rupa selama ini belum memberikan dampak dan manfaat. Namun sikap kritis dan antikemapanan itu telah mengantarkan mereka untuk mengibarkan "bendera pemberontakan"-nya di berbagai penjuru benua dan menegaskan keberadaan seniman dan seni kontemporer Indonesia.
Nah, mengapa berangkat dari jiwa sekelompok seniman ini, tak kita lanjutkan jati diri seni yang sebenarnya? Setidaknya semangat mereka dapat menjadi harapan yang menguatkan untuk melakukan pembaruan seni di era reformasi ini, sehingga para orangtua calon seniman dapat memandang keresahan anak mereka dengan wawasan lebih luas, sekaligus dapat mendorong mereka untuk lebih berani menghadapi tantangan ketidakjelasan dunia seni.
Entah ada berapa ribu orangtua yang kini cemas akan nasib pendidikan anak-anaknya dan berapa ribu mahasiswa seni murni yang stres dan tidak jelas masa depannya. Tidak berarti keadaan sudah final dan tidak bisa diselamatkan. Sebab, asal dipahami ujung pangkal dan duduk perkaranya, keresahan di dunia pendidikan tidak selalu membawa petaka, tetapi bisa menjadi pertanda yang menggugah dan mengispirasikan perbaikan.