back
Serambi MADURA https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Virtual Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

OLAHRAGA
Selasa, 20 Juni 2000
Surabaya Post


Refleksi PON XV 2000 Jatim:
Perhelatan Nasional Karapan Sapi

Surabaya, Surabaya Post
DARI semula sebagai sarana tradisional untuk membajak tanah becek di sawah, sepasang sapi Madura yang energik itu bisa tampil elite di stadion sebagai cabang olahraga. Bahkan, dengan bumbu tari dan gamelannya, olahraga rakyat ini berubah menjadi karya seni dan hiburan. Bila orang piawai mengemasnya, bisa mendatangkan profit.
Dipilihnya 'karapan sapi' Madura sebagai logo PON XV/2000 Jatim ini, melambangkan sebuah even olahraga yang dimenej menjadi sebuah industri olahraga dan budaya. Dari peristiwa yang semula bertujuan utama nggayuh prestasi, termodivikasi untuk mengemban misi budaya, pariwisata, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Bahkan, ketika lomba karapan sapi diselenggarakan pada setiap event nasional antaretnis dan wilayah, perhelatan karapan sapi menjadi wahana silaturahim untuk merekatkan jiwa bangsa. Pelaksanaannya pun menjadi sebuah kemasan budaya yang serba glamor lengkap dengan arak-arakan massa.
Dalam skala lebih besar, penyelenggaraan PON XV yang dibuka Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri di Stadion Gelora Delta Sidoarjo Senin (19/6) sore kemarin, mirip perjalanan perhelatan karapan sapi dari waktu ke waktu.
PON bukanlah semata-mata sebagai even pekan olahraga nasional, namun juga pekan budaya, politik, ekonomi, dan pariwisata. Karapan sapi pun, terpadu dengan nuansa merak ngigel sebagai maskot PON XV, jenis burung hutan yang beratribut serba glamor.
Bahkan bulu merak pun ikut memarakkan pembukaan PON XV lewat dadak merak pada puluhan reog yang kiprah di rumput hijau stadion. Ngigel-nya merak, menggenapi kemeriahan pelepasan 3.000 balon ke udara serta hingar-bingarnya penampilan spektakuler pesta kembang api dan laser di langit Sidoarjo.
Ketika misi tunggal PON XV sebagai PON prestasi mengemban banyak muatan, penyelenggaraan PON XV 2000 mengalami perubahan. Menurut Bagong Kussudiarjo, PON XV yang diikuti kontingen dari 26 propinsi itu juga mengemban misi luhur sebagai wahana perekat bangsa di tengah kondisi bangsa dilanda disintergasi nasional.
Perubahan misi ini, membawa konsekuensi penataan ulang strategi PON XV sebagai "perhelatan nasional" dan manajemennya. Termasuk merumuskan mekanisme kontrol dan modivikasi parameter untuk menilainya.
Sebagai sebuah perhelatan, pesta karapan sapi atau pesta olahraga nasional membutuhkan keguyupan. Di sinilah perlunya toleransi, tenggang rasa, jiwa besar, dan kearifan dan kompromi dari antarpelaku dan semua pendukungnya dalam nyengkuyung suksesnya sebuah perhelatan besar.
Demi keguyupan nasional, panitia seksi upacara pun berjiwa besar yang mengizinkan kontingen Irian Jaya yang meminta menggunakan nama "Papua" dalam devile kontingen. Beratnya gawe nasional di tengah krisis ekonomi ini, terasa ringan karena sama-sama dijinjing lewat lembaga "sinoman" swadaya masyarakat.
Mobilisasi semua kekuatan dari segala lapisan inilah yang dilakukan Ketua Umum PB PON XV H Imam Utomo S., termasuk merangkul beberapa mitra kerjanya seperti penggusaha Jatim, PT Lasindo, para bupati dan walikota, masyarakat, WTS, PKL, dan pawang hujan.
Jika beberapa pengusaha mampu menyumbang PON sampai miliaran rupiah demi suksesnya PON XV, warga kampung-kampung dan RW-RT ramai-ramai memasang umbul-umbul dan spanduk PON di pintu jalan-jalan dan pintu gang. Anggota sanggar, pelajar dan mahasiswa, rela berpanas diri untuk mengikuti paduan suara atau tari kolosal pembukaan PON. Semuanya butuh pengorbanan.
Pemilik warung liar di Telaga Ngipik Gresik, rela gubuknya dibakar agar tak mengotori "muka". Bahkan, para WTS jalanan di Surabaya dan Sidoarjo, rela "sembunyi" selama PON berlangsung. Gepeng, pengamen, dan anak jalanan, rela amit mundur menempati rumah singgah.
Semua itu, wujud peran masyarakat yang bergotong-royong sinoman menyukseskan perhelatan nasional. Semua mereka lakukan dengan ikhlas tanpa peduli namanya terukir pada space dinding marmer di Monumen Ponti atau tidak.

Taktis Politis
Ketika PON XV mengemban misi tunggal sebagai PON prestasi, tolok ukurnya jelas dan konkret. Parameternya, berapa jumlah medali yang direbut, berapa rekor nasional dan Olimpiade. Tetapi, ketika PON XV berkembang dengan mengemban misi lainnya, parameternya menjadi meluas dan begitu abstrak.
Orang menjadi sulit menilai sebuah kesuksesan pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat (PER) misalnya. Abstraksi itu, juga berlaku pada aspek lain, seperti misi budaya dan pariwisata. Ini sama abstraknya dengan parameter untuk menilai sebuah kepuasan seseorang dalam menikmati sesuatu. Apalagi untuk muatan wahana perekat, abstraksinya juga sangat taktis dan politis.
Untuk masalah-masalah politis, uang bukan menjadi barometer. Sehingga, bisa saja terjadi pengeluaran tak terduga, penyimpangan dana taktis, dana partisipasi, dan seterusnya. Bila dalam penyelenggaraan PON XV terjadi penyimpangan di sana-sini, orang bisa memakluminya.
Untuk sebuah komitmen terhadap usaha merekatkan persatuan bangsa, bisa saja orang rela mempertaruhkan segalanya. Uang, jiwa, dan raganya. Itulah sisi lain dari abstraksi PON XV 2000.
Untuk semua itu, bagi orang berduit, beli karcis pembukaan kelas VVIP seharga Rp 5 juta per lembar, tiada artinya. Namun, bagi yang tak menyukainya, disuruh nonton gratis pun bisa membuat dia ngedumel.
Secara ekonomi, merawat sapi karapan dengan minuman bir dan telur madu, tak sebanding dengan hadiahnya yang cuma Rp 5 juta masih tekor. Untuk sebuah kepuasan, kebanggaan, dan kehormatan, panitia tak merasa eman menyewa miliaran rupiah pada Mata Elang Production untuk pembukaan PON.
Demi kemegahan pula, tata upacara pembukaan dan penutupan PON XV Sidoarjo ini dikombinasikan dengan nomor-nomor hiburan bertabur bintang. Semua berlangsung marak, megah, glamor dan spektakuler.
Meski masih menjadi polemik, upacara formal yang dikawinkan dengan seni hiburan ini merupakan sebuah hasil modifikasi dari sebuah industri olahraga sebagai sebuah entertainment.
Suasana bangsa yang sedang dilanda prihatin, kata Guruh Soekarnoputro, tak harus membuat penyelenggaraan PON XV 2000 di Sidoarjo ini diwarnai kedukaan. Justru dalam situasi ekonomi dan politik yang dilanda krisis ini, katanya, kita ingin menunjukkan bahwa kita bisa dan mampu menyelenggarakan even olahraga dan budaya secara nasional. Bahkan berlangsung megah dan serba glamor. (R.M. Yunani Prawiranegara)