back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

Jawa Pos
BUDAYA - Minggu, 03 Jaanuari 1999

Sepercik Puisi KH As'ad Syamsul Arifin
Oleh D. Zawawi Imron

Awal November 1996, saya diundang untuk mengisi dialog di Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo. Pengasuh pesantren, KHR Fawaid As'ad, memberi saya sebuah buku sastra karangan ayahnya, KHR As'ad Syamsul Arifin. Judul kitab itu Syi'ir Madura, ditulis dalam bahasa Madura huruf Arab.
Kiai As'ad adalah seorang ulama sekaligus patriot bangsa. Salah satu gebrakannya, bersama Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), KH Ahmad Sidiq, dan beberapa tokoh lainnya, dengan bertempat di Pesantren Sukorejo pada 1984 ialah mengembalikan Nahdlatul Ulama (NU) ke "Khitthah 1926". Khitthah itu mencanangkan NU tidak lagi berada dalam fusi empat partai Islam yang berbentuk Partai Persatuan Pembangunan.
Selain itu, Kiai As'ad pernah menjadi anggota Konstituante pada 1950-an. Dengan demikian, selain ulama, ia seorang politikus yang disegani dan dekat dengan Bung Karno. Kepeduliannya kepada kehidupan sosial umat terbukti dengan keterbukaannya untuk menerima nilai-nilai baru yang dianggapnya positif. Meskipun pesantrennya diberi label "salafiyah", cara kiai membaca gejala dan mendeteksi keadaan sudah cukup maju. Adopsi terhadap pendidikan modern dengan diadakannya pendidikan kejuruan dan perguruan tinggi di pesantrennya telah dirintisnya sebelum dia wafat. Hal itu menunjukkan atensinya yang kuat untuk membentuk generasi penerus yang berkualitas pada zaman mendatang.
Waktu senggangnya di sela-sela mengurusi umat dan pesantrennya masih disempatkannya melihat kehidupan dari sudut pandang afektif. Itu dibuktikan dengan puisi-puisi yang telah ditulisnya.
Sastra pesantren dulunya merupakan perpanjangan dari sastra Islam yang pada asalnya menggunakan bahasa Arab. Tak heran kalau bentuk puisi Kiai As'ad yang berbahasa Madura masih dalam bentuk konvensional seperti puisi penyair-penyair Islam sebelumnya.
Salah satu keuntungan menulis dengan pola konvensional ialah tersedianya ragam lagu yang sudah menjadi irama keseharian dalam senandung khas masyarakat yang pernah meneguk ilmu di pesantren. Sedangkan dalam masyarakat Madura tradisional, denyut pesantren merupakan bagian utama dari denyut jantungnya. Pada kenyataannya, syi'ir (puisi-puisi pesantren) yang ditulis generasi sesudah Kiai As'ad, misalnya, oleh KH Abdul Madjid Tamim dari Pamekasan, sampai sekarang masih disenandungkan putra-putri Madura yang tinggal di pedesaan. Irama itu terasa sangat padu dengan desir angin agraris yang mengusik-usik pucuk-pucul siwalan, dengan langkah kuda beban yang sedang mendaki punggung bukit kapur, serta dengan suasana hati penyabit rumput di sudut-sudut ladang pada pertengahan kemarau. Bahkan, sejak 1970-an ketika lagu-lagu mulai dikasetkan, syi'ir-syi'ir pesantren itu banyak juga yang masuk dapur rekaman dan laris di pasaran. Salah seorang pelantun syi'ir itu ialah R. Moh. Aminollah.
Syi'ir atau puisi Kiai As'ad banyak bertema tata krama kehidupan (akhlaqul karimah) yang mengimbau kesejukan dan kedamaian hidup dengan landasan nilai-nilai profetik. Artinya, kalau mau hidup damai sejahtera, bertauladanlah kepada peri hidup Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, ada hal yang cukup mengejutkan apabila merenungkan beberapa bait puisinya yang seperti menyoroti secara tajam situasi menjelang sampai era reformasi yang sedang bergulir ini. Padahal, puisi itu ditulis Kiai As'ad Syamsul Arifin lebih dari 30 tahun yang lalu. Kita perhatikan bait di bawah ini:

    Zaman samangken raja fitnana
    Rakyat sadaja padha sossana
    Politik tenggi sulit jalanna
    Sanget rumitta raja cobana

Terjemahan bebasnya: Zaman sekarang besarlah fitnah/Seluruh rakyat tertimpa susah/Politik elite melangkah sulit/Besar cobaan rumit berkelit/. Gambaran situasi seperti itu, tampaknya, terasa sangat aktual bila memperhatikan situasi Indonesia akhir-akhir ini. Pergumulan elite politik yang disorot dalam puisi itu, agaknya, tepat sekali dikaitkan dengan fitnah yang berupa kerusuhan dan kekerasan, hujat-menghujat, dan lain-lain. Sekaligus dengan ketakutan dan keprihatinan sebagian besar masyarakat kita. Dalam bait tersebut Kiai As'ad bukan hanya menggambarkan situasi, lebih dari itu, memperingatkan dengan penuh kesungguhan.
Bahkan, pada bait selanjutnya ia memberikan sejenis tanda bahaya:

    Dhalem bahaya sala laguna
    Dha' ekonomi sanget jatuna
    Tambana ra'yat sanget bannya'na
    Jumlana ningkat korang rizqina


Terjemahan bebasnya: Dalam bahaya oleh salah tingkah/Ekonomi pun terpuruk parah/Semakin banyak penduduk negeri/Jumlahnya meningkat kurang rezeki/. Akibat rumitnya situasi dan pergumulan politik itu, krisis ekonomi menjadi penyakit yang sulit disembuhkan. Di samping itu, pertambahan penduduk dengan "rezeki kurang" benar-benar menjadi kenyataan sehari-hari dengan sulitnya sembilan bahan pokok (sembako) yang membuat semakin banyak orang miskin dengan penderitaan yang hampir sempurna.
Menghadapi hal seperti itu, Kiai As'ad bukannya tidak mempunyai advis. Solusi terhadap persoalan yang rumit itu ia berikan dalam bait di bawah ini:

    Wajib nambai hasel bumena
    Wajib majuna dagang bahanna
    Sossana kaula tadha' elmona
    Nyo'on dha' Allah bellas morana


Terjemahan bebasnya: Wajib tingkatkan hasil bumi/Wajib tingkatkan ekonomi/Repotnya ilmu minus sekali/Ya Allah, murahilah kami/. Dalam bait di atas ada beberapa cara yang diadviskan Pak Kiai untuk mengatasi krisis.
Yang pertama, meningkatkan hasil bumi. Bila dirujuk dengan Alquran, terutama dengan penjelasan Allah SWT yang berbunyi: Huwa ansya-akum minal ardli wasta'marakum fiihaa (Surat Hud: 61), Ia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi, dan kamu punya tugas memakmurkan bumi.
Jelas bahwa memakmurkan bumi "termasuk tanah air" adalah perintah Allah. Etos itu tak lain adalah menyelaraskan diri "kemampuan daya insani" dengan alam, serta dengan irama ajaran Allah. Termasuk juga upaya teknologi pertanian, perkebunan, dan pelestarian hutan merupakan upaya menyelamatkan manusia, dalam tugas manusia sebagai "khalifah".
Yang kedua, meningkatkan perniagaan dan perekonomian sehingga rezeki Allah bisa dinikmati seluruh rakyat. Berarti, peningkatan ekonomi tanpa melihat kepentingan masyarakat bawah tidak akan menyelesaikan masalah.
Yang ketiga, menyadari kurangnya "ilmu pengetahuan/teknologi", agar ada usaha-usaha memajukan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan bangsa sesuai dengan tuntutan zaman. Yang dimaksud, tentunya, harus mempertimbangkan kurikulum yang membuat sekolah hanya sejenis "pabrik pengangguran".
Yang keempat, manusia memerlukan "kesadaran tertinggi", yaitu kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dengan takwa, manusia akan mampu menciptakan kehidupan damai sentosa di bawah naungan belas kasih Allah, tanpa keserakahan, dan bebas dari KKN.
Itulah sepercik hikmah, hasil membaca tiga bait puisi Kiai As'ad Syamsul Arifin, yang cukup membumi dan aktual buat zaman sekarang. Tidak salah kalau Cynthia Ozick, seorang sastrawan Amerika, berucap bahwa seorang penulis mau tidak mau harus mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan. Kiai As’ad telah berbuat untuk peradaban kita, dengan sajak-sajaknya yang tajam. Kurang dan lebihnya, Wallahu a'lam. ###

atas