RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ..... TAHUN .....
TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN BAHAYA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
- bahwa guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara harus tetap terpelihara serta berjalan dengan
aman dan tertib;
- bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan negara untuk tetap tegaknya
kedaulatan negara, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa, serta
utuhnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat timbul berbagai
ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dengan intensitas
yang tinggi, sehingga diperlukan penanggulangan keadaan bahaya dengan
penindakan secara dini, cepat, tepat, terpadu, tuntas, aman, dan
profesional;
- bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang berdasar
atas hukum, oleh karena itu penanggulangan keadaan bahaya sebagai upaya
untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keselamatan dan
keamanan negara yang pada hakikatnya merupakan perlindungan terhadap
keselamatan dan keamanan rakyat harus berdasarkan ketentuan hukum
nasional dan hukum internasional;
- bahwa Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi
bertanggung jawab terhadap penanggulangan keadaan bahaya, oleh karena itu
berwenang mengambil tindakan untuk menyelamatkan dan mengamankan negara;
- bahwa Undang-undang Nomor 23 Prp. Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dan
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1960 tentang Permintaan dan
Pelaksanaan Bantuan Militer yang selama ini menjadi dasar hukum
penanggulangan ancaman pertahanan keamanan negara sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan hukum dan ketatanegaraan sehingga perlu dicabut dan
diganti;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c,
d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Penanggulangan Keadaan
Bahaya;
Mengingat:
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 20 ayat (1), dan
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
- Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3368);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN BAHAYA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
- Penanggulangan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mencegah, menghadapi,
atau mengatasi keadaan bahaya.
- Keadaan bahaya adalah suatu keadaan terganggunya keamanan atau ketertiban
umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan, pemberontakan
bersenjata, atau keinginan memisahkan diri dari wilayah negara dengan
kekerasan atau timbul ancaman perang atau terjadi perang yang tidak dapat
diatasi oleh aparatur negara secara biasa.
- Ancaman adalah usaha yang dilaksanakan secara konsepsional melalui
kegiatan sosial, politik, ekonomi, atau budaya yang membahayakan
kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, serta keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Penyelenggaraan Penanggulangan Keadaan Bahaya adalah bagian dari upaya
pertahanan keamanan negara yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan
negara yang dilakukan melalui kegiatan penanggulangan terhadap setiap
ancaman, baik dari dalam maupun dari luar negeri secara dini, cepat,
tepat, terpadu, tuntas, dan aman serta profesional yang ditujukan bagi
terpeliharanya kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, serta
terjaminnya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi yang karena jabatannya merangkap
sebagai Wakil Pemeritah Pusat sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan.
- Panglima adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN UPAYA PENANGGULANGAN
Pasal 2
Penanggulangan keadaan bahaya berasas pada:
- asas kepastian hukum;
- asas pengayoman;
- asas keterbukaan;
- asas keterpaduan;
- asas proporsionalitas; dan
- asas profesionalitas.
Pasal 3
Tujuan penanggulangan keadaan bahaya adalah segera pulihnya:
- fungsi pemerintahan;
- kegiatan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi;
- persatuan dan kesatuan bangsa dan terjaminnya keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 4
Upaya penanggulangan keadaan bahaya tetap memperhatikan dan memberlakukan
prinsip-prinsip hukum internasional dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia.
Pasal 5
Upaya penanggulangan keadaan bahaya dapat dilakukan di sebagian atau di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6
Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi wewenang dan
tanggung jawab Presiden.
Pasal 7
- Presiden menyatakan atau mencabut pernyataan negara dalam keadaan bahaya
setelah berkonsultasi atau mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
- Keputusan yang menyatakan atau mencabut sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) mulai berlaku pada hari diumumkan, kecuali ditentukan lain dalam
keputusan tersebut.
Pasal 8
Keadaan bahaya dapat dibedakan menjadi:
- keadaan khusus;
- keadaan darurat;
- keadaan perang.
BAB III
KEADAAN KHUSUS
Pasal 9
- Dalam hal keadaan negara terancam bahaya dan penanganan oleh aparatur
negara secara biasa dinilai tidak dapat mengatasinya, Presiden
menyatakan Keadaan Khusus.
- Keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan oleh Gubernur
setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada
Presiden tentang terjadinya kerusuhan yang disertai dengan tindak
kekerasan dan/atau terjadinya suatu keadaan yang berakibat:
- pelaksanaan fungsi pemerintahan tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya; dan/atau
- kegiatan kehidupan perekonomian dan kehidupan masyarakat sangat
terganggu.
Pasal 10
- Keadaan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) berlaku
paling lama 3 (tiga) bulan.
- Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila diperlukan
dapat diperpanjang oleh Presiden paling lama 3 (tiga) bulan atas
permintaan Gubernur dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 11
- Dalam melaksanakan Penanggulangan Keadaan Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1), Gubernur berwenang melakukan tindakan:
- pelarangan sementara orang memasuki atau meninggalkan kawasan
tertentu;
- penempatan sementara orang di luar kawasan tempat tinggalnya;
- pembatasan dan/atau penutupan kawasan tertentu;
- pembatasan orang berada di luar rumah.
- Kewenangan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 12
- Dalam penanggulangan Keadaan Khusus, Gubernur dibantu oleh Tim
Pengendali yang terdiri atas:
- Kepala Kepolisian Daerah;
- Komandan Satuan Tentara Nasional Indonesia tertinggi di daerah;
- Kepala Kejaksaan Tinggi;
- Unsur Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
- Unsur masyarakat.
- Tim Pengendali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh
Gubernur.
Pasal 13
Pelarangan sementara seseorang memasuki atau meninggalkan suatu wilayah
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, hanya dapat
dilakukan terhadap seseorang yang menurut bukti permulaan yang cukup,
melakukan perbuatan yang dapat mengganggu, menghalangi, atau menghambat
upaya penanggulangan keadaan khusus.
Pasal 14
Penempatan sementara orang di luar wilayah tempat tinggalnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, dilakukan untuk melindungi
keselamatan dan keamanan warga.
Pasal 15
Pembatasan dan/atau penutupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) huruf c dan pembatasan orang berada di luar rumah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d hanya dapat dilakukan di wilayah
dalam keadaan khusus.
Pasal 16
- Dalam hal Keadaan Khusus telah dapat ditanggulangi, berdasarkan laporan
Gubernur dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden
menyatakan pencabutan Keadaan Khusus.
- Dalam hal keadaan khusus dinyatakan dicabut, semua kewenangan Gubernur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan tidak berlaku.
BAB IV
KEADAAN DARURAT
Pasal 17
- Dalam hal keadaan negara terancam bahaya karena terjadi pemberontakan
dan/atau terjadi usaha-usaha nyata dengan kekerasan untuk memisahkan
sebagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan laporan
Gubernur setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dapat
menyatakan keadaan darurat.
- Dalam hal Gubernur dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat
melaksanakan fungsinya atau terlibat dalam kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat, menyatakan Keadaan Darurat.
Pasal 18
- Penanggulangan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
- Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila diperlukan
dapat diperpanjang oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat berdasarkan laporan dan usul Gubernur dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
- Pelaksanaan penanggulangan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1 ) dan ayat (2) wajib dievaluasi, dilaporkan dan diusulkan tindak
lanjutnya oleh Gubernur dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kepada Presiden paling lama setiap 3 (tiga) bulan.
Pasal 19
- Dalam Keadaan Darurat, Presiden memegang kekuasaan tertinggi selaku
Penguasa Darurat Pusat.
- Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Presiden dibantu oleh suatu Tim Pengendali Pusat yang terdiri atas
Panglima dan Menteri atau Pejabat lain yang terkait.
- Tim Pengendali Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh
Presiden selaku Penguasa Darurat Pusat.
Pasal 20
- Penguasa Darurat Pusat berwenang menggunakan segenap komponen kekuatan
pertahanan keamanan negara.
- Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Penguasa Darurat Pusat dibantu oleh Panglima.
- Atas perintah Penguasa Darurat Pusat, Panglima dengan pertimbangan
keamanan nasional, ketertiban umum dan kesejahteraan umum dapat:
- melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
- melakukan penyelidikan, pemanggilan, dan pemeriksaan;
- mengatur pos, telekomunikasi, dan elektronika;
- melakukan tindakan di bidang ketertiban dan keamanan umum;
- melakukan penggeledahan dan penyitaan secara langsung terhadap
senjata dan/atau alat-alat yang digunakan dalam usaha melakukan
pemberontakan dan/atau usaha melakukan pemisahan wilayah
(separatisme) yang harus dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) X 24 (dua puluh empat) jam.
- melakukan segala tindakan terhadap senjata api, amunisi, bahan
peledak, dan senjata tajam;
- mewajibkan seseorang bekerja untuk kepentingan pertahanan keamanan;
dan
- membatasi, mengatur atau melarang lalu lintas di darat, udara, dan
perairan.
Pasal 21
Peraturan yang dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh Penguasa Darurat
Militer berlaku sejak ditetapkan dan diumumkan seluas-luasnya untuk
diketahui oleh masyarakat.
Pasal 22
- Penguasa Darurat di daerah adalah Komandan Satuan Tentara Nasional
Indonesia yang tertinggi di daerah, serendah-rendahnya setingkat
Komandan Resor Militer selaku Penguasa Darurat Daerah.
- Dalam melaksanakan kekuasaannya, Penguasa Darurat Daerah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh Tim Pengendali Daerah yang terdiri
atas:
- Gubernur;
- Kepala Kepolisian Daerah;
- Kepala Kejaksaan Tinggi;
- Unsur Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
- Unsur masyarakat.
- Tim Pengendali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh
Penguasa Darurat Daerah.
Pasal 23
Penguasa Darurat Pusat menetapkan Penguasa Darurat Daerah dan daerah
hukumnya.
Pasal 24
Penguasa Darurat Daerah berhak mengeluarkan peraturan yang tidak
bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Penguasa Darurat Pusat
dan berhak melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (3).
Pasal 25
- Dalam hal keadaan darurat telah dapat ditanggulangi, berdasarkan
laporan Gubernur dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Pewakilan Rakyat menyatakan
pencabutan Keadaan Darurat.
- Apabila Gubernur dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat
melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
(lama) berdasarkan laporan Penguasa Darurat Daerah, Presiden setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat menyatakan pencabutan
Keadaan Darurat.
Pasal 26
Gubernur dengan persetujuan Dewan Pewakilan Rakyat Daerah dapat
mempertahankan sebagian peraturan dan tindakan Penguasa Darurat Daerah
paling lama 3 (tiga) bulan sesudah pencabutan keadaan darurat.
Pasal 27
- Dalam hal keadaan darurat dicabut, semua peraturan yang telah
dikeluarkan oleh Penguasa Darurat tidak berlaku lagi, dan tindakan yang
menjadi kewenangan Penguasa Darurat dihentikan.
- Pada saat keadaan darurat dicabut, keberadaan Penguasa Darurat dan Tim
Pengendali berakhir.
BAB V
KEADAAN PERANG
Pasal 28
Dalam hal terjadi perang atau ancaman perang dengan negara asing atau suatu
pemberontakan dan/atau usaha-usaha nyata memisahkan sebagian wilayah negara
Kesatuan Republik Indonesia melibatkan. dukungan asing secara nyata,
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan Keadaan
Perang.
Pasal 29
- Dalam keadaan perang, Presiden memegang kekuasaan tertinggi
selaku Penguasa Perang Pusat.
- Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Presiden dibantu oleh Tim Pengendali Perang Pusat yang terdiri atas
Panglima, Menteri, dan/atau pejabat lain yang terkait.
- Tim Pengendali Perang Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dibentuk oleh Presiden selaku Penguasa Perang Pusat.
Pasal 30
- Penguasa Perang Pusat berwenang menggunakan segenap komponen kekuatan
pertahanan keamanan negara.
- Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Penguasa Perang Pusat dibantu Panglima.
- Atas perintah Penguasa Perang Pusat, Panglima dapat:
- melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(3);
- mengambil atau memerintahkan penyerahan barang yang diperlukan untuk
dipakai dalam menanggulangi Keadaan Perang;
- memanggil orang untuk bekerja pada Tentara Nasional Indonesia;
- mencegah pemogokan;
- mengadakan pengaturan atau melakukan tindakan yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku demi
penanggulangan keadan perang, apabila keadaan sangat mendesak dan
membahayakan.
Pasal 31
Peraturan yang dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh Penguasa Perang
berlaku sejak ditetapkan dan diumumkan seluas-luasnya untuk diketahui oleh
masyarakat.
Pasal 32
- Penguasa Perang di daerah adalah Komandan Satuan Tentara Nasional
Indonesia tertinggi di daerah, serendah-rendahnya setingkat Komandan
Resor Militer selaku Penguasa Perang Daerah.
- Dalam melaksanakan kekuasaannya, Penguasa Perang Daerah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh Tim Pengendali Perang Daerah yang
terdiri atas:
- Gubernur;
- Kepala Kepolisian Daerah;
- Kepala Kejaksaan Tinggi;
- Unsur Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
- Unsur Masyarakat.
- Tim pepgendali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh
Penguasa Perang Daerah.
Pasal 33
Penguasa Perang Pusat menetapkan Penguasa Perang Daerah dan daerah hukumnya.
Pasal 34
- Penguasa Perang Daerah berhak mengeluarkan peraturan dan melakukan
tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3).
- Peraturan yang dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh Penguasa
Perang Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan
kepada Penguasa Perang Pusat.
Pasal 35
Dalam hal Keadaan Perang telah dapat ditanggulangi, berdasarkan laporan
Penguasa Perang Daerah, Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan pencabutan Keadaan Perang.
Pasal 36
- Dalam hal keadaan perang dicabut, semua peraturan yang telah dikeluarkan
oleh Penguasa Perang tidak berlaku lagi dan tindakan yang menjadi
kewenangan Penguasa Perang dihentikan.
- Pada saat keadaan perang dicabut, keberadaan Penguasa Perang dan Tim
Pengendali berakhir.
- Kepala Pemerintahan di daerah yang bersangkutan dapat mempertahankan
sebagian peraturan atau tindakan Penguasa Perang Daerah paling lama 4
(empat) bulan sesudah pencabutan keadaan perang.
Pasal 37
Dalam hal Kejaksaan dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum tidak
dapat lagi melaksanakan fungsinya, kewenangan menuntut dan mengadili perkara
pidana dilaksanakan oleh Oditurat dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
BAB VI
KETENTUAN PIDANA DAN GANTI KERUGIAN
(Keputusan Panja 13-9-99, disetujui, urutan disesuaikan oleh TIMSIN)
Pasal 38
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 39
Setiap orang yang melanggar (atau menolak) peraturan dari Penguasa Darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 24, Pasal 26 atau
Penguasa Perang sebagaimana dimaksud Pasal 30 ayat (3), Pasal 34, Pasal 36
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam)
bulan, kecuali tindak pidana itu diancam dengan pidana yang lebih berat
dalam undang-undang lain.
Pasal 40
Pejabat yang menyalahgunakan wewenang yang diberikan oleh undang-undang ini
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama
5 (lima) tahun.
(Catatan: Perlu penjelasan mengenai
- Tentang wewenang hakim dalam menjatuhkan hukuman perlu
mempertimbangkan gradasi keadaan.
- Pejabat yang dimaksud adalah pejabat yang terkait dengan
pemberlakuan keadaan, termasuk Tim Pengendali.
- bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang, ketentuan hukum yang lain
tetap berlaku).
Pasal 41
- Setiap orang yang mengalami kerugian karena tindakan pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf b dan huruf c berhak menuntut dan
memperoleh ganti kerugian sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan kepada
negara.
Pasal 42
Peraturan yang dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh Penguasa Darurat
atau Penguasa Perang berlaku sejak ditetapkan dan diumumkan seluas-luasnya
untuk diketahui oleh masyarakat.
(Keputusan Panja 13-9-99 disetujui dipecah menjadi 3 penempatannya pada
masing-masing gradasi keadaan, diserahkan ke TIMSIN).
Pasal 43
Dalam Keadaan Darurat dan Keadaan Perang, Presiden dapat menyatakan
mobilisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(Keputusan Panja 13-9-99 disetujui dipecah menjadi 3 penempatannya pada
masing-masing gradasi keadaan, diserahkan ke TIMSIN).
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-undang Nomor 23 Prp.
Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 139,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1908) dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
1960 tentang Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer, dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI NEGARA SEKRETARIS
NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ..... NOMOR .....