back
Serambi DEPAN PadepokanVirtual
Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment


RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ..... TAHUN .....
TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN BAHAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

  1. bahwa guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus tetap terpelihara serta berjalan dengan aman dan tertib;
  2. bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan negara untuk tetap tegaknya kedaulatan negara, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa, serta utuhnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat timbul berbagai ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dengan intensitas yang tinggi, sehingga diperlukan penanggulangan keadaan bahaya dengan penindakan secara dini, cepat, tepat, terpadu, tuntas, aman, dan profesional;
  3. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum, oleh karena itu penanggulangan keadaan bahaya sebagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keselamatan dan keamanan negara yang pada hakikatnya merupakan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan rakyat harus berdasarkan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional;
  4. bahwa Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi bertanggung jawab terhadap penanggulangan keadaan bahaya, oleh karena itu berwenang mengambil tindakan untuk menyelamatkan dan mengamankan negara;
  5. bahwa Undang-undang Nomor 23 Prp. Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1960 tentang Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer yang selama ini menjadi dasar hukum penanggulangan ancaman pertahanan keamanan negara sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan ketatanegaraan sehingga perlu dicabut dan diganti;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya;

Mengingat:

  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN BAHAYA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Penanggulangan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mencegah, menghadapi, atau mengatasi keadaan bahaya.
  2. Keadaan bahaya adalah suatu keadaan terganggunya keamanan atau ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan, pemberontakan bersenjata, atau keinginan memisahkan diri dari wilayah negara dengan kekerasan atau timbul ancaman perang atau terjadi perang yang tidak dapat diatasi oleh aparatur negara secara biasa.
  3. Ancaman adalah usaha yang dilaksanakan secara konsepsional melalui kegiatan sosial, politik, ekonomi, atau budaya yang membahayakan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Penyelenggaraan Penanggulangan Keadaan Bahaya adalah bagian dari upaya pertahanan keamanan negara yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara yang dilakukan melalui kegiatan penanggulangan terhadap setiap ancaman, baik dari dalam maupun dari luar negeri secara dini, cepat, tepat, terpadu, tuntas, dan aman serta profesional yang ditujukan bagi terpeliharanya kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, serta terjaminnya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  5. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi yang karena jabatannya merangkap sebagai Wakil Pemeritah Pusat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
  6. Panglima adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN UPAYA PENANGGULANGAN

Pasal 2

Penanggulangan keadaan bahaya berasas pada:

  1. asas kepastian hukum;
  2. asas pengayoman;
  3. asas keterbukaan;
  4. asas keterpaduan;
  5. asas proporsionalitas; dan
  6. asas profesionalitas.

Pasal 3

Tujuan penanggulangan keadaan bahaya adalah segera pulihnya:

  1. fungsi pemerintahan;
  2. kegiatan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi;
  3. persatuan dan kesatuan bangsa dan terjaminnya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 4

Upaya penanggulangan keadaan bahaya tetap memperhatikan dan memberlakukan prinsip-prinsip hukum internasional dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Pasal 5

Upaya penanggulangan keadaan bahaya dapat dilakukan di sebagian atau di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 6

Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi wewenang dan tanggung jawab Presiden.

Pasal 7
  1. Presiden menyatakan atau mencabut pernyataan negara dalam keadaan bahaya setelah berkonsultasi atau mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
  2. Keputusan yang menyatakan atau mencabut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku pada hari diumumkan, kecuali ditentukan lain dalam keputusan tersebut.

Pasal 8

Keadaan bahaya dapat dibedakan menjadi:

  1. keadaan khusus;
  2. keadaan darurat;
  3. keadaan perang.

BAB III
KEADAAN KHUSUS

Pasal 9

  1. Dalam hal keadaan negara terancam bahaya dan penanganan oleh aparatur negara secara biasa dinilai tidak dapat mengatasinya, Presiden menyatakan Keadaan Khusus.
  2. Keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Presiden tentang terjadinya kerusuhan yang disertai dengan tindak kekerasan dan/atau terjadinya suatu keadaan yang berakibat:
    1. pelaksanaan fungsi pemerintahan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya; dan/atau
    2. kegiatan kehidupan perekonomian dan kehidupan masyarakat sangat terganggu.

Pasal 10
  1. Keadaan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) berlaku paling lama 3 (tiga) bulan.
  2. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila diperlukan dapat diperpanjang oleh Presiden paling lama 3 (tiga) bulan atas permintaan Gubernur dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 11

  1. Dalam melaksanakan Penanggulangan Keadaan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Gubernur berwenang melakukan tindakan:
    1. pelarangan sementara orang memasuki atau meninggalkan kawasan tertentu;
    2. penempatan sementara orang di luar kawasan tempat tinggalnya;
    3. pembatasan dan/atau penutupan kawasan tertentu;
    4. pembatasan orang berada di luar rumah.
  2. Kewenangan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 12

  1. Dalam penanggulangan Keadaan Khusus, Gubernur dibantu oleh Tim Pengendali yang terdiri atas:
    1. Kepala Kepolisian Daerah;
    2. Komandan Satuan Tentara Nasional Indonesia tertinggi di daerah;
    3. Kepala Kejaksaan Tinggi;
    4. Unsur Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
    5. Unsur masyarakat.
  2. Tim Pengendali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh Gubernur.

Pasal 13

Pelarangan sementara seseorang memasuki atau meninggalkan suatu wilayah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang menurut bukti permulaan yang cukup, melakukan perbuatan yang dapat mengganggu, menghalangi, atau menghambat upaya penanggulangan keadaan khusus.

Pasal 14

Penempatan sementara orang di luar wilayah tempat tinggalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, dilakukan untuk melindungi keselamatan dan keamanan warga.

Pasal 15

Pembatasan dan/atau penutupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c dan pembatasan orang berada di luar rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d hanya dapat dilakukan di wilayah dalam keadaan khusus.

Pasal 16

  1. Dalam hal Keadaan Khusus telah dapat ditanggulangi, berdasarkan laporan Gubernur dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden menyatakan pencabutan Keadaan Khusus.
  2. Dalam hal keadaan khusus dinyatakan dicabut, semua kewenangan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan tidak berlaku.

BAB IV
KEADAAN DARURAT

Pasal 17

  1. Dalam hal keadaan negara terancam bahaya karena terjadi pemberontakan dan/atau terjadi usaha-usaha nyata dengan kekerasan untuk memisahkan sebagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan laporan Gubernur setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dapat menyatakan keadaan darurat.
  2. Dalam hal Gubernur dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat melaksanakan fungsinya atau terlibat dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, menyatakan Keadaan Darurat.

Pasal 18

  1. Penanggulangan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
  2. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila diperlukan dapat diperpanjang oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan laporan dan usul Gubernur dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  3. Pelaksanaan penanggulangan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ) dan ayat (2) wajib dievaluasi, dilaporkan dan diusulkan tindak lanjutnya oleh Gubernur dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Presiden paling lama setiap 3 (tiga) bulan.

Pasal 19

  1. Dalam Keadaan Darurat, Presiden memegang kekuasaan tertinggi selaku Penguasa Darurat Pusat.
  2. Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden dibantu oleh suatu Tim Pengendali Pusat yang terdiri atas Panglima dan Menteri atau Pejabat lain yang terkait.
  3. Tim Pengendali Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh Presiden selaku Penguasa Darurat Pusat.

Pasal 20

  1. Penguasa Darurat Pusat berwenang menggunakan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara.
  2. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penguasa Darurat Pusat dibantu oleh Panglima.
  3. Atas perintah Penguasa Darurat Pusat, Panglima dengan pertimbangan keamanan nasional, ketertiban umum dan kesejahteraan umum dapat:
    1. melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
    2. melakukan penyelidikan, pemanggilan, dan pemeriksaan;
    3. mengatur pos, telekomunikasi, dan elektronika;
    4. melakukan tindakan di bidang ketertiban dan keamanan umum;
    5. melakukan penggeledahan dan penyitaan secara langsung terhadap senjata dan/atau alat-alat yang digunakan dalam usaha melakukan pemberontakan dan/atau usaha melakukan pemisahan wilayah (separatisme) yang harus dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) X 24 (dua puluh empat) jam.
    6. melakukan segala tindakan terhadap senjata api, amunisi, bahan peledak, dan senjata tajam;
    7. mewajibkan seseorang bekerja untuk kepentingan pertahanan keamanan; dan
    8. membatasi, mengatur atau melarang lalu lintas di darat, udara, dan perairan.

Pasal 21

Peraturan yang dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh Penguasa Darurat Militer berlaku sejak ditetapkan dan diumumkan seluas-luasnya untuk diketahui oleh masyarakat.

Pasal 22

  1. Penguasa Darurat di daerah adalah Komandan Satuan Tentara Nasional Indonesia yang tertinggi di daerah, serendah-rendahnya setingkat Komandan Resor Militer selaku Penguasa Darurat Daerah.
  2. Dalam melaksanakan kekuasaannya, Penguasa Darurat Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh Tim Pengendali Daerah yang terdiri atas:
    1. Gubernur;
    2. Kepala Kepolisian Daerah;
    3. Kepala Kejaksaan Tinggi;
    4. Unsur Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
    5. Unsur masyarakat.
  3. Tim Pengendali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh Penguasa Darurat Daerah.

Pasal 23

Penguasa Darurat Pusat menetapkan Penguasa Darurat Daerah dan daerah hukumnya.

Pasal 24

Penguasa Darurat Daerah berhak mengeluarkan peraturan yang tidak bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Penguasa Darurat Pusat dan berhak melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3).

Pasal 25

  1. Dalam hal keadaan darurat telah dapat ditanggulangi, berdasarkan laporan Gubernur dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Pewakilan Rakyat menyatakan pencabutan Keadaan Darurat.
  2. Apabila Gubernur dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) (lama) berdasarkan laporan Penguasa Darurat Daerah, Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat menyatakan pencabutan Keadaan Darurat.

Pasal 26

Gubernur dengan persetujuan Dewan Pewakilan Rakyat Daerah dapat mempertahankan sebagian peraturan dan tindakan Penguasa Darurat Daerah paling lama 3 (tiga) bulan sesudah pencabutan keadaan darurat.

Pasal 27
  1. Dalam hal keadaan darurat dicabut, semua peraturan yang telah dikeluarkan oleh Penguasa Darurat tidak berlaku lagi, dan tindakan yang menjadi kewenangan Penguasa Darurat dihentikan.
  2. Pada saat keadaan darurat dicabut, keberadaan Penguasa Darurat dan Tim Pengendali berakhir.

BAB V
KEADAAN PERANG

Pasal 28

Dalam hal terjadi perang atau ancaman perang dengan negara asing atau suatu pemberontakan dan/atau usaha-usaha nyata memisahkan sebagian wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia melibatkan. dukungan asing secara nyata, Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan Keadaan Perang.

Pasal 29
  1. Dalam keadaan perang, Presiden memegang kekuasaan tertinggi selaku Penguasa Perang Pusat.
  2. Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden dibantu oleh Tim Pengendali Perang Pusat yang terdiri atas Panglima, Menteri, dan/atau pejabat lain yang terkait.
  3. Tim Pengendali Perang Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh Presiden selaku Penguasa Perang Pusat.

Pasal 30
  1. Penguasa Perang Pusat berwenang menggunakan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara.
  2. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penguasa Perang Pusat dibantu Panglima.
  3. Atas perintah Penguasa Perang Pusat, Panglima dapat:
    1. melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3);
    2. mengambil atau memerintahkan penyerahan barang yang diperlukan untuk dipakai dalam menanggulangi Keadaan Perang;
    3. memanggil orang untuk bekerja pada Tentara Nasional Indonesia;
    4. mencegah pemogokan;
    5. mengadakan pengaturan atau melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku demi penanggulangan keadan perang, apabila keadaan sangat mendesak dan membahayakan.

Pasal 31

Peraturan yang dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh Penguasa Perang berlaku sejak ditetapkan dan diumumkan seluas-luasnya untuk diketahui oleh masyarakat.

Pasal 32
  1. Penguasa Perang di daerah adalah Komandan Satuan Tentara Nasional Indonesia tertinggi di daerah, serendah-rendahnya setingkat Komandan Resor Militer selaku Penguasa Perang Daerah.
  2. Dalam melaksanakan kekuasaannya, Penguasa Perang Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh Tim Pengendali Perang Daerah yang terdiri atas:
    1. Gubernur;
    2. Kepala Kepolisian Daerah;
    3. Kepala Kejaksaan Tinggi;
    4. Unsur Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
    5. Unsur Masyarakat.
  3. Tim pepgendali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk oleh Penguasa Perang Daerah.

Pasal 33

Penguasa Perang Pusat menetapkan Penguasa Perang Daerah dan daerah hukumnya.

Pasal 34
  1. Penguasa Perang Daerah berhak mengeluarkan peraturan dan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3).
  2. Peraturan yang dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh Penguasa Perang Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Penguasa Perang Pusat.

Pasal 35

Dalam hal Keadaan Perang telah dapat ditanggulangi, berdasarkan laporan Penguasa Perang Daerah, Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan pencabutan Keadaan Perang.

Pasal 36
  1. Dalam hal keadaan perang dicabut, semua peraturan yang telah dikeluarkan oleh Penguasa Perang tidak berlaku lagi dan tindakan yang menjadi kewenangan Penguasa Perang dihentikan.
  2. Pada saat keadaan perang dicabut, keberadaan Penguasa Perang dan Tim Pengendali berakhir.
  3. Kepala Pemerintahan di daerah yang bersangkutan dapat mempertahankan sebagian peraturan atau tindakan Penguasa Perang Daerah paling lama 4 (empat) bulan sesudah pencabutan keadaan perang.

Pasal 37

Dalam hal Kejaksaan dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum tidak dapat lagi melaksanakan fungsinya, kewenangan menuntut dan mengadili perkara pidana dilaksanakan oleh Oditurat dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

BAB VI
KETENTUAN PIDANA DAN GANTI KERUGIAN
(Keputusan Panja 13-9-99, disetujui, urutan disesuaikan oleh TIMSIN)

Pasal 38

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 39

Setiap orang yang melanggar (atau menolak) peraturan dari Penguasa Darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 24, Pasal 26 atau Penguasa Perang sebagaimana dimaksud Pasal 30 ayat (3), Pasal 34, Pasal 36 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan, kecuali tindak pidana itu diancam dengan pidana yang lebih berat dalam undang-undang lain.

Pasal 40

Pejabat yang menyalahgunakan wewenang yang diberikan oleh undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 5 (lima) tahun.

(Catatan: Perlu penjelasan mengenai

  1. Tentang wewenang hakim dalam menjatuhkan hukuman perlu mempertimbangkan gradasi keadaan.
  2. Pejabat yang dimaksud adalah pejabat yang terkait dengan pemberlakuan keadaan, termasuk Tim Pengendali.
  3. bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang, ketentuan hukum yang lain tetap berlaku).

Pasal 41
  1. Setiap orang yang mengalami kerugian karena tindakan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf b dan huruf c berhak menuntut dan memperoleh ganti kerugian sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan kepada negara.

Pasal 42

Peraturan yang dikeluarkan dan tindakan yang dilakukan oleh Penguasa Darurat atau Penguasa Perang berlaku sejak ditetapkan dan diumumkan seluas-luasnya untuk diketahui oleh masyarakat.
(Keputusan Panja 13-9-99 disetujui dipecah menjadi 3 penempatannya pada masing-masing gradasi keadaan, diserahkan ke TIMSIN).

Pasal 43

Dalam Keadaan Darurat dan Keadaan Perang, Presiden dapat menyatakan mobilisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Keputusan Panja 13-9-99 disetujui dipecah menjadi 3 penempatannya pada masing-masing gradasi keadaan, diserahkan ke TIMSIN).

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 44

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-undang Nomor 23 Prp. Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1908) dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1960 tentang Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 45

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE


Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA


MULADI


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ..... NOMOR .....