back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

Suara Pembaruan
14 Juni 1998

Perekrutan dan Jabatan Dosen di Perguruan Tinggi Neggeri
Oleh Hendra Gunawan

Salah satu jurusan di perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka di negara kita tidak mempunyai seorang profesor atau guru besar. Apa yang harus dan dapat dilakukan oleh jurusan atau perguruan tinggi tersebut? Di negara lain, khususnya di negara maju, hal itu bukanlah suatu persoalan yang sulit. Perguruan tinggi atau jurusan yang bersangkutan tinggal memasang iklan lowongan kerja untuk seorang atau beberapa guru besar dengan kualifikasi tertentu. Lowongan ini kadang terbuka tidak hanya bagi warga negaranya tetapi bagi warga negara asing (universal).

Hal seperti itu di negara kita belum dimungkinkan. Salah satu penyebab utama adalah sistem kepegawaian negeri yang menggunakan sistem perekrutan dan kenaikan jabatan yang berlaku bagi dosen di PTN.

Seorang dosen PTN direkrut sejak awal, yaitu mulai dari golongan IIIA dengan jabatan asisten ahli madya (bila ia bergelar sarjana), golongan IIIB dengan jabatan asisten ahli (bila ia bergelar master), atau golongan IIIC dengan jabatan lektor muda (bila ia bergelar doktor), dengan batasan usia tertentu. Lalu ia menjadi dosen di PTN sepanjang sisa hidupnya atau sampai pensiun. Selama ia tidak neko-neko, ia tidak perlu takut kena PHK atau dipecat, walaupun ia tidak terlalu berprestasi.

Golongan (dan jabatannya) merangkak naik ke IIID (lektor madya), IVA (lektor), IVB (lektor kepala madya), IVC (lektor kepala) dan seterusnya, dengan waktu minimal dua tahun untuk naik dari satu golongan ke golongan berikutnya. Bila memenuhi kualifikasi yang ditentukan dan hal-hal lain yang tak tertulis, barulah ia naik ke golongan IVD dengan jabatan guru besar madya, dan mungkin akhirnya naik ke golongan IVE dengan jabatan guru besar. (Dalam peraturan terakhir, seorang dosen dimungkinkan menjabat guru besar madya dengan golongan di bawah IVD, karena tidak ada batasan waktu minimal dua tahun untuk naik jabatan. Namun, pada dasarnya ia tetap harus melalui jabatan-jabatan sebelumnya).

Jadi, ketika suatu jurusan tidak mempunyai seorang guru besar namun memerlukannya, tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menunggu atau mendongkrak dosen yang mempunyai jabatan tertinggi di bawahnya untuk diangkat dan diangkat setidaknya sampai ke jabatan guru besar madya, walaupun ia sebetulnya mungkin tidak memenuhi kualifikasi guru besar.

Sistem Perekrutan

Pertanyaannya sekarang, akankah kita pertahankan sistem perekrutan dan kenaikan jabatan seperti itu? Mengapa kita, seperti dalam banyak hal yang lain, harus senantiasa lain dari yang lain? Tidakkah sebaiknya kita meninjau kembali sistem perekrutan dan kenaikan jabatan dosen di PTN (dan embel-embel pegawai negerinya) yang sudah berlaku sekian puluh tahun itu?

Seiring dengan semangat reformasi menyeluruh yang kita miliki sekarang ini, barangkali PTN (dan juga PTS) perlu menganut sistem kepegawaian yang baru, seperti sistem yang dianut oleh kebanyakan negara lain. Sistem yang dimaksud mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

Pertama, dosen di PTN tidak lagi menyandang status pegawai negeri, tetapi cukup pegawai PTN yang bersangkutan (otonomi PTN dalam merekrut dan memecat pegawainya). Dengan demikian, seorang warga negara asing pun dapat menjadi dosen di PTN di negara kita (selama ia memenuhi persyaratan yang lain untuk bekerja di negara kita).

Membolehkan dosen asing bekerja di PTN (atau PTS) barangkali lebih baik daripada membiarkan PTA beroperasi di negara kita. Pembolehan dosen asing bekerja bersama di tengah-tengah dosen dalam negeri berdampak pada kemajuan perguruan tinggi kita yang barangkali lebih langsung dapat dirasakan. (Namun tentu saja jumlah dosen asing yang dapat bekerja di perguruan tinggi itu perlu dibatasi. Misalnya jangan sampai melebihi 25% dari jumlah total dosen di perguruan tinggi tersebut.)

Kedua, sistem perekrutan harus memungkinkan perguruan tinggi itu merekrut seorang dosen baru pada jabatan yang diperlukan. Jadi, bila ada jurusan yang memerlukan seorang guru besar sementara di antara dosen yang ada tidak satu pun memenuhi kualifikasi guru besar, jurusan atau perguruan tinggi yang bersangkutan tinggal memasang iklan untuk mengisi lowongan tersebut.

Dengan sistem seperti ini seorang dosen yang memenuhi kualifikasi guru besar namun belum menjabat guru besar (misalnya karena sudah terlalu banyak guru besar di jurusannya) dapat melamar ke perguruan tinggi lain yang memerlukan seorang guru besar. Jadi, dosen berpindah dari satu perguruan tinggi ke perguruan tinggi lain bukan hal yang mustahil.

Ketiga, kepegawaian bersifat kontrak (misalnya per lima tahun) dan perpanjangan kontrak serta kenaikan jabatan ditinjau berdasarkan prestasi. Dengan demikian, dosen (khususnya di PTN) tidak lagi bekerja sepanjang sisa hidupnya atau sampai pensiun. Untuk dapat bekerja terus dan/atau naik jabatan, ia harus benar-benar menunjukkan prestasinya, baik dalam mengajar maupun meneliti serta mengabdi kepada masyarakat.

Kriteria

Karena dosen adalah pegawai perguruan tinggi yang bersangkutan, masing-masing perguruan tinggi dalam hal ini dapat memiliki kriteria kenaikan jabatan (dan struktur gaji) sendiri sesuai dengan reputasinya (sekali lagi otonomi dalam kepegawaian). Jadi tidak seperti sekarang, semua PTN menerapkan kriteria kenaikan jabatan yang sama, menggunakan sistem angka kredit (kum) yang merepotkan (namun bisa dan sering diakali).

Keempat, begitu banyak golongan atau jabatan dipersedikit, tidak lagi 9 golongan dan jabatan seperti sekarang tetapi cukup, misalnya, 6 golongan dan jabatan saja: sebutlah IIIA (asisten muda), IIIB (asisten), IIIC (lektor muda), IIID (lektor), IVA (guru besar muda), dan IVB (guru besar).

Dengan demikian, bila waktu minimal yang diperlukan untuk naik dari satu jabatan ke jabatan berikutnya adalah dua tahun, sehingga seseorang dapat menjabat guru besar setelah ia bekerja selama 12 tahun (sejak asisten muda), jadi menjadi guru besar pada usia di bawah 40 tahun (usia produktif) bukanlah sesuatu yang luar biasa. Tidak seperti sekarang, kebanyakan dosen baru dapat menjadi guru besar pada usia senja dan tak lama kemudian pensiun.

Abad 21, era globalisasi, sudah di depan mata. Rasanya pemerintah perlu memberdayakan perguruan tinggi di negara kita, dan melepaskannya untuk bersaing secara global dengan perguruan tinggi lain. Untuk itu, sistem kepegawaian dosen di perguruan tinggi perlu direformasi sesuai dengan tuntutan zaman. ***

Penulis adalah Dosen Jurusan Matematika ITB Bandung

atas