back
Serambi MADURA PadepokanVirtual
Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment

OPINI
Sabtu, 18 September 1999
Surabaya Post


Renungan untuk Mahasiswa Baru
oleh Redi Panuju

Lepas dari polemik (kontroversi) Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus yang dipicu oleh tragedi di kampus Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) Jakarta ketika seorang peserta meninggal dunia diduga akibat tindak kekerasan, rasanya calon mahasiswa baru tetap perlu diberi sosialisasi awal yang menyangkut hal ihwal kuliah di perguruan tinggi. Pemahaman ini sangat dibutuhkan mahasiswa baru agar mampu menyesuaikan diri (adaptasi) dengan lingkungan baru yang akan digeluti.
Bagaimanapun juga banyak sekali perbedaan antara karakteristik studi di tingkat sekolah menengah dengan studi di perguruan tinggi. Perbedaan tersebut meliputi hal yang sangat kompleks, mulai dari basis ilmu yang akan ditekuni, sistem proses belajar mengajar yang di setiap perguruan tinggi memiliki spesifikasi tertentu, maupun sikap yang dibutuhkan.
Semakin cepat mahasiswa memahami eksistensinya yang baru, maka akan semakin mempunyai kesempatan menyiapkan diri secara lebih baik agar studinya berhasil --baik dilihat dari indeks prestasi yang diperoleh maupun ketepatan waktu. Jika individu sejak awal telah memahami apa yang akan diterima dari kampusnya dan mengerti apa yang harus dilakukan, maka dia sudah dapat menentukan sikap secara dini apakah dia telah tepat mengambil bidang studi, apakah dia mampu memenuhi kewajiban-kewajiban yang dipersyaratkan, dan yang lebih penting apakah dia cukup punya kemampuan untuk menguasai paket-paket perkuliahan yang ditawarkan.
Dengan demikian, mahasiswa baru sejak awal telah diberi kesempatan melakukan evaluasi internal sebagai metode konfirmasi terhadap asumsi-asumsi sebelumnya. Bila pada saat itu, dia merasa bahwa telah melakukan kesalahan (misalnya dalam memilih bidang studi atau memilih perguruan tinggi), maka dia bisa segera keluar dari arena tersebut dan mencari alternatif pindah bidang studi atau pindah ke perguruan tinggi lain yang lebih relevan (dengan minat dan bakatnya). Ini lebih baik dilakukan daripada kegagalan terjadi setelah telanjur bertahan di arena tersebut sekian tahun lamanya.
Pengenalan awal studi di perguruan tinggi --entah itu bernama Opspek, Ospek, PPSK, atau yang lain-- dengan demikian tetap dibutuhkan oleh mahasiswa. Persoalannya kemudian, apakah dalam pelaksanaannya, tujuan strategis seperti itu telah berhasil diimplementasi secara tepat?
Kenyataan yang sering terjadi di lapangan, pengenalan awal ini mengalami distorsi di sana-sini, sehingga menimbulkan implikasi yang tidak diinginkan. Distorsi bisa bersumber dari perumusan materi yang tidak jelas (tidak ada buku pedoman) sehingga setiap panitia bisa melakukan apa saja sesuai dengan seleranya. Apalagi bila proses sosialisasi awal ini diserahkan begitu saja kepada mahasiswa, implementasinya bisa berubah menjadi ajang tindakan represif seperti perpeloncoan (meskipun dilarang).
Sumber distorsi yang lain berasal dari metode sosialisasi yang bersifat searah dan memposisikan mahasiswa baru seperti pesakitan yang tidak boleh membela diri atau tidak boleh mengatakan "tidak". Persis seperti yang ditulis Eka Kurniawan S. (Surabaya Post, 28/8), bahwa Opspek menjadi penuh dengan nuansa koersif.
Cara-cara sosialisasi awal yang menyimpang seperti itulah yang menyebabkan pada akhirnya kelak mahasiswa yang bersangkutan menyadari bahwa apa yang dijalani pada periode tersebut tidak ada gunanya atau sia-sia, tidak ada yang berkait langsung dengan proses studi berikutnya, tapi sebaliknya justru meninggalkan luka, trauma, dan dendam.
Tetapi jika pun prediksi seperti ini pun benar, implikasi-implikasi psikologisnya sebaiknya segera dihapuskan. Anggaplah itu merupakan pengorbanan dan mungkin juga bernilai ibadah dengan asumsi bahwa kita telah diberi pelatihan untuk meningkatkan kesabaran dan kekuatan mental dalam situasi yang serba inferior. Akan berguna jika direnungkan beberapa hal sebagai ancang-ancang menapaki kehidupan kampus selanjutnya.
Pertama, harus dipertanyakan kepada diri sendiri; untuk apa saya kuliah di perguruan tinggi? Jawabannya tentu macam-macam. Ada yang bertujuan untuk memperoleh gelar agar bisa mendapat pekerjaan yang layak, atau jika sudah punya pekerjaan, gelar tersebut bisa menjadi instrumen peningkatan kariernya. Tujuan semacam itu sah-sah saja. Tetapi manfaatnya menjadi sangat terbatas.
Padahal bila motivasinya ditingkatkan sedikit saja, misalnya agar mempunyai pengetahuan yang luas dan dengan demikian memiliki wawasan yang luas, dan dengan wawasan itu akan mampu menangkap peluang-peluang di sekitarnya, maka manfaat kuliah menjadi berkorelasi langsung dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan kualitas tersebut individu mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan potensinya secara lebih kreatif dan inovatif.
Banyak orang yang tidak menyangka bahwa dengan performance barunya ia bisa keluar dari perilaku rutinitas (dalam pekerjaannya) yang cenderung statis, dan berhasil menemukan objek baru yang lebih produktif, prospektif, dan menjadi pioner di bidangnya. Kemudian ditinjau dari segi psikologisnya, individu yang mengalami peningkatan wawasan ini seolah memperoleh pencerahan baru dalam cara memandang hidup dan kehidupan ini, sehingga lebih optimistik, percaya diri, dan memiliki banyak alternatif solusi dalam penyelesaian masalah.
Kedua, perlu disadari bahwa manfaat yang bisa diperoleh dari studi di perguruan tinggi bersifat individual, tergantung kekritisan masing-masing dalam menyeleksi input, dan kemampuan mengkonversi materi yang menjadi output. Tidak semua materi perkuliahan bisa dioperasikan secara langsung dalam kehidupan. Sebagian malah sering menjadi beban pikiran (kognisi) dan sulit dicarikan benang merahnya dengan kehidupan yang dijalaninya. Sebagian (mungkin besar) malah sering menjadi beban pikiran (kognisi) karena keberadaannya hanya sebagai persyaratan formal memperoleh gelar kesarjanaan. Untuk sementara perguruan tinggi memang tidak bisa disalahkan karena sangat tergantung pada menu kurikulum yang ditawarkan oleh negara (kurikulum nasional). Pada kondisi demikian, harapan satu-satunya tinggal pada mahasiswa sendiri agar pandai-pandai membagi konsentrasi dan sebaliknya memberi penekanan khusus pada materi-materi yang relevan dengan cita-cita keprofesionalannya.
Ketiga, metode pembelajaran di perguruan tinggi mestinya harus berbeda dengan metode pembelajaran sewaktu di sekolah menengah. Di perguruan tinggi, individu dituntut bersifat proaktif dan lebih ditekankan pada kemampuan aktualisasinya. Memang ironisnya, banyak perguruan tinggi yang masih terjebak pada pola pengajaran indoktrinasi, sehingga mahasiswa tidak bisa bersifat kritis. Hal itu bukan saja disebabkan sikap arogansi dosen, kultur akademik yang cenderung feodalistik, tetapi juga karena perangkat normatif yang ada (diberlakukan).
Sebagai ilustrasi, alat (instrumen) yang dipergunakan untuk menentukan mahasiswa lulus atau tidak lulus dalam mata kuliah tertentu, cenderung memaksa mahasiswa mengfungsikan ranah kognitifnya bagaikan "gudang". Sebagaimana halnya gudang, maka di sana akan terjadi penumpukan pelbagai macam barang. Macam-macam barang itu harus dijaganya secara ketat, sebab sewaktu-waktu ada perintah untuk mengeluarkan kembali barang-barang tersebut. Jika dalam mengeluarkan barang tidak sesuai dengan instruksi (tidak sesuai dengan yang diminta oleh alat evaluasi), maka dikenai penalti tidak lulus.
Sistem pengajaran di PT kita belum memberi kesempatan kepada individu untuk memfungsikan otaknya menjadi seperti mesin pabrik yang memproduksi bahan mentah (input dari dosen) menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi (kemampuan konversi mahasiswa).
Tuntutan sistem pengajaran kita bila yang masuk A maka yang keluar juga harus A juga. Tradisi demikian tidak akan pernah terjadi ada mahasiswa yang lebih pintar dari dosennya. Implikasinya, "metabolisme intelektual" mahasiswa kita umumnya rusak, karena tidak terjadi absorbsi (penyerapan dan pengolahan).
Perguruan tinggi kita memang sangat konservatif dalam merumuskan tujuan pengajaran. Tidak ada keberanian untuk mengubah orientasi dari tolok ukur "apakah mahasiswa memahami materi yang diberikan" menjadi "apakah mahasiswa mampu mengkonversi materi yang diberikan menjadi sesuatu yang lain".
Di Malaysia, misalnya, dengan model baru tersebut seseorang bisa menyelesaikan kuliah S2 hanya dalam waktu satu tahun. Di negeri kita, mahasiswa bisa lebih hebat dari dosennya bila berani "melawan arus" dari model PBM yang ada. Dan memang kebanyakan intelektual Indonesia yang muncul ke permukaan saat ini kebanyakan mereka yang sewaktu menjadi mahasiswa berani bersikap "lain". Menjadi mahasiswa Indonesia memang cukup pelik.

Penulis adalah pengamat sosial dan Purek I Universitas Dr Soetomo (Unitomo)