back
Serambi MADURA PadepokanVirtual
Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment

OPINI
31 Agustus 1999
Surabaya Post


Membangun Budaya Akademik
oleh Redi Panuju

Dua tahun yang lalu, masalah budaya akademik yang cenderung sulit berkembang di perguruan tinggi Indonesia, telah menjadi topik perbincangan. Beberapa pakar pendidikan meyakini bahwa kemunduran kultur akademik bukan hanya karena pengaruh birokrasi pendidikan tetapi juga akibat keadaan internal perguruan tinggi itu sendiri. Di antaranya yang menjadi bahan polemik adalah masalah mataramisme yang mendarah daging dalam interaksi sosiologis di setiap perguruan tinggi.
"Teori" mataramisme tampaknya belum terkikis habis meskipun era reformasi telah mengharu biru masyarakat. Budaya ewuh pakewuh yang menyebabkan individu enggan untuk berbeda pendapat, berdebat, bersaing, dan berambisi dalam kemajuan. Atmosfir tata nilai seperti itu menyebabkan kampus cenderung statis, tidak lagi menjadi pergulatan inovasi bagi kaum intelektual guna menemukan teori-teori baru. Orang kampus justru menghindari penemuan-penemuan baru karena takut dicap arogan, ambisius, dan sejenisnya.
Perubahan generasi intelektual di kampus kita tidak ditandai dengan ukuran output karya ilmiah yang dihasilkan. Stratifikasi sosial lebih banyak ditentukan oleh dimensi senioritas, yang diukur dengan kepangkatan akademik.
Sisi lain dari "budaya keraton" dalam lingkungan perguruan tinggi otomatis diikuti hilangnya intelektual yang bersikap kritis. Arief Budiman ketika dipecat dari Universitas Kristen Satya Wacana menulis tentang kekritisan dengan pengakuan yang luas, "Saya tetap ingin mengabdikan diri di dunia akademik, karena di dunia inilah saya merasa bisa mengekspresikan diri secara jujur sambil menggunakan daya pikir dan kreativitas (Kompas, 11-12-1997).
Dosen-dosen yang kritis ini menjadi semakin langka. Jika pun di beberapa kampus muncul dosen kritis (terhadap sosial maupun keilmuannya) jumlahnya pastilah bisa dihitung dengan jari. Dan mereka itu adalah orang-orang yang rela memperoleh predikat tidak mengenakkan, seperti dosen mbalela, dosen vokal, dan sebagainya. Mereka ini cenderung dirugikan dalam karier karena hal-hal semacam itu termasuk indikator tingkat loyalitas pada lembaga. Sedangkan tingkat loyalitas mempunyai bobot paling tinggi dalam item DPK (daftar penilaian karyawan) yang dipergunakan sebagai rekomendasi promosi pekerjaaan.
Pengamat pendidikan, Prof Dr Soenjono Dardjowidjojo, berpendapat bahwa kultur akademik akan berkembang apabila perguruan tinggi benar-benar memiliki kebebasan akademik secara komplet. Seorang akademikus harus berani menyatakan apa adanya tanpa memperhatikan apakah ada yang akan dirugikan. Kalangan perguruan tinggi sebenarnya sudah melihat persoalan-persoalan seperti ini, tetapi menghadapi kenyataan temboknya terlalu tebal. Jadilah semacam orang-orang yang munafik, karena tahu tetapi tidak berani berbicara.
Situasi demikian (kampus tanpa pengembangan tradisi akademik) terus berjalan. Pemerintah yang memiliki otoritas membangun sistem yang kondusif tampaknya juga tidak terlalu peduli. Produk-produk kebijakan yang dibuat tidak mencerminkan reformasi di bidang kultur akademik.
Dalam kriteria penilaian Badan Akreditasi Nasional misalnya, unsur-unsur non akademik lebih dominan sebagai instrumen menentukan peringkat. Masalah teknis administratif, prasarana fisik, interaksi sosial, produktivitas, dan kepangkatan akademik ini lebih menarik perhatian "rezim baru" birokrasi pendidikan (BAN-PT), ketimbanag misalnya output akademik yang riil seperti seberapa banyak karya penelitian lembaga tersebut yang mempunyai kontribusi dalam pengembangan iptek, atau seberapa banyak (dan berkualitas) buku-buku serta karya ilmiah lain yang dihasilkan sivitas akademiknya.

Luar Negeri

Dimensi-dimensi yang menjadi indikator penilaian BAN ini mau tidak mau menjadi guidance bagi pengembangan institusional di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Akibatnya, perguruan tinggi pun semakin asyik dengan pengembangan dimensi-dimensi nonsubstansial akademik.
Tidak ada yang merasa malu misalnya pada kritikan bahwa perguruan tinggi hanya berfungsi sebagai gudang, tempat ilmu pengetahuan dari luar (termasuk yang diterjemahkan) ditumpuk, dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan GBPP (Garis Besar Pokok Perkuliahan), kemudian dijejalkan secara paksa kepada mahasiswa, harus ditelan mentah-mentah (jika tidak mau menelan tidak bakal lulus dari alat evaluasi).
Tidak ada yang malu meskipun perguruan tinggi tidak memproduksi secara serius ilmu pengetahuan dan teknologinya sesuai dengan visi yang dimilikinyaa. Visi perguruan tinggi biasa jauh dari urusan isi akademik, misalnya ikut mencerdaskan kehidupan bangsa (dalam bidang apa tidak dijelaskan), memberi kesempatan kepada rakyat miskin memperoleh pendidikan, dan rumusan yang abstrak lainnya. Padahal, dampak dari malasnya perguruan tinggi memproduksi ilmu pengetahuan ini sangat luar biasa. Kita cenderung menjadi bangsa yang konsumtif terhadap teori-teori yang dihasilkan oleh bangsa lain.
Dr Aloys Agus Nugroho lebih ekstrem lain mengatakan bahwa tradisi akademik di Indonesia merupakan "anak kebudayaan barat". Generasi penerus bangsa ini, telah diformat oleh ilmu pengetahuan made in luar negeri yang tanpa disadari bakal terasing dari lingkungannya sendiri. Ibaratnya orang berdiri terlalu melihat langit tetapi lupa bumi yang dipijaknya, maka eksistensinya menjadi berada di awang-awang. Tidak jelas, absurd, dan tanpa identitas.
Dr Wildan Yatim (Kompas, 19/8) malah mengilustrasikan bahwa kecenderungan memakai segala sesuatu yang berasal dari luar juga termasuk dalam memakai bahan-bahan untuk pelatihan dan praktikum. Padahal kita tahu bahan mentahnya ada di sekeliling kita. Kritik lain dari ahli biologi ini, di perguruan tinggi kita materi kuliah selama ini terlalu berorientasi kepada negara maju, dan sumber daya alam kita sendiri kurang diperhatikan. Justru dengan ilmunya itu kebanyakan sarjana kita berusaha menyedot sumber daya alam tanpa memperhatikan masalah keseimbangan lingkungan dan peremajaan, sehingga kekayaan alam kita kian tahun kian susut. Doktor biologi yang sastrawan ini mengusulkan reformasi mendesak dalam dunia pendidikan kita.

Lemah Publikasi

Kecenderungan konsumtif terhadap teori dan pandangan dari luar sebenarnya tidak berhubungan dengan tingkat keintelektualan bangsa kita yang rendah. Tetapi, lebih disebabkan perbedaan dalam cara memandang sesuatu yang dianggap ilmiah. Pandangan ini sangat menentukan corak dalam mengekspresikan nilai-nilai akademik. Di negara-negara maju pola ekspresi ilmiahnya dimulai dari perenungan, penelitian, rekonstruksi/kontemplasi, penulisan, dan publikasi. Kelemahan ekspresi nilai akademik kita adalah kurangnya kegiatan rekonstruksi, kontemplasi yang dilanjutkan dengan kegiatan penulisan dan publikasi.
Bangsa kita, diakui atau tidak, mempunyai kelemahan yang sangat mendasar pada keterampilan pencatatan (recording). Kegiatan ilmiah akhirnya direduksi (disederhanakan) saja menjadi kegiatan cuap-cuap, seperti seminar, stadium general, workshop, talk show, dan sejenisnya. Malahan kini muncul kesalahkaprahan di kalangan perguruan tinggi, dalam upaya membentuk citra akademik yang paling mudah mengadakan seminar dengan mengundang selebriti artis, selibriti politikus, maupun selebriti akademikus. Konyolnya muncul juga pandangan bahwa seminar dianggap ilmiah bila dihadiri para pejabat, sipil, maupun militer.
Tidak adanya output publikasi oleh bangsa sendiri menyebabkan tidak ada referensi yang bisa digunakan untuk menyusun silabus. Kegiatan penelitian yang dilakukan masyarakat kampus kita sebetulnya menunjukkan grafik yang menggembirakan, apalagi lembaga-lembaga asing dari Jepang, Amerika, Belanda, maupun negara-negara Arab telah banyak mensponsori kegiatan penelitian.
Saya berasumsi bahwa hasil penelitian tersebut tidak banyak diketahui masyarakat karena tidak dipublikasikan secara benar. Dengan demikian ada missing link dalam daur hidup dunia ilmiah kita, yang menyebabkan hasil penelitian berhenti di laci lemari pribadi atau sekadar menjadi bahan untuk mengumpulkan angka kredit guna kenaikan kepangkatan akademik.
Dalam suatu kesempatan diskusi dengan LSM asing yang peduli pada kegiatan penelitian, saya mengusulkan agar jangan hanya mendorong kegiatan penelitian saja tetapi perlu dibentuk yayasan atau LSM yang bergerak pada penerbitan dan publikasi ilmiah. Bila hasil penelitian bangsa sendiri telah terekam dalam penerbitan dan publikasi yang benar, barulah kampus perguruan tinggi kita punya referensi lengkap yang dihasilkan oleh bangsa sendiri.
Penulis adalah pengamat sosial, Purek I Universitas Dr Soetomo (Unitomo)