back
Serambi MADURA PadepokanVirtual
Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment

OPINI
Sabtu, 21 Agustus 1999
Surabaya Post


Asosiasi PTS Tetap Diperlukan
oleh Redi Panuju

Berita yang dimuat Surabaya Post (10/8, halaman 2) berjudul "BMPTSI Bubar, Asosiasi PTS Dipertanyakan" menarik perhatian. Masalah pertama, menyangkut pernyataan para pimpinan PTS (perguruan tinggi swasta) pada berita tersebut, yang menolak jika kepengurusan APTSI (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia) disamakan dengan BMPTSI (Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia). Alasannya selama ini pengurus BMPTSI dinilai tak mampu memberikan jalan keluar ketika PTS menghadapi masalah.
Pertanyaan kuncinya adalah, benarkah PTS membutuhkan asosiasi? Jika membutuhkan, model asosiasi macam apa yang efektif cara kerjanya?
Sebagaimana sektor-sektor yang lain, lembaga pendidikan tak luput menghadapi masalah-masalah internal, yang disebabkan dirinya sendiri maupun akibat perubahan-perubahan di lingkungannya. Bagi lembaga pendidikan yang sudah cukup mapan keberadaannya --mempunyai sumber daya dan dana yang memadai, perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan eksternalnya tidak terlalu menimbulkan guncangan. Mereka dengan cepat mampu melakukan adaptasi. Tidak demikian dengan lembaga pendidikan yang relatif masih lemah sumber daya dan dananya, perubahan-perubahan yang begitu cepat bisa meluluhlantakkannya. Ketidakseragaman kemampuan PTS yang demikian inilah yang merupakan alasan utama, bahwa asosiasi PTS tetap dibutuhkan kehadirannya. Melalui organisasi ini diharapkan masalah-masalah yang pelik tersebut dapat dipikul bersama dan dicarikan jalan keluarnya bersama-sama pula.
Bukankah selama ini PTS sudah mempunyai asosiasi? Betul. Minimal masyarakat bisa menunjuk salah satunya, "Kopertis". Dari kepanjangannya "Koordinator Perguruan Tinggi Swasta" identifikasinya pastilah organisasi ini yang mewakili kepentingan PTS. Dalam praktiknya, Kopertis cenderung lebih banyak mewakili kepentingan pemerintah yang bertugas memonitor PTS dan melaksanakan birokrasi publik. Karena itu, ketua koordinator diangkat oleh menteri dan selalu dijabat dari kalangan perguruan tinggi negeri (PTN).
Belum pernah ada ketua Kopertis yang berasal dari PTS. Mungkin pemerintah berasumsi bahwa orang PTS tidak tahu masalahnya sendiri, sehingga tetap dibutuhkan kehadiran orang PTN yang dianggap lebih tahu masalah-masalah yang terjadi di PTS.
Dengan demikian Kopertis sebenarnya lebih tepat disebut sebagai perpanjangan tangan (setara dengan Kanwil) Dirjen Pendidikan Tinggi c.q. Direktorat Perguruan Tinggi Swasta.
Melihat eksistensinya yang demikian, maka Kopertis hanya fungsional bagi PTS dalam membantu hubungan-hubungan yang bersifat legal formal dengan pemerintah. Kekuasaan (otoritas) yang didelegasikan pemerintah pusat kepada Kopertis ini memang banyak meringankan beban PTS, tetapi karena otoritas yang diberikan sering tidak penuh, maka kehadiran Kopertis dalam konteks tertentu justru memperpanjang jalur birokrasi. Dalam kondisi semacamm ini kehadiran Kopertis bukannya memberi pertolongan kepada PTS tetapi justru menimbulkan beban tambahan, keruwetan baru.
Menyongsong diberlakukannya otonomi daerah, mestinya delegasi kewenangan pemerintah pusat ini tidak perlu lagi setengah-setengah. Biarkan daerah mengelola dirinya sendiri. Toh, pemerintah pusat tidak banyak tahu realitas yang ada di daerah. Pada kondisi pemerintah yang sok tahu, sering terjadi kontroversi-kontroversi kebijakan yang dibuat.

Dari Yayasan

Semula PTS juga sangat berharap pada BMPTSI, karena lembaga inilah yang secara realistis mempunyai kesempatan memperjuangkan kepentingan PTS. Tetapi, ada beberapa kelemahan yang menjadi kendala sehingga BMPTSI pun tidak efektif. Antara lain, pengurus BMPTSI lebih banyak berasal dari yayasan penyelenggara perguruan tinggi, bukan para pimpinan PTS itu sendiri (rektor misalnya). Perbedaan latar belakang pengurus yang demikian tentunya melahirkan orientasi, visi, dan program yang berbeda. Para pimpinan yayasan dalam kesehariannya berorientasi bagaimana mengelola keuangan, sementara pimpinan PTS (rektorium) dituntut lebih banyak memikirkan penyelenggaraan dan pengembangan bidang akademik. Jika selama ini BMPTSI kurang responsif terhadap masalah-masalah akademik, dan lebih banyak mengurusi uang ujian negara, mungkin karena sifat dasar personaliti tersebut.
Dalam gerak keluarnya, menyangkut relasinya dengan pemerintah dan lembaga eksternal lainnya, acapkali pengurus BMPTSI tidak mewakili anggotanya, tetapi untuk kepentingan PTS-nya sendiri.
Jadi, bisa dimaklumi bila para pimpinan PTS seperti dilansir Surabaya Post tersebut merasa keberatan bila pengurus asosiasi PTS disamakan dengan BMPTSI. Solusi yang relevan untuk mengatasi dilema fungsional adalah biarkan PTS membentuk organisasi yang dikelola oleh para pimpinan PTS, sementara para pengurus yayasan penyelenggara PTS membuat asosiasi sendiri, misalnya asosiasi Yayasan PTS disingkat AYPTSI.
Kesimpulannya, asosiasi PTS tetap dibutuhkan kehadirannya tetapi dengan format yang berbeda, baik orientasi, visi, maupun program-programnya. Orientasi APTSI sebaiknya memberdayakan kemampuan PTS dalam penyelenggaraan pendidikan yang lebih kualitatif dan mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di PTS sehingga secara perlahan-lahan menjadi lembaga research university. Visi ke depannya, mendorong dan mengupayakan kemandirian PTS dalam menyelenggarakan pendidikan dan mengurangi campur tangan (intervensi) pemerintah yang berlebihan.
Sedangkan program-program APTSI harus mempunyai ciri pokok: bersifat partisipatif (tidak mobilisasi, apalagi mobilisasi dana). Artinya, bagaimana suatu program jangan sampai bersifat diskriminatif. Program dibuat supaya seluruh anggota PTS mempunyai kontribusi partisipasi dan menikmati hasil-hasilnya.
Asosiasi ini harus memberdayakan dirinya sendiri lebih dulu (self empowering), sehingga harus aktif menjalin hubungan keluar untuk memperoleh resources yang diperlukan. Jika asosiasi semacam gulat saja bisa menyerap dana miliaran rupiah, mengapa organisasi pendidikan yang jelas-jelas menentukan masa depan bangsa tidak mampu?
Lembaga di luar pemerintah yang bersedia membantu APTSI untuk memajukan pendidikan sebenarnya banyak, tinggal mau atau tidak mengurus APTSI menggalang aliansi strategis dengan dunia luar tersebut. Jika ada yang menyatakan bahwa APTSI belum berjalan maksimal karena masih ada beberapa ketentuan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang harus diperbaiki, maka kini tiba saatnya unsur aliansi strategis dengan dunia luar itu dimasukkan menjadi ketentuan yang mengikat. Pertemuan APTSI di Padang yang direncanakan tanggal 27-28 Agustus harus mampu menelurkan keputusan yang strategis tersebut.

Penulis adalah pengamat sosial, Purek I Universitas Dr Soetomo (Unitomo)