back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

KOMPAS
OPINI - Senin, 01 Mei 2000

Guru dan Malu
Oleh SN Ratmana

DI TENGAH gencarnya tuntutan para guru untuk mendapatkan perbaikan nasib, tiba-tiba terdengar tanggapan yang aneh dari Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Drs Subagijo, Kepala Kantor Departeman Pendidikan Nasional(Depdiknas), antara lain, menyatakan, meskipun para siswa belum bisa baca dan tulis, katanya, para guru tidak menunjukkan penyesalan atau kecewa. Malah, dengan tersenyum, mencari berbagai alasan soal siswanya belum bisa baca dan tulis tersebut.

"Itu, kan, berarti mereka tidak punya rasa malu," ujar Subagijo. "La sekarang tambah lagi. Hanya karena tunjangan struktural lebih tinggi, banyak guru tidak menerima. Ada yang mengancam demo, bahkan mogok kerja. Itu, kan, tidak fair..." (Harian Suara Merdeka Semarang edisi Senin, 10 April 2000, halaman VIII)

Marilah sepintas kita tinjau pendapat pejabat Depdiknas itu yang notabene mestinya pernah jadi guru. Adanya siswa kelas III dan IV SD yang tidak bisa baca-tulis, sebagaimana lemahnya penalaran matematis siswa SLTP/ SLTA, ketidakmampuan pelajar/ mahasiswa berbahasa asing dan lain-lain adalah wujud merosotnya mutu pendidikan kita pada tiga atau empat dekade terakhir ini. Masalahnya bukanlah masalah sederhana, melainkan berjalin-berkelindan dengan problem lain yang kompleks. Antara lain, laju pertumbuhan penduduk, ekstensivikasi lembaga pendidikan menengah sampai ke pelosok-pelosok, sempitnya lapangan kerja, pendewa-dewaan terhadap ijazah, kecenderungan memandang rendah kerja "kasar" seperti bertani dan bertukang plus problem sosial lainnya.

Norma kenaikan kelas dan keberhasilan dalam EBTA yang sangat longgar adalah akibat problem yang disebutkan tadi. Secara tertulis, norma kelulusan sekarang memang jauh lebih ketat daripada yang berlaku sekian puluh tahun lalu. Akan tetapi, dalam praktiknya, ketentuan "semua bisa diatur" jauh lebih dominan daripada apa-apa yang resmi tertulis. Tidak mengherankan bila muncul olok-olok terhadap dunia pendidikan kita: dulu siswa sulit untuk bisa lulus ujian, sedangkan sekarang sangat sulit bagi siswa untuk tidak lulus ujian.

Olok-olok itu bukan tidak beralasan. Ada buktinya. Pada tahun 1950, sebuah SR (SD) negeri di Kota Tegal hanya bisa meluluskan 1 (baca: satu) di antara 30 siswanya dalam ujian penghabisan. Sebaliknya, bila sekarang ada Kepala SD berani tidak meluluskan 5 orang saja di antara 40 muridnya dalam EBTA, pasti akan mendapatkan dampratan dari atasannya, termasuk dari Kepala Kantor Depdiknas. Hal ini berlaku pula untuk kenaikan kelas. Bila aturan dari siswa kelas III SD harus sudah pandai baca-tulis benar-benar diterapkan, bukan mustahil terjadi banyak siswa kelas II yang tinggal kelas. Dalam era Wajib Belajar Sembilan Tahun seperti sekarang, hal itu pasti tidak dibenarkan. Segala sesuatu yang bisa menyebabkan siswa SD putus sekolah sejauh mungkin harus dihindari, termasuk angka tinggal kelas yang tinggi.

Jadi, salah siapakah sebenarnya jika benar-benar terjadi siswa kelas III dan IV SD banyak yang tidak bisa baca-tulis? Karena para guru tidak punya rasa malu dan tidak mau bertanggung jawab, ataukah justru Kepala Kantor Depdiknas yang tidak berani melaksanakan peraturan secara konsekuen? Jawaban yang paling aman ialah: salah kita semua.

Tidak "fair"?

Kalau kita masuk ke ruang tata usaha sebuah sekolah lanjutan negeri, terutama SLTA, dan melihat DUK (Daftar Urut Kepangkatan), kemudian membandingkannya dengan DUK di instansi lain, pasti akan kita jumpai perbedaan yang mencolok. Di sebuah SLTA negeri dengan jumlah guru kurang dari 50 orang bisa kita temukan guru yang menduduki golongan IV mencapai belasan orang, sementara di instansi lain dengan jumlah pegawai yang sama, mereka yang menduduki golongan itu bisa kurang dari tiga orang.

Itulah penghargaan pemerintah terhadap guru, memberi pangkat kepegawaian yang "gemerlapan". Akan tetapi, di balik hebatnya golongan yang diduduki para guru, hampir tidak disertai imbalan yang berarti. Lain halnya dengan apa yang ada di balik kepangkatan dalam lingkungan militer. Seorang perwira jelas tidak sama kondisinya dengan bintara, apalagi prajurit. Sebutan Pembina bagi guru golongan IV tidak otomatis memiliki penghasilan yang lebih besar daripada mereka yang berpangkat Penata.

Kenaikan pangkat yang bisa diraih oleh guru dalam waktu dua tahun (melalui angka kredit) hanya bisa menaikkan sedikit gengsinya dilihat dari kacamata kepegawaian, tetapi sangat kecil artinya dilihat dari penghasilan. Yang jelas fasilitas guru golongan II, III dan IV tidak ada bedanya sama sekali. Kalau belakangan ini banyak guru yang bisa memiliki kendaraan bermotor, termasuk roda empat, bukanlah karena gajinya yang besar atau mendapatkan fasilitas dari sekolah di mana dia bekerja, melainkan semata-mata karena jerih payah pribadi di luar kedinasan.

Jadi, kalau demo menuntut perbaikan nasib dianggap tidak fair, lantas sikap fair macam apakah yang bisa dilakukan oleh guru?

Swasta

Lebih menyedihkan lagi adalah guru-guru sekolah swasta. Memang ada yayasan pendidikan yang bisa menggaji guru sebaik pegawai negeri, malah ada yang melebihinya. Namun, sebagian besar yayasan pendidikan menyandarkan dananya dari SPP yang dipungut dari siswa. Yayasan-yayasan semacam itu dapat dipastikan tidak dapat memberi imbalan yang layak kepada para guru.

Sampai sekarang masih ada SLTP yang menyediakan honorarium sebesar Rp 2.500 tiap jam pelajaran. Jadi, guru yang mengajar 20 jam pelajaran per minggu hanya menerima honorarium Rp 50.000 (baca: lima puluh ribu rupiah) tiap bulan! Jelas angka ini jauh di bawah UMR. Padahal, yang bersangkutan mungkin saja seorang sarjana. Sementara pekerja kasar seperti kernet (pembantu) tukang batu bisa mendapatkan upah Rp 12.000 tiap hari.

Gaji guru yang mencapai ratusan ribu rupiah, bahkan bisa mencapai Rp 1 juta, jelas menjadi hal yang menggiurkan bagi guru-guru swasta. Akan tetapi, kesempatan untuk bisa diangkat jadi pegawai negeri sangat terbatas. Ada guru swasta yang ikut seleksi jadi guru negeri belasan kali tidak juga berhasil sampai akhirnya gagal total disebabkan umurnya sudah 40 tahun (umur maksimum jadi pegawai negeri).

Kondisi memprihatinkan bertambah lagi kalau kita melihat guru-guru SD dan TK swasta. Penghasilan guru SLTP/SLTA swasta masih mungkin untuk dinaikkan dengan jalan menambah jumlah jam mengajar, sedangkan guru SD dan TK sebagai guru kelas tidak memiliki peluang ke sana.

Memalukan

Kondisi ekonomi para pendidik yang rendah menyebabkan martabatnya di masyarakat pun rendah. Stasiun-stasiun televisi swasta sebagai media massa bisa dijadikan cermin sikap masyarakat tersebut. Pada zaman televisi hanya dimonopoli oleh TVRI ada acara yang langsung atau tidak langsung melibatkan guru, yakni acara Cerdas-Cermat. Acara ini sekarang sudah ditenggelamkan oleh berbagai kuis di televisi-televisi swasta yang serba gemerlapan.

Secara fisik penampilan guru memang tidak memiliki nilai jual sehingga dianggap kurang pas bila sering muncul di layar kaca. Bukan saja kurang menarik tetapi bisa digolongkan memalukan. Lain halnya dengan para artis, presenter TV dan para selebriti yang umumnya berpenampilan cantik, ganteng dan memikat. Tidak mengherankan bila aneka macam kuis di televisi swasta didominasi para artis, bahkan pelawak dan orang-orang terkenal lainnya.

Satu-satunya kuis yang cukup dekat dengan dunia pendidikan, yakni Kuis Galileo (SCTV), toh belum pernah menampilkan para guru. Padahal, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dalam kuis ini sangat dekat dengan pelajaran IPA di sekolah. Artis sangat sering, pelawak, penerbang, dokter, pengamat politik dan bahkan orang-orang asing yang belum bisa berbahasa Indonesia sudah pernah muncul pada kuis yang disponsori oleh Indosat ini. Kelompok guru belum pernah ditampilkan. Jangan tanya kuis-kuis lain yang sasarannya jauh dari dunia pengajaran.

Mungkin saja pertimbangan yang diambil oleh penyelenggara kuis, maupun sponsor, semata-mata masalah nilai jual penampilan guru saja. Sebab, bagaimanapun kuis-kuis itu tidak lepas dari faktor bisnis. Namun, bukan mustahil, di bawah sadar mereka, juga ada pertimbangan lain. Sebagaimana kita ketahui, hadiah-hadiah yang disediakan oleh kuis-kuis di televisi bernilai jutaan rupiah, angka yang mungkin bagi para guru terlalu fantastis. Karena itu, para guru tidak perlu dilibatkan, sebab bisa merusak citra "pahlawan tanpa tanda jasa" yang sudah menjadi karakteristik mereka.

* SN Ratmana, Sastrawan, Pensiunan Pengawas SLTA Kanwil P dan K Jateng untuk Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.


Berita opini lainnya :

atas