back
Serambi MADURA PadepokanVirtual
Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment

LAIN-LAIN
Kamis, 12 Agustus 1999
Surabaya Post


Mendikbud Juwono Gemes, PTA Sulit Dibendung

KINI ada sekitar 50 ribu mahasiswa Indonesia belajar di luar negeri di antaranya di Australia, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dan beberapa negara lain. Sekilas jumlah itu relatif kecil, bahkan kalau dibandingkan jumlah mahasiswa di Indonesia mungkin hanya sekitar 2%-nya saja.

Tapi kalau dilihat dari ongkos kuliah dan biaya hidup yang mereka keluarkan, bisa membuat geleng-geleng kepala. Misalnya, seorang mahasiswa rata-rata mengeluarkan minimal Rp 8 juta/bulan dari koceknya. Kalau dihitung setahun, seorang mahasiswa harus mengeluarkan Rp 96 juta.
Nah bayangkan kalau dikalikan 50 ribu mahasiswa, maka total jenderal dana yang dikeluarkan untuk sekolah di luar negeri sekitar Rp 4,8 triliun/tahun. Yang mencengangkan lagi, dana sebesar itu setara dengan tiga kali lipat anggaran sektor pendidikan dan kebudayaan yang dianggarkan pemerintah dalam APBN sekarang.
Benarkah dana sebesar itu memberi kontribusi positif bagi pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) Indonesia? Mengapa dunia pendidikan dan pelaku kebijakan tak mampu meredam pelarian dana ke luar negeri lewat jalur edukatif ini? Padahal negeri butuh dana cukup besar untuk memulihkan perekonomian dalam negeri.
Selintas tampak unik dan ironis. Betapa tidak. Meski krisis ekonomi saat ini belum pulih betul, namun perguruan tinggi asing (PTA) tak surut menggaet calon mahasiswa di negeri ini. Sejak awal Juli sampai Agustus saja, tercatat sudah ada lima kali pameran pendidikan luar negeri yang mencoba menawarkan programnya di Surabaya. Di Jakarta jauh lebih banyak lagi.
Gejala ini memang bukan hal baru, karena sejak tiga-empat tahun lalu "pialang pendidikan asing" sudah menjajaki peluang itu.
Bahkan "serbuan" PTA tidak lagi terbatas lembaga pendidikan asal Austaralia dan Amerika saja yang aktif, tapi Kanada, Inggris, Selandia Baru, Jepang, Prancis, Jerman, Singapura, bahkan Malaysia pun mencoba memberikan alternatif pilihan.
PTA-PTA itu bukan hanya menawarkan jasa kemudahan fasilitas kuliah di sana, tapi ada yang telah menjajaki kerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia dan berijazah dari negeri asalnya.
Melihat gencarnya serbuan itu, Mendikbud Juwono Sudarsono pun mengaku gemas. Apalagi dia sudah mengecek langsung beberapa PTA. "Ada PTA menggunakan nama Amerika. Setelah saya cek banyak yang gombal. Yang menjawab hanya answering machine saja," ujarnya.
Juwono tidak melarang sekolah di luar negeri tapi dia berharap masyarakat lebih berhati-hati dan jangan sampai dipedaya.
Bila mau informasi, kata Juwono, Dikti sudah punya daftar PTA yang baik atau gombal. Ia meyayangkan PTA gombal-gombal itu terus memasang iklan dan media massa dalam negeri mau memuat atas nama kebebasan.
"Agar masyarakat dapat informasi benar, dia meminta perhatian media agar tak memuat iklan PTA gombal itu. Tapi repotnya, tak semua bagian iklan media massa tahu PTA gombal itu. Kami bisa memberikan daftar cukup tebal itu bila membutuhkan," katanya.
Hal senada dikemukakan Ketua Kopertis VII, Prof Dr drh H Rochiman Sasmita MS. Ia mengingatkan, sebaiknya calon mahasiswa jangan gampang tergiur tawaran PTA yang mengaku telah terakreditasi badan internasional.

Peluang

Apalah arti sebuah harapan bila pelaku pendidikan tidak mampu meyakinkan masyarakat bahwa mutu edukasi dalam negeri bukan lagi kelas kambing. Karena Mendikbud akan kesulitan membendung kenyataan bila sektor pendidikan telah menjadi ladang investasi cukup menggiurkan. Pasar yang satu ini makin terbuka lebar dan pengelola PTA melihat peluang itu dan siap bersaing merebut calon mahasiswa.
Alasan dari para penyelenggara hampir seragam, ingin memberikan gambaran kepada masyarakat Indonesia tentang meraih kesempatan pendidikan di negara asalnya.
"Pameran ini menyediakan kesempatan bagi para calon siswa dan keluarganya untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk beluk pendidikan di Australia," kata salah seorang penyelenggara Pameran Pendidikan Australia di Hotel Sangri-La, awal pekan lalu.
Dipilihnya Surabaya sebagai tempat pameran bersama beberapa perguruan tinggi Australia itu, karena dia melihat potensi pasar memungkinkan untuk itu.
"Kami melihat masyarakat Surabaya yang ingin kuliah ke luar negeri cukup besar, karena itu kami memberanikan diri menggelar pameran ini, sebagai alternatif pilihan mereka yang ingin belajar ke luar negeri," katanya.
Dia juga melihat dari tahun ke tahun masyarakat Indonesia yang belajar ke Australia terus meningkat. "Dari visa belajar yang dikeluarkan Kedubes Australia di Jakarta tiap tahunya naik rata-rata 30-40%," katanya.
Iklan-iklan yang ada itu ternyata bukan hanya untuk perguruan tinggi semata, iklan sekolah menengah pun coba ditawarkan. Misalnya saja SMU Negeri Melbourne, Australia.
Untuk meyakinkan calon mahasiswa dari Indonesia, PTA itu menggelar acara pameran, lengkap dengan konsultasi gratis. Biasanya digelar di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Medan.
"Dalam pameran itu memang informasinya dikemas secara apik. Tapi apakah seapik itu akreditasinya? Itu yang harus diteliti lebih jauh oleh siapa yang hendak masuk di dalamnya. Supaya tidak getun belakangan," ujar Mien R. Uno, selaku Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional, Senin (9/8) malam.
Masalahnya, banyak orang tak tahu kemana harus mencari informasi lebih jauh soal mutu PTA yang gencar mengiklankan diri tersebut. Padahal, tidak jauh-jauh, informasi itu dapat diperoleh di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, Senayan, Jakarta.
"Kalau ada yang minta informasi sekolah maupun perguruan tinggi di luar negeri, pasti kami layani," ujar Dirjen Dikti Satryo Soemantri Brodjonegoro. Namun sayangnya, hingga sekarang belum banyak masyarakat yang memanfaatkan layanan gratis ini.

Tak Terhindarkan

Diakui atau tidak ternyata "serbuan" PTA itu memang sesuatu yang harus dihadapi. Persoalannya siapkah perguruan tinggi kita bersaing?
Dekan Fakultas Pendidikan IKIP Jakarta, Dr Mulyono Abdurahman, mengakui belum banyak perguruan tinggi yang mampu bersaing dan andai ada jumlahnya relatif kecil. Tapi kalau mau jujur perguruan tinggi sudah saatnya menyiapkan diri, jika tidak sangat berbahaya sekali.
Dalam kondisi seperti itu, apakah tepat kalau PTA dibiarkan 100% masuk? "Saya kira kalau kita bertahan memprotek perguruan tinggi kita, pengaruhnya juga tidak selalu bagus. Mungkin justru akan banyak PT di negeri ini yang akan leha-leha saja. Lagi pula ini tuntutan globalisasi. Kita tak bisa menutup diri. Yang jelas kalaupun kita menutup diri, melalui internet masyarakat bisa belajar," katanya.
Sedang Ketua IEU Surabaya, Robert J. Wattimury PhD mengakui, mereka yang berminat untuk melanjutkan studi ke luar negeri tak lain karena melihat tantangan masa depan yang begitu kompleks. "Biasanya alasan utama mereka yang memilih studi ke luar negeri karena tuntutan era globalisasi. Ada anggapan mau tak mau globalisasi harus dihadapi penguasaan ilmu yang setara dengan apa yang ada di luar negeri," katanya.
Dia melihat minat mereka yang ingin melanjutkan pendidikannya di luar negeri dari Jatim cukup besar, karena itu wajar kalau kemudian banyak promosi PTA di sini. Dan itu sesuatu yang tak terhindarkan dalam era globalisasi saat ini.
Dasar itu pulalah yang kemudian mendorong lembaganya menawarkan program studi bisnis internasional untuk "membendung" minat mereka yang ingin ke luar negeri hanya karena beralasan di sini tak ada program studi itu. "Kami menilai 'serbuan' PTA itu sesuatu yang positif, karena hal itu memang tak bisa dibendung," katanya.
Hal sama juga diakui Ketua IBMT Surabaya, Asmoro Hadi Widjojo yang juga menawarkan konsep pendidikan berwawasan internasional dalam berbagai mata kuliahnya. "Kami memang mencoba memberikan alternatif kepada mereka yang ingin kuliah ke luar negeri. Pertimbangannya kenapa harus ke sana jika di sini memang kita punya," katanya.
Itu dilakukannya karena kuliah di luar negeri bukan tanpa kendala, ambil misal, katanya, ketika kurs mata uang kita berbeda amat jauh beberapa waktu lalu dengan mata uang asing lainnya, mereka terpaksa harus pulang, karena biaya yang dikeluarkannya sangat berlipat-lipat. "Itu hanya soal biaya. Dalam soal pola pergaulan, banyak mahasiswa kita di luar negeri mengalami cultural shock setelah mereka berada di sana," katanya.
Dilaporkan: Sukemi, Heru Darmanta (Surabaya) Yusuf Susilo Hartono, Nurdin Saleh (Jakarta)