back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

KOMPAS
Dikbud - Jumat, 05 Mei 2000

Di Balik Senyum Sang Jenderal
Sebuah Analisis Psikologis terhadap Kepribadian Soeharto

Oleh Niniek L Karim dan Bagus Takwin

TAK dapat dipungkiri Soeharto adalah satu dari sedikit manusia langka. Spekulasi tentangnya mencakup latar belakang keluarga, budaya, pendidikan, dan strategi yang dipakai orang yang pernah dipilih oleh Asiaweeks sebagai "orang yang paling berkuasa di Asia" merebak di mana-mana. Kali ini Laboratorium Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia melakukan penelitian lebih jauh mengenai perilaku politik Soeharto. Penelitian itu mulai dilakukan pada kuartal III tahun 1997. Tim peneliti memprioritaskan pada kajian terhadap dinamika kepribadian Soeharto, terutama dari segi trait (sifat yang menonjol) dan motif (suatu keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertindak) yang dominan serta pengaruhnya terhadap tingkah laku kontrol politiknya. Diharapkan dengan mengetahui dinamika perilaku tersebut, akan diperoleh juga kesempatan lebih jauh mempelajari dinamika perilaku politik Orde Baru.

Greenstein (1969) menekankan pentingnya pemahaman terhadap faktor kepribadian aktor politik, karena kepribadian adalah suatu atribusi konstitutif yang bersifat relatif menetap yang akan mempengaruhi keyakinan, sikap dan aktivitas politik. Atribusi konstitutif mencakup trait dan motif berinteraksi dengan faktor lingkungan (latar budaya dan sosialisasi), akan mempengaruhi tingkah laku politik seorang politikus. Pandangan inilah yang menjadi dasar teoritis penelitian terhadap kepribadian Soeharto.

Tulisan ini merupakan versi pendek hasil penelitian tahap pertama dari empat tahap yang direncanakan. Fokus versi ini adalah hasil analisis kualitatif terhadap enam pidato nonteks Soeharto.

Tanda-tanda yang mengarah pada gambaran kepribadian Soeharto

Upaya pertama Tim Peneliti Laboratorium Psikologi Sosial Universitas Indonesia (UI) untuk menemukan indikasi kepribadian Soeharto, dengan melakukan analisis kualitatif terhadap enam buah pidato nonteks-nya. Yang dianalisis pada tahap ini adalah pidato tanpa teks yang dipilih berdasarkan karakteristik orang-orang yang menjadi pemirsa. Keenam pemirsa itu adalah

  1. Kelompencapir yang datang ke Tapos, 15-3-1987;
  2. Paguyuban Werkhreise, para veteran yang terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, Yogyakarta, 30-12-1994;
  3. Militer di Pangkalan Laut Militer di Teluk Rantai, 1994;
  4. Para dalang pada Penataran P4 Dalang, 1-1-1995;
  5. Masyarakat Indonesia (kebanyakan pelajar) di Mesir, 14-5-1998;
  6. Para pengusaha di Kalimantan Timur, 16-8-l997.

Pada setiap pidato nonteks Soeharto selalu tampil indikasi kemampuan menangkap dan mengingat informasi-informasi penting, penggunaan dan pemaparan data cukup lengkap dalam alur deskripsi yang merasionalisasi "motif-motifnya". Daya tangkap, daya ingat, kreativitas yang tinggi itu semua menunjukkan adanya indikasi kemampuan belajar dan analisis-sintesis yang sangat baik atau kecerdasan yang tinggi pada Soeharto.

Indikasi kedua yang juga sering tampil dalam pidato-pidato nonteks Soeharto adalah perilaku rasionalisasi. Dalam pengertian psikoanalisis perilaku ini merupakan satu bentuk mekanisme pertahanan diri (defense mechanism), dengan gejala dominan menyepelekan atau menganggap mudah hal-hal yang besar/sulit, serta menganggap besar atau penting hal-hal yang kecil/mudah dengan argumentasi yang seakan-akan rasional. Soeharto selalu berusaha memberi penjelasan seolah-olah apa pun yang ia lakukan masuk akal dan pasti kebenarannya.

Dalam pidatonya di Teluk Rantai, contohnya, Soeharto berupaya menjelaskan alasan ia melakukan prosedur jalan-pintas yang berbeda dari prosedur baku dalam pembelian kapal perang bekas dari Jerman. Terlepas dari bahasa Indonesia-nya yang buruk, penjelasan Soeharto sejak ia mengetahui adanya tawaran sampai dibelinya kapal-kapal itu, mempunyai sistematika yang cukup runut. Namun, tampak beberapa indikasi kebohongan. Ia menerangkan bahwa ia telah mencoba hubungi Menristek BJ Habibie yang belum tahu tentang adanya kapal perang itu, tetapi ternyata sedang pergi ke Jerman untuk tugas lain. Sangat mengherankan kalau Presiden Soeharto tidak tahu bahwa Menristek sedang bertugas ke Jerman, padahal dalam aturan protokoler Indonesia, menteri wajib lapor Presiden ke mana pun ia pergi. Juga sangat mengherankan kalau Menristek yang saat itu sedang di Jerman, orang yang punya akses yang baik di sana, bahkan sering sekali menjadi contact person Indonesia-Jerman, tidak tahu-menahu soal penjualan kapal perang itu. Terkesan di sini Soeharto menganggap kecil masalah kesalahan prosedur pembelian kapal yang dilakukannya, menganggap tidak perlu dipersoalkan atau dituntut pertanggungjawaban lebih lanjut.

Indikasi berikutnya adalah usaha kontrol politik yang dominan, yaitu dengan cenderung mengurusi hal-hal kecil dan mengabaikan pihak yang secara formal seharusnya terkait dengan urusan tersebut. Ia tampak menempatkan dirinya sebagai penentu kegiatan-kegiatan pejabat yang ada di Indonesia, bila perlu memotong jalur birokrasi. Contohnya, ia memutuskan membeli kapal perang bekas Jerman tanpa konsultasi yang memadai dengan ABRI dan tidak disertakannya beberapa pejabat yang harusnya berwenang di sini.

ya baiklah kalo begitu saya tunjuk saja yang sudah dikenal,... Nah di sini letaknya kenapa saya enggak menyerahken pada Hankam. Pada waktu itu karena untuk mengejar supaya betul-betul apa...eh... kapal itu bisa kita beli (Kutipan Pidato di Teluk Rantai, 1994)

Pada beberapa pidato Soeharto tampil indikasi perilaku mengancam dan defensif. Dalam pidato Teluk Rantai, ia mengajukan ancaman yang sekaligus berfungsi sebagai mekanisme defensif terhadap kritik-kritik yang dilontarkan media massa.

ada surat-surat kabar yang setengah-setengah mengerti kemudian lantas, eh... mengulang pendapatnya sendiri yang seolah-olah nadanya justru memanfaatkan hal yang mereka kurang jelas itu untuk mengeruhken situasi, mengadudomba, menghasut satu sama lain, kemudian dus sekarang menimbulkan curiga-mencurigai, mau tidak mau kalo terus-menerus ini merupakan satu gangguan daripada stabilitas politik maupun juga stabilitas nasional, sebab stabilitas nasional merupaken bagian daripada trilogi pembangunan harus kita betulkan daripada mereka, tidak bisa kita peringatken ya apa boleh buat... ya toh, harus kita ambil tindakan karena apa namanya, mengancam mengganggu daripada trilogi pembangunan yang menjadi tumpuan daripada pembangunan kita itu, baik stabilitas nasional, pertumbuhan maupun juga daripada pelita. (Kutipan Pidato di Teluk Rantai, 1994)

Ancaman itu pun terlaksana. Seperti diketahui, pemerintah kemudian memberangus media yang menyoroti dengan tajam kasus pembelian kapal tersebut. Pembreidelan Tempo pada tahun 1994 diduga erat kaitannya dengan pidato tersebut.

Indikasi perilaku defensif lainnya muncul dengan langsung menyangkal bahkan bertolak belakang dari yang dituduhkan terhadap diri dan keluarganya.

...Nah, sekarang memang kita sedang mengalami kejutan saya kira juga tidak seperti yang digambarkan yaitu di luar negeri kalau Indonesia sudah dalam keadaan sangat-sangat payah, kekurangan pangan, dan sebagainya, sebetulnya tidak, baru saja kita memang menghadapi musim kemarau panennya kurang, dan sekarang sudah panen lagi yang berarti pula dari pangan sudah tidak ada sampai yang kelaparan... (Kutipan Pidato di depan masyarakat Indonesia di Mesir, 1998)

...aa tadinya barangkali ada yang melihat bahwasanya ini Tapos,... untuk melihat istana di Tapos, lantas melihat... aaa... apa namanya pernah melihat rekreasi di Tapos, apa itu golf-course, apa tempat berenang maupun juga daripada helipad dan lain sebagainya. (...) enggak ada, istananya pun nggak ada (...) (Kutipan temu muka Kelompencapir di Tapos, 1987)

Ditemukan pula adanya indikasi trait haus kekuasaan (lust of power). Trait haus kekuasaan mencakup tiga ciri perilaku. Yaitu: (1) obsesi untuk menguasai orang dan benda-benda; (2) perilaku verbal yang memanipulasi beberapa informasi mengindikasikan usaha distorsi realita baik secara sadar maupun tak sadar; (3) perilaku menunjukkan kekuasaannya lewat berbagai bentuk dan tanda.

Penggunaan kata-kata "kekuatan", "menguasai", "kuasai", "perlindungan", "mutlak harus menguasai", "kendalikan", "armada yang kuat", "unggul", "handal", "tangguh", "eksploitir", dan "kejayaan" dalam pidatonya di Teluk Rantai mengindikasikan perilaku keinginan untuk menguasai berbagai hal.

Sekadar contoh mengenai perilaku verbal yang merupakan usaha untuk melakukan distorsi realita bisa ditunjukkan dari kutipan pidatonya di Kaltim pada peresmian pabrik-pabrik di situ.

Sedang kayu ini sekarang untuk melestariken lingkungan tidak kita ambil dari hutan yang anu hutan yang lebat tapi hutan yang ditanem sendiri disediaken untuk apa namanya pabrik kertas, dinamaken hutan taneman industri.

Penggunaan kata "saya" untuk mewakili "pemerintah dan negara" yang ada pada hampir semua pidato; "ancaman-ancaman" yang dikemukakan seperti: "kalau mereka tidak bisa dikasih tahu, ya terpaksa akan ditindak tegas..." bisa digolongkan dalam kategori "mempertunjukkan kekuasaan". Indikasi ini tampaknya dapat dihubungkan dengan upaya terus-menerus dalam setiap kesempatan untuk mempertahankan kekuasaan dengan menjabarkan berbagai simbol dan peristiwa sejarah. Dari sekian banyak upaya tersebut, salah satu contohnya dalam pidato di depan masyarakat Indonesia di Mesir:

Jadi dengan demikian, sejarah ini dengan sendirinya memberi pelajaran pada kita, suatu reformasi yang tidak sesuai dengan UUD '45 memberiken kebebasan pada partai, ternyata juga tidak membawa kestabilan bahkan sampai pemberontakan-pemberontakan.

Ada kecenderungan membanggakan diri pada Soeharto. Penekanan pada keberhasilan-keberhasilan yang diperolehnya dilakukan berulang-ulang dalam setiap kesempatan di setiap pidato.

saya kebetulan saya dapat kehormatan memimpin wilayah DIY sebagai komanda Werkraise III daripada Brigade 10, saya kemudian Brigade 10 pada waktu itu, pada waktu e sang e... pada waktu Belanda menyerang, kita segera, tidak kemudian lantas bingung, tetapi juga bertekad segera melakuken perlawanan dengan perang gerilya.

... ah ya itu diatasi dengan pemulihan keamanan dan secara kebetulan presiden pada waktu itu memberikan kekuasaan pada saya melewati Perintah 11 Maret Supersemar lahir daripada Supersemar, eh surat perintah yang memberi kepercayaan kepada ah panglima ah pemulihan eh...eh komando keamanan dan ketertiban untuk mengambil tindakan yang dinilai perlu untuk membangun negara, bangsa republik persatuan dan sebagainya.

Indikasi berikut adalah pengaruh budaya Jawa. Keluarga tempat Soeharto tumbuh menanamkan nilai-nilai budaya Jawa dalam dirinya. Nilai-nilai budaya Jawa yang didasarkan pada etika Jawa (Magnis-Suseno, 1991) mengandung dua prinsip utama yaitu: (1) kehormatan dan (2) kerukunan. Kehormatan utama, dalam batasan nilai yang dijunjung, berkaitan dengan kehormatan keluarga dan pribadi. Kesalahan dan rahasia keluarga harus ditutupi dan dijaga agar tidak diketahui orang luar, kalau perlu dengan pengorbanan jiwa dan raga. Seperti dikatakan Rokeach (1972), nilai adalah faktor yang berfungsi sebagai panduan tentang baik-buruknya sesuatu dan patokan tindakan yang harus ditampilkan seseorang. Ia sering menggunakan istilah-istilah Jawa dalam pidato-pidatonya.

"Dus supaya Pancasila dan UUD '45 agar supaya betul-betul rakyat itu bisa merasa turut handarbeni daripada pancasila itu. Kalo sudah turut handarbeni berarti juga turut hangulung wekti. Wajib hangulung wekti daripada pancasila itu, kemudian ngleres saliro handorowosowani. Terus demikian sehingga berkelanjutan." (Kutipan pidato di depan para dalang, 1995).

Dia tak pernah lepas dari senyum. Dengan senyum ia menutupi konflik dan sikapnya terhadap lawan politiknya, sehingga sulit untuk dideteksi.

Dalam indikasi pengaruh keluarga terlihat betapa ia defensif melindungi keluarganya dalam beberapa pidatonya. Dalam pidato di depan Masyarakat Indonesia di Mesir ia membantah tuduhan bahwa keluarganya melakukan monopoli pembangunan di Indonesia.

...tuduhan bahwasanya negara itu dibangun, dimonopoli oleh keluarga Soeharto, gitu yaitu keluarga Cendana, eh... itu sama sekali tidak benar itu (...) suatu fitnah saja daripada semuanya itu (...) Jadi tidak ada yang dimiliki oleh keluarga sama sekali, tidak ada, gitu.

Dalam setiap pidato Soeharto ditemukan pula pola yang relatif sama yang mencakup tujuan utama pidato (pesan utama) dan penjelasan-penjelasannya. Walau dengan cara bertutur yang sangat jauh dari kaidah bahasa Indonesia yang benar, namun terlihat adanya sistematika pikiran yang runut yang menfasilitasi intensitas pencapaian tujuan utama di setiap pidato Soeharto.

Gambaran kepribadian Soeharto

HD Lasweell (1951, 1960) salah seorang pelopor psikologi politik mengemukakan bahwa, pada hakikatnya kegiatan politik dapat dipandang sebagai arena untuk pelampiasan kebutuhan-kebutuhan penegakan "harga diri" (self esteem) yang selama ini tidak terpenuhi. Tingkah laku politik pada dasarnya bersumber dari predisposisi-predisposisi intrapsikis yang dialihkan (displacement) pada kepada obyek-obyek publik.

Pengakuan diri yang bisa ditarik dari otobiografinya, Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), ditambah beberapa referensi lain yang mengulas tentang dirinya, lalu dihubungkan dengan hasil analisis kualitatif dari enam pidato nonteksnya, akan dapat mendukung konklusi bahwa perilaku yang ditampilkan Soeharto merupakan bentuk overkompensasi dari penegakan harga diri (self esteem) yang selama ini tidak terpenuhi. Soeharto dikenal sebagai anak desa yang masa kecilnya kurang menyenangkan, dengan kondisi hubungan antar- orangtua yang tidak harmonis serta mengandung beberapa ketidakjelasan (yang tidak dikemukakan olehnya, namun menjadi pergunjingan di masyarakat), berpindah-pindah tempat dengan berganti figur yang harus dituruti, dan dalam status menumpang. Semua itu potensial untuk menyakitkan secara emosional. Kondisi itu sangat mungkin mengganggu proses pembentukan dan pengembangan konsep diri dan mengganggu harga dirinya, pada akhirnya menimbulkan overkompensasi di diri Soeharto yang terwujud dalam perilaku politiknya.

Laswell mengemukakan bahwa bagian-bagian yang paling mendasar dari faktor predisposisi tingkah laku politik, lebih banyak merujuk kepada faktor-faktor lingkungan terutama nilai-nilai. Mulai dari rasa aman (safety), penghasilan (income), dan rasa hormat (deference), yang akan bervariasi dari individu ke individu dan dari lingkungan ke lingkungan (Laswell & Kaplan, 1950). Pada Soeharto tampak adanya deprivasi kebutuhan yang didasari nilai-nilai tersebut di masa kecil yang selanjutnya menetap di dirinya, terutama dalam hal kesejahteraan dan pendapatan, pemenuhan rasa hormat, kebutuhan untuk berkuasa, dan afeksi. Tuntutan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan itu makin besar dengan adanya pengaruh nilai-nilai Jawa yang mementingkan kehormatan pribadi dan keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut Soeharto melakukan berbagai upaya. Cara kekerasan, dengan teknik penciptaan ketakutan psikologis (psychological fear) yang intensif. Hampir semua bentuk oposisi terhadap Soeharto pada akhirnya harus berhadapan dengan hukuman (aversif) meskipun seringkali dilakukan dengan cara yang secara fisik sangat halus. Cara memanipulasi kesadaran massa, lewat propaganda, pemakaian teks/jargon-jargon tertentu dalam pidato-pidato, modus-modus self presentation di depan publik.

Ia memainkan politik simbol secara intensif, memberikan makna-makna baru seperti "inkonstitusional", "tidak Pancasilais", "tidak sesuai dengan kepribadian bangsa", "mengancam stabilitas nasional", Dominasi pemaknaan dan penafsiran ini menyebabkan esensi berbagai permasalahan menjadi kabur, dan pada akhirnya hanyalah negara dengan Soeharto sebagai pemimpinnya yang berhak untuk menafsirkannya. Kontrol politik otoriter ini dijustifikasinya atas nama "Ideologi Pembangunan" dan ia sendiri dikultuskan sebagai bapak ideologi tersebut. Tampak Soeharto "secara sengaja" memanfaatkan celah longgarnya konstitusi yang mengatur lembaga kepresidenan. Teknik pemberian penghargaan (reward) bagi orang-orang yang loyal juga diterapkan dengan cukup canggih, misalnya, melalui konsensi politik dan konsensi bisnis. Dari sini terlihat jelas bahwa Soeharto sangat memahami teknik-teknik memainkan kontrol politik lewat prinsip-prinsip psikologi.

Perilaku mengontrol pihak yang dikuasai, termasuk kemampuannya mengendalikan kejadian-kejadian politik agar sesuai dengan apa yang dimaui tampil dominan pada diri Soeharto. Apa yang dilakukan Soeharto dalam jabatan politiknya menunjukkan beberapa indikasi perilaku yang tergolong dalam machiavellisme pola tingkah laku yang meliputi perilaku memanipulasi orang lain, tipu daya, cara yang tidak lurus (deviousness), tidak jujur, dan oportunis dengan peningkatan kekuasaan dan pengendalian sebagai motif sentralnya (Reber, 1987). Hal ini bisa menjelaskan berbagai tuduhan yang diajukan kepadanya meliputi perilaku memanipulasi orang lain dengan cara menetapkan satu tafsir baku dari Pancasila dan UUD 1945, cara yang tidak lurus (deviousness) dalam perebutan kekuasaan, perilaku tidak jujur terutama dalam pembeberan sejarah, dan oportunis dalam memanfaatkan peristiwa G30S.

Proses pengkondisian pemahaman masyarakat demi langgengnya kekuasaan juga dapat dilihat dari pembuatan film-film G30S/PKI, Serangan Fajar, Enam Jam di Yogya, dan Janur Kuning. Budi Irawanto (1999) menegaskan bahwa film-film ini merupakan medium pelaksanaan hegemoni militer era Orde Baru.

Karakter lain yang bisa diterakan pada kepribadian Soeharto, yaitu authoritarian. Karakter ini pada intinya adalah struktur kepribadian yang dianggap sebagai "antidemokrasi" (Adorno, et al, 1950), di mana ciri-ciri utamanya adalah: bersikap sangat kaku terhadap aturan-aturan konvensional (konservatisms), menuntut kepatuhan tanpa reserve dari bawahannya, kecenderungan bertindak agresif terhadap pihak-pihak yang menentang otoritasnya, tidak mau menerima kritik dari pihak lain, sangat percaya pada hal-hal yang bersifat takhayul (superstitious), serta mudah terpengaruh oleh stereotip-stereotip, mementingkan kekuasaan dan "ketangguhan" (toughness). Pada beberapa penelitian (Toland, 1976; Christie, 1954; Brown, 1956; Fromm, 1984) menunjukkan tipe kepribadian otoritarian ini banyak ditemui pada kalangan militer, terutama misalnya zaman fasisme militeristik (Nazi, Mussolini). Hal ini juga menjelaskan mengapa Soeharto cocok dan menikmati profesinya sebagai tentara.

Penutup

Beberapa hal dalam penelitian ini masih perlu digali lagi lebih dalam. Diharapkan dalam tahap-tahap berikutnya gambaran yang lebih detail dan tajam dapat diperoleh.

Apa relevansi penelitian ini dengan kondisi Indonesia sekarang dan nanti?

Seorang dengan kepribadian berciri machiavellian dan authoritarian, dengan latar belakang deprivasi beberapa kebutuhan dasar di masa kecil yang menetap sehingga membuatnya cenderung melakukan over kompensasi, bila memiliki juga kecerdasan yang tinggi, didukung kesempatan dan kondisi lingkungan, bisa menjadi pemimpin yang terlalu berkuasa. Kekuasaannya bisa mengarahkan dia menjadi seorang diktator, melakukan tindakan-tindakan tirani. Bagi Laswell, demikianlah kepribadian seorang politikus, memiliki segi positif seperti kecerdasan, enerjetik-ambisius, senang bekerja keras, dan lainnya yang memang diperlukan untuk bisa menjalankan pemerintahan.

Namun, Laswell mengingatkan bahwa seorang politikus sangat bisa membahayakan ketika ia dibiarkan memegang kekuasaan yang terfokus di dirinya. Agar tidak terjadi lagi seperti yang telah dilakukan Soeharto terhadap Indonesia, maka dibutuhkan lembaga kontrol yang bersih, kuat dan berwibawa yang bisa mengimbangi bahkan, lebih berkuasa dari kekuasaan pemimpin itu. Inilah yang perlu segera diwaspadai dan ditanggapi oleh Indonesia terhadap siapa pun yang menduduki jabatan pemimpin di negeri ini.**

(* Niniek L Karim dan Bagus Takwin, staf pengajar di Jurusan Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia).


Berita dikbud lainnya:

atas