GAMMA
Nomor: 31-2 - 26-09-2000
The Corporate Mystics
Oleh Ahmad Najib Burhani
"Tak jarang 'para mistikus' baru ini menonton film, main
golf, dan berlibur ke luar negeri."
DOKTOR Gay Hendricks dan Doktor Kate Goodeman, dalam buku
manajemen mutakhirnya, The Corporate Mystics, memprediksi, "Pada
pasar global nanti Anda akan menemukan orang-orang suci, 'para
mistikus', atau kaum sufi, di perusahaan-perusahaan besar atau
organisasi-organisasi modern, bukan di wihara, biara, kuil, gereja,
atau masjid." Agaknya, ramalan beberapa tahun lalu itu kini mulai
menuai kebenarannya.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, dalam ceramah lisannya pada workshop
tentang "Urban Sufism: Alternative Paths to Liberalism and Modernity
in Contemporary Indonesian Islam" yang diselenggarakan Griffith
University, Brisbane, Australia, dan IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 8-9 September lalu, membagi sufisme yang berkembang menjadi
tiga besar: student sufism, conventional/orthodox sufism, dan urban
sufism.
Kelompok-kelompok usrah atau halaqah mahasiswa yang ada di ITB,
UI, IPB, dan UGM termasuk jenis student sufism. Sementara itu,
kelompok sufi yang secara umum dikenal, seperti pada tarekat
Al-Munfaridiyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syatariyah, Tijaniyah,
dan sejenisnya, termasuk konvensional alias orthodox sufism.
Penekanan sikap keberagamaan yang ditampilkan student sufism
lebih mengacu pada aspek legal dari ajaran agama atau
berkecenderungan pada fikih, berorientasi pada pembentukan moral
atau akhlak mulia, dan kadang mengalienasikan diri dari komunitas di
luar kelompoknya. Pada orthodox sufism, orientasinya terletak pada
pengamalan praktik ritual keagamaan. Kelompok ini berusaha meniru
sebanyak mungkin ibadah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad, para
sahabat, dan kaum sufi -terutama pemimpin tarekatnya.
Zikir, salat malam, khalwat, dan puasa adalah amalan-amalan
andalan. Sufisme model ini memiliki ketergantungan yang begitu kuat
kepada guru, mursyid, atau khalifah. Seseorang tak diakui sebagai
anggota tarekat tertentu sebelum melakukan baiat kepada pemimpin
tarekat atau orang yang telah ditunjuk sang pemimpin. Hampir bisa
dikatakan, "tak ada tasawuf jenis ini tanpa keterlibatan imam". Di
lingkungan Nahdlatul Ulama, ada sekitar 40-an tarekat atau kelompok
conventional sufism yang diakui dan dinilai sah keberadaannya.
Berbeda dengan dua corak tasawuf di atas, urban sufism adalah
jenis komunitas tasawuf yang memiliki karakter baru, dan lazimnya
terjadi di perkotaan. Mereka memiliki gaya hidup yang bertolak
belakang dengan kaum sufi yang secara umum dikenal - lebih tepatnya
stereotyped - oleh masyarakat. Kaum sufi jenis ini memiliki
apreasiasi yang demikian tinggi terhadap teknologi dan modernitas.
Paling tidak, apa yang mereka tampilkan dalam tingkah laku
sehari-hari merupakan indikator. Mereka tak lepas dari ponsel,
mengendarai mobil mewah, berkantor di kawasan pusat bisnis, dan
sering bertandang ke hotel berbintang.
Umumnya, para penempuh jalan mistik baru ini terpelajar (mostly
an educated people), berasal dari kalangan yang secara materi
berkecukupan, dan para pekerja profesional. Keterlibatan mereka
dalam dunia mistik tak banyak berpengaruh pada sikap dan corak
pergaulan yang selama ini menjadi tradisi yang, barangkali, positif.
Mereka tidak melakukan pengasingan atau menutup diri dari komunitas
masyarakat. Mereka masih berkomukasi dengan dunia luar. Hampir tak
kentara batasan antara mereka yang "sufi" dan yang "awam". Bahkan,
tak jarang para mistikus baru ini menonton film, main golf, dan
berlibur ke luar negeri.
Sufisme kaum urban tak mengenal adanya khalifah atau mursyid,
tidak ada baiat, dan tanpa hirarki kepemimpinan. Kalaulah ada guru
spiritual yang sangat dihormati, sifatnya tetap berada dalam
kewajaran hubungan guru-murid. Meski di Tazkiya ada Jalaluddin
Rakhmat dan Paramadina memiliki Nurcholish Madjid, keduanya tak
pernah dipuja bagaikan Imam Mahdi sebagai sang penolong. Tak pernah
ada prosesi pengakuan sebagai murid secara formal atau terjadi
upacara penghormatan khusus kepada sang guru. Relasi yang dibangun
mursyid dengan para salik bersifat demokratis, egaliter, dan
sederajat.
Warna lain dari sufisme kontemporer adalah mereka lebih tertarik
kepada tokoh-tokoh seperti Ibn 'Arabi, Bayazid Al-Bustami,
Suhrawardi, Mulla Sadra, Mansur Al-Hallaj, dan Rabiah Al-'Adawiyah.
Ini berlainan arah dengan sufisme konvensional yang amat
mengidolakan tokoh seperti Abdul Qadir Al-Jilani dan Al-Tijani.
Pertanyaan yang amat penting dikemukakan: Apakah sikap-sikap
seperti yang ditampilkan para mistikus kontemporer itu yang
diharapkan Fazlur Rahman dan Nurcholish Madjid dengan gagasan
neosufismenya? Apakah model itu yang ditunggu-tunggu Buya Hamka
dengan konsep tasawuf modernnya?
Persoalan ini memang pelik. Namun, setidaknya, gagasan tasawuf
baru itu berpijak pada tiga premis. Pertama, modernisme -seperti
sering dituduhkan- memiliki beberapa ekses negatif. Salah satunya
adalah kegersangan spiritual. Inilah yang mengakibatkan orang modern
berbondong-bondong menyerbu mistik. Kedua, meski modernisme
mengandung ekses negatif, banyak nilai positif yang dilahirkannya.
Ketiga, tasawuf positif, neosufisme, dan tasawuf modern adalah jenis
tasawuf yang berusaha tetap berpijak pada nilai positif dari
modernisme - seperti rasionalitas, kerja keras, demokratis - dan
menambahkannya dengan akhlak serta nilai batin (spiritualitas).
Ahmad Najib Burhani, Pengamat keagamaan
atas