back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

KOMPAS
OPINI - Senin, 11 September 00

Meningkatkan Kemampuan Teknologi Bangsa
Oleh Mochtar Buchori

BARU-baru ini, Prof Jeffrey Sachs dari Universitas Harvard menulis artikel, The New Map of the World (The Economist, edisi 24-30 Juni, 2000). Dalam artikel itu Prof Sachs mengemukakan, dunia kini tidak lagi terbagi-bagi oleh ideologi, tetapi teknologi.

Dilihat dari sudut teknologi, kata Prof Sachs, dunia kini terbagi menjadi tiga kelompok. (1) Kelompok technological innovators, mencakup 15 persen dari penduduk dunia, tetapi menguasai seluruh inovasi teknologi di dunia. (2) Kelompok technological adopters, mencakup sekitar separuh penduduk dunia, yaitu kelompok bangsa-bangsa yang mampu menguasai teknologi-teknologi baru hasil inovasi, terutama teknologi produksi dan konsumsi. (3) Kelompok technologically excluded, mencakup sekitar sepertiga penduduk dunia, yaitu kelompok yang tidak mampu memperbaharui teknologi tradisional mereka dan tidak mampu menguasai inovasi-inovasi yang dihasilkan masyarakat di luar wilayah mereka. Wilayah yang termasuk kategori tehnologically excluded ini tidak selalu berupa negara atau bangsa; kebanyakan berupa "kantung-kantung" dalam suatu negara.

Prof Sachs mengingatkan, negara yang tidak mampu mengikuti dinamika teknologi global, berangsur-angsur mengalami kemunduran dan keterasingan, akhirnya lumpuh. Penyebabnya, karena ekspor mereka yang berupa komoditas primer-pertanian, perkebunan, kehutanan, dan hasil pertambangan akan digusur produk-produk sintetis. Selain itu, masalah demografis memperburuk keadaan negara-negara yang tidak mampu mengikuti dinamika teknologi global. Negara-negara golongan ini biasanya memiliki laju pertumbuhan penduduk tinggi, yang hanya akan berhenti bila terjadi serangkaian reformasi melalui pendidikan, terutama pendidikan wanita, dan gerakan keluarga berencana.

Kini ada kontras tajam antara negara-negara yang termasuk kelompok technological innovators dengan negara-negara kelompok technologically excluded. Kelompok pertama memiliki kemampuan berinovasi yang makin tinggi, sedangkan kelompok kedua selalu tertinggal (dan makin jauh) dalam kemajuan teknologi. Berdasarkan situasi itu, tidak ada harapan, kelompok technologically excluded akan dapat mengejar ketinggalan mereka, kecuali bila pendidikan berhasil meningkatkan kemampuan teknologi mereka.

Akibatnya, tingkat kemakmuran material negara-negara dengan kemampuan inovasi teknologi tinggi berkembang pesat, sedangkan negara-negara atau wilayah-wilayah yang termasuk kelompok technologically excluded kian terjebak ke dalam kemiskinan material.

Ketimpangan antara kelompok inovator dan non-inovator dalam soal jumlah penduduk, jumlah GNP, dan persentase paten secara global dilukiskan Prof Sachs dalam lihat gambar.

Dari Gambar I terlihat beberapa ketimpangan. Pertama, kelompok inovator dengan kemampuan inovasi paling tinggi, hanya 10,4 persen dari penduduk dunia (tahun 1995 jumlah penduduk 5,7 milyar) berhasil menguasai 87,2 persen dari 111.906 paten (= 97.582 paten) yang terdaftar tahun 1997. Berdasar kemampuan ini mereka mendapatkan 41,3 persen GNP dunia yang pada tahun 1995 berjumlah 33,8 trilyun dollar AS. Artinya, sekitar 593 juta manusia berkemampuan inovasi teknologi tinggi menguasai 97,502 paten yang terdaftar di Amerika Serikat, dan menikmati GNP 13,96 trilyun dollar. Ini berarti, dalam masyarakat berkemampuan inovasi teknologi tinggi, GNP per kapita adalah 39,7 juta dollar pada tahun 1995.

Sebaliknya, negara-negara atau wilayah-wilayah non-inovators yang mencakup 4,85 milyar penduduk (85,1 persen dari 5,7 milyar penduduk) hanya menguasai 0,78 juta paten yang terdaftar di AS (0,7 persen dari 111.906 paten), dan karena keterbatasan teknologi, GNP mereka hanya 15,04 trilyun dollar. Berdasarkan angka-angka itu, dapat diketahui, dalam masyarakat bukan inovator, GNP per kapita pada tahun 1995 hanya 3,1 juta dollar.

Dari angka-angka itu, terlihat betapa besar ketimpangan yang ada di antara masyarakat yang mampu melakukan inovasi teknologi dengan masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan itu.

Situasi di Indonesia

Lantas, bagaimana keadaan Indonesia dalam kemampuan inovasi teknologi?

Secara keseluruhan Indonesia masuk kategori technological adopters. Ini gambaran makro. Namun bila negara kita diperhatikan secara mikro, akan diketahui banyak wilayah yang sebenarnya merupakan "kantung-kantung" keterkucilan teknologi (pockets of technologically excluded areas). Masyarakat Baduy di Banten Selatan, masyarakat Tengger di Jawa Timur, masyarakat di sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa, sebagian besar masyarakat di Irian Jaya, suku Dayak di Kalimantan, masyarakat di pulau-pulau kecil dari Pulau Simeulue dan Kepulauan Banyak, Daerah Istimewa Aceh di Samudera Hindia, terus ke Kepulauan Sangir-Talaud, Propinsi Sulawesi Utara di Laut Sulawesi, sampai ke Kepulauan Kai dan Kepulauan Aru, Provinsi Maluku Selatan di Laut Arafuru, adalah wilayah-wilayah yang bersifat terkucil secara teknologis (technologically excluded). Saya kira ini merupakan golongan penduduk yang tidak kecil.

Bila kita tidak berbuat apa pun untuk memecah keterkucilan mereka, maka penduduk di wilayah-wilayah ini akan kian terbenam dalam kemiskinan material. Ini berarti, penurunan potensi bangsa dalam memecah berbagai masalah yang sedang dihadapi. Kita akan makin bergantung pada golongan penduduk berkecukupan secara material-yang jumlahnya tidak banyak-dalam menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang dihadapi bangsa. Ini merupakan suatu situasi tidak sehat.

Bila kita tidak berbuat sesuatu untuk meningkatkan kemampuan bangsa dalam hal teknologi, tidak mustahil status kita sebagai technological adopters kian menurun, dan suatu saat posisi ini akan lepas dari genggaman. Karena itu, upaya meningkatkan kemampuan teknologi pada generasi muda menjadi agenda yang harus diprioritaskan.

Secara keseluruhan, ada dua langkah dasar yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Pertama, mendorong kelompok-kelompok tertentu di masyarakat agar berkembang menjadi kantung-kantung inovasi teknologi. Pada dasarnya kita sudah memiliki kantung-kantung seperti itu, hanya kesan saya, jumlahnya terlampau kecil. Kedua, mengusahakan agar wilayah-wilayah yang kini bersifat terkucil secara teknologis, berangsur-angsur ditingkatkan menjadi wilayah yang berkemampuan mengadopsi hasil-hasil inovasi.

Kedua hal itu tidak dapat dilakukan begitu saja. Dibutuhkan waktu untuk menumbuhkan generasi berkemampuan mengadopsi inovasi teknologi dan mampu mengadakan inovasi teknologi. Untuk itu, jalannya hanya satu, pembaruan pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).

Fondasi kemampuan teknologi

Pembaruan pendidikan MIPA ini harus dilakukan dari tingkat Pendidikan Dasar (SD dan SLTP) sampai Pendidikan Menengah (SMU). Apa saja yang harus dilakukan untuk menyusun kembali rancangan pendidikan MIPA di sekolah-sekolah kita?

Ini pertanyaan amat sulit, bahkan bagi mereka yang sudah lama berkecimpung di bidang pendidikan ini. Pada tingkat individual dan kelompok kelas, pertanyaan ini relatif mudah dijawab. Tetapi pada taraf nasional, pertanyaan ini memerlukan pemikiran bersama. Masalahnya, diperlukan peninjauan ulang dan mendasar atas kehidupan budaya kita guna mengatasi ketakutan dan kecurigaan terhadap MIPA yang dibiarkan tumbuh di masyarakat dari generasi ke generasi. Bagi seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga santri tradisional, kata "hukum alam" akan mengejutkan, karena yang didengar tiap hari selama ini adalah "Hukum Tuhan". Bagaimana mungkin, alam ciptaan Tuhan mempunyai hukum sendiri? Masih banyak lagi prasangka-prasangka yang harus diatasi untuk membuat pendidikan MIPA diterima dengan hati terbuka dan minat besar oleh tiap anggota dari setiap generasi baru.

Mencegah "mathematical and scientific illiteracy"

Jadi apa saja yang harus dilakukan? Dari bacaan saya ketahui, yang pertama-tama perlu dipikirkan adalah bagaimana menyusun program pendidikan MIPA dapat dicerna tiap siswa. Bagaimana caranya, agar anak-anak yang takut serta lemah kemampuan intelektualnya dalam matematika, pada akhir pendidikan dasar memahami konsep-konsep dasar MIPA yang ada dalam fenomena kehidupan sehari-hari. Apa arti "suhu", "limit", "konstitusi", dan sebagainya?

BILA kita betul-betul ingin meningkatkan kemampuan bangsa di bidang teknologi di masa depan, maka tidak boleh ada anak-anak muda yang buta matematika (mathematically illiterate) dan buta IPA (scientifically illiterate). Memang, tidak semua siswa berminat menjadi ahli matematika, ahli IPA, atau ahli teknologi. Tetapi suatu masyarakat hanya akan berhasil mengembangkan kemampuan teknologi cukup tinggi bila di masyarakat ada lapisan-lapisan penduduk dengan tingkat pemahaman matematika dan ilmu pengetahuan alam (MIPA) yang beragam, dari kemampuan yang bersifat expertise, sampai yang bersifat apresiatif.

Menurut Lord Snow, pada dasarnya tiap masyarakat yang ingin mengalami "revolusi ilmiah" (scientific revolution)-yaitu loncatan raksasa dalam penguasaan MIPA-harus mampu mengembangkan empat lapisan penduduk dengan penguasaan MIPA yang berbeda-beda. Paling atas lapisan alpha-plus scientists, yaitu ilmuwan-ilmuwan pengetahuan alam dengan kemampuan amat tinggi yang jumlahnya di bangsa mana pun tidak pernah besar. Lapisan kedua, kelompok alpha professions, jumlahnya lebih besar dari kelompok pertama, bertugas melakukan supporting research, the high class design and development. Pada lapisan ketiga ada ilmuwan-ilmuwan yang melakukan secondary technical jobs. Lapisan keempat adalah politisi, birokrat, dan masyarakat umum dengan pemahaman MIPA memadai, sehingga mereka mengerti apa yang dibicarakan para ilmuwan (natural scientist).

Bila kita menerima pandangan Lord Snow, berarti pengetahuan MIPA harus dimiliki seluruh lapisan penduduk. Mereka yang tidak ingin menjadi ahli MIPA pun perlu tahu, apa itu MIPA? Inilah alasan, mengapa siswa tidak dapat dibiarkan buta matematika dan buta IPA.

Norman Levitt dari Departemen Matematika, Universitas Rutgers mengemukakan alasan yang bersifat sosio-kultural tentang hal ini. Kebutaan matematika yang dibiarkan melembaga, artinya dibiarkan menjadi hal biasa, akan "menimbulkan akibat-akibat yang amat membahayakan kehidupan budaya dan politik pada taraf global dan transpersonal." Mereka yang buta matematika, umumnya mudah merasa jengkel dan terganggu bila berhadap dengan manusia-manusia pemikir yang selalu tidak sabar menghadapi dan kemudian menolak argumen-argumen yang bersifat ceroboh. Masyarakat yang membiarkan tumbuhnya kebutaan MIPA, akan selalu menolak argumen-argumen yang menuntut pemikiran yang bersifat rasional, sistematis, dan tidak berpihak. Singkat kata, kebutaan
MIPA yang melembaga akan membuat masyarakat kehilangan kemampuan berpikir secara disipliner dalam menghadapi masalah-masalah nyata, dari yang sepele sampai yang gawat.

Kedua jenis kebutaan ini pada taraf nasional akan membuat mereka yang bekerja di bidang-bidang berlainan tidak mampu memahami "rasionalitas" masing-masing. "Rasionalitas" politisi berbeda dari "rasionalitas" akademisi, sehingga antara kedua kelompok ini saling sulit memahami. Sebab, karena tidak ada "rasionalitas umum" (common rationality) yang akan melahirkan kemampuan untuk saling memahami (mutual intelligibility).

Menurut Levitt, pendidikan MIPA yang merata akan memberi suatu generasi common rationality dan mutual intelligibility. Dan bila kita dapat mengembangkan cara yang membuat suatu perbendaharaan konsep-konsep matematika dan sains yang nontrivial dapat dipahami dan dicerna tiap orang yang senang berpikir, akan tercipta suatu instrumen intelektual dan kultural yang mampu merekat (to cement) berbagai jenis rasionalitas yang ada di berbagai cabang kehidupan.

Prof James Trefil dari Departemen Fisika, Universitas George Mason mengemukakan sisi lain tentang scientific literacy. Dikatakan, untuk bisa hidup tanpa bingung di zaman modern, amat dibutuhkan sejumlah pengetahuan tentang IPA. Ketika dunia ramai membicarakan the human genome, DNA, molecular electronics, post traumatic mental disorder, dan sebagainya, kita hanya akan menjadi penonton yang bingung bila tidak menguasai konsep dasar IPA. Dalam hidup sehari-hari, ketika harus berhubungan secara pribadi dengan produk teknologi baru, kita sebenarnya memerlukan penguasaan sejumlah konsep dasar tentang sains dan teknologi. Bila tidak, kita hanya menjadi budak peralatan teknologi yang serba modern itu.

Saya kira, banyak di antara kita yang biasa mengendarai mobil tanpa punya gambaran tentang struktur mobil sebagai suatu sistem. Akibatnya, bila ada hal yang tidak beres, yang bisa dilakukan hanya ke bengkel. Begitu pula di antara pemakai komputer, banyak yang tidak memahami perangkat keras dari komputer sebagai sistem. Bila terjadi gangguan, lalu bingung. Masih banyak contoh yang dikemukakan Prof Trefil untuk memperlihatkan, hidup di zaman modern dengan menggunakan peralatan serba modern akan amat membingungkan, bahkan menakutkan bila kita tidak membekali diri dengan apa yang disebut dengan istilah scientific literacy.

"Scientific Literacy" dan "Cultural Literacy"

James Trefil tidak memberi definisi langsung dari scientific literacy. Apa yang dilakukan untuk menjelaskan konsep ini ialah melukiskan perilaku orang yang dianggapnya scientifically literate, yaitu: "a person is scientifically literate if he or she has enough of a background in science to deal with the scientific component of issues that confront him or her daily" Scientific literacy ini merupakan bagian literacy yang lebih luas lagi yang disebutnya dengan istilah cultural literacy, dan didefinisikan sebagai "that body of knowledge that educated people, in a given society, at a given time, assume that other peope possess".

Jadi bila kita lihat secara holistic, dapat dikatakan, tujuan pendidikan umum ialah membuat generasi muda menjadi culturally literate. Dalam rangka inilah mereka harus menguasai mathematical and scientific literacy. Sayang, Levitt tidak memberi deskripsi cukup pendek dan jelas (concise) mengenai konsep mathematical literacy. Bila pemahaman saya tentang uraian Levitt benar, maka rupanya pandangan mathematical and scientific literacy merupakan satu konsep. Tidak perlu diadakan pemisahan antara komponen matematika dan komponen IPA. Menurut pemahaman saya, mathematical literacy menekankan pemahaman dan ketaatan terhadap peraturan-peraturan logika dan epistemologi (logical and epistemological rules) dalam argumentasi. Sedangkan scientific literacy menekankan pemahaman dan ketaatan terhadap prosedur dan ketentuan-ketentuan metodologis dalam telaah ilmiah (scientific inquiry).

Menurut Trefil, untuk hidup dalam masyarakat yang maju dalam sains dan teknologi-seperti di Amerika Utara, Eropa Barat, negara-negara di kawasan Nordic, Jepang, Australia, dan sebagainya-susunan materi IPA yang perlu dikuasai awam terdidik meliputi 17 topik: (1) Causality/order, (2) Energy/entropy, (3) Electricity/ Magnetism, (4) The atom, (5). Chemical bonds/tractions, (6) Natural selection/evolution, (7) Cellular/biochemistry, (8) Genetic code/molecular medicine, (9) Plate tectonics, (10) Bog bang, (11) Stars and galaxies, (12) Mendelian genetics, (13) Properties of materials, (14) Earth cycles, (15) Ecosystems, (16) Relativity, (17) Quantum mechanics.

Itu standar untuk Amerika Utara, yang mungkin tidak seluruhnya sama dengan standar untuk Eropa, Jepang, atau Australia. Bagaimana dengan Indonesia? Dari daftar topik itu, mana yang perlu dimasukkan ke program pendidikan MIPA tingkat SD, SLTP, SMU, dan topik-topik mana yang saat ini tidak perlu dimasukkan ke dalam program?

Masalah ini perlu dibicarakan para guru MIPA. Selain topik juga perlu dipikirkan isi tiap topik. Masalah kausalitas/keteraturan (causality/order) misalnya, jelas merupakan topik yang harus dimasukkan ke dalam program. Anak tingkat SD harus mulai belajar mengenali konsep kausalitas dan keteraturan. Tetapi, materi apa saja yang perlu dimasukkan ke dalamnya?

Persoalan praktis

Selain hal-hal itu, perlu dibicarakan beberapa hal praktis yang akan dihadapi bila akan memperbarui pendidikan MIPA. Perlu disusun program pendidikan MIPA yang dapat dicerna tiap siswa. Bagaimana caranya? Menurut saya, dengan menciptakan lebih dari satu program untuk tiap mata pelajaran MIPA. Misalnya, untuk pelajaran aljabar, perlu dikembangkan program A untuk anak berbakat; program B untuk anak biasa; program C untuk anak-anak yang lamban. Jadi ada Aljabar A untuk SLTP kelas I sampai SMU kelas III, Aljabar B, dan Aljabar C. Dengan demikian tidak akan ada anak yang sama sekali buta aljabar. Dengan program-program alternatif ini, anak-anak yang ikut program A hingga akhir SMU, sudah memahami teori-teori dasar Boolean Algebra. Bagi mereka yang mengikuti program C, akan berhenti pada pelajaran statistik deskriptif atau sendi-sendi statistik inferensial.

Hal yang sama dapat dilakukan untuk pelajaran lain: planimetri, solid geometry, fisika, kimia, biologi, dan seterusnya. Persyaratan untuk diversifikasi pelajaran seperti ini, guru-guru harus bekerja sendiri untuk menciptakan program-program alternatif tadi.

Soal kedua ialah masalah mengatasi ketakutan terhadap pelajaran MIPA, dan bagaimana membuat prinsip-prinsip yang abstrak menjadi pelajaran yang menyentuh siswa. Pengalaman saya, dengan memberi informasi tentang pribadi-pribadi dari MIPA, materi pelajaran yang paling "dingin" pun dapat dibuat "hidup", menarik. Tanpa penjelasan bersifat biografis, hukum-hukum Pascal akan merupakan materi pelajaran yang mungkin menjemukan bagi kebanyakan anak.

Informasi-informasi biografis membuat materi yang pada dasarnya terletak di luar minat dan kemampuan, menjadi terasa menarik dan kadang menyenangkan, mengubah sikap semula. Ketika menjumpai uraian tentang posisi Laplace dalam perdebatan yang tidak saya mengerti, saya lalu mencari informasi biografis tokoh astronomi dan matematika yang bernama lengkap Pierre Simon (marquis de) Laplace, 1749-1827.

Apa yang hendak saya katakan adalah, materi yang terasa kering dan menakutkan dapat dibuat lebih "ramah", lebih menarik melalui cerita-cerita yang bersifat biografis mengenai tokoh-tokoh MIPA. Nah, bila cara itu dapat membantu saya di hari tua untuk menjadi lebih literate tentang matematika, IPA, dan teknologi, tentunya cara yang sama akan berguna untuk membuat siswa kita lebih menghargai MIPA bagi kehidupan pribadi mereka di masa depan, masa yang tidak dapat lari dari IPA dan teknologi modern.

*) Mochtar Buchori, pengamat pendidikan, mantan Rektor IKIP Muhammadiyah Jakarta.

Berita opini lainnya:

atas