a name=top>
back
Serambi MADURA PadepokanVirtual
Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment

JAWA TIMUR
Kamis, 04 November 1999
Surabaya Post


Sudah Saatnya Tonjolkan Kultur Negara Maaritim

Jember - Surabaya Post

Kendati terbilang lambat, namun kebijakan Presiden KH Abdurrahman Wahid tentang eksplorasi kelautan dinilai sangat rasional. Sikap keterbukaan dan budaya mundur merupakan bagian tradisi dari masyarakat pesisir (nelayan) sejak zaman nenek moyang kita yang pelaut.
"Kebudayaan mengundurkan diri di lingkungan masyarakat nelayan Madura sudah sering saya amati," kata Drs Kusnadi MA, peneliti masalah kelautan dan masyarakat pesisir dari Universitas Negeri Jember, di kantornya, Rabu (3/11).
Masalah eksplorasi kelautan, lanjut Kusnadi, bukan sekadar masalah perikanan. Tetapi banyak sektor yang perlu digarap, terutama komunitas masyarakat pesisir, wisata, pelayaran, dan sebagainya.
Sehingga dalam jangka panjang nanti diprediksikan juga akan muncul konflik sosial akibat perebutan lahan-lahan sekitar pantai. Baik antara masyarakat sendiri maupun institusi yang akan mengembangkan kawasan tersebut.
"Untuk itu nanti dalam proses otonomi daerah juga harus dipersiapkan peraturan-peraturan untuk menata masyarakat pesisir," kata Kusnadi, sambil menegaskan kalau hal itu tidak ditata sejak dini dikhawatirkan rakyat kecil tetap jadi korban.
Tentang era keterbukaan dan budaya mundur dari kalangan pejabat setingkat menteri, sebagai mana dianjurkan Gus Dur beberapa waktu lalu, dinilai tepat mewakili kultur masyarakat pesisir.
Dicontohkan, dalam lingkungan nelayan Madura dan masyarakat nelayan pada umumnya, bila seorang pandega atau pimpinan perahu dua kali mengalami kegagalan saat masa petengan (tidak ada musim ikan) maka yang bersangkutan pasti mengundurkan diri.
Ini berarti karier seseorang berorientasi pada prestasi. Demikian pula sikap keterbukaan juga melekat, seperti banyak ditemui dalam komunitas nelayan seperti di pantai Puger Jember. Secara terbuka sesama nelayan, jelang melaut berbicara sambil bergurau pada rekannya bahwa ia akan menikahi istri awak nelayan yang tewas di tengah laut.
Pertimbangannya tentu rasional. Kalau janda nelayan itu dibiarkan maka tidak ada yang mengurusi dan memberi nafkah keluarga. "Akar kultur negara maritim ini yang harus mulai ditonjolkan, bukan negara agraris seperti dulu," tambah alumnus S2 yang mengambil jurusan antropologi masyarakat pesisir di Universitas Indonesia ini. (ess)