back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long e-Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

KOMPAS
OPINI - Senin, 4 Desember 2000

Dana, Pedang Bermata Dua


MENJADI benar-benar mandiri itu memang sulit. Apalagi apabila tuntutan tersebut ditujukan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat, yang dalam orientasi kerjanya sangat menabukan keuntungan. Sulit dipahami gerak sebuah organisasi non profit bisa bertahan di tengah gempuran kapitalisme saat ini. Namun apa mau dikata, itulah perjalanan organisasi non pemerintah di negeri ini. Bahkan, ironisnya, menyandang kata "swadaya" pun dianggap terlalu berlebihan, lantaran sama sekali tidak terlihat unsur swadaya di sana.

Bila demikian keadaannya, dari manakah sebuah organisasi nonpemerintah mendapatkan pendanaan? Dalam akta pendirian sebuah organisasi bersifat non profit, sumber-sumber dana biasanya tercantum berasal dari tiga komponen, yaitu iuran anggota, donatur yang mengikat ataupun tidak, serta sumber dana lain seperti hasil usaha yang dilakukan oleh organisasi tersebut.

Untuk organisasi semacam LSM iuran anggota tidak banyak terdengar. Pekerjaan yang lebih bertitik-tolak pada isu ketimbang pencarian anggota merupakan alasan keberadaan organisasi ini. Oleh karena itu, jarang terdengar mengenai keanggotaan dan iuran dalam organisasi semacam ini.

Begitupun dengan komponen hasil kegiatan usaha organisasi. Masih dirasakan terlalu berat, bagi sebuah LSM untuk mengelola usaha yang mampu memberikan kontribusi bagi pendanaan keseluruhan organisasi. Nama-nama besar seperti Bina Swadaya, Dian Desa, bisa menjadi contoh dari sedikit organisasi yang secara serius mengelola berbagai usaha dalam upaya memberikan kontribusi bagi gerak organisasi.

Untuk sebagian besar LSM, pendanaan melalui sumbangan donatur menjadi harapan terbesar. Pendanaan macam ini biasanya sangat tergantung pada proyek yang diajukan. Oleh karena itu, tidak melulu salah jika sebutan sebagai kontraktor pelayanan umum acap ditujukan kepada mereka.

Betapa tidak, jika ditinjau dari mekanisme dan cara kerjanya secara garis besar memang tidak banyak berbeda dengan para kontraktor proyek pembangunan gedung sekolah dasar, yaitu mengajukan proposal proyek, disetujui pemberi dana dan proyek berjalan. Tidak menjadi persoalan apabila dikemudian hari gedung sekolah tersebut ambruk lantaran ketidaksesuaian dengan spesifikasi gedung yang ideal.

Lebih menyedihkan lagi berkaitan dengan ketergantungan pada sumber-sumber pendanaan pihak luar, yang sebagian besar beralasal dari para funding luar negeri justru melahirkan tuduhan yang tidak sedap. Masih terngiang jelas tudingan minor bahwa LSM sebagi antek-antek bagi pihak asing yang menjual informasi ke luar negeri. Begitupun tudingan terhadap para aktivis LSM yang dianggap menjual isu-isu kemiskinan, penderitaan rakyat, agar pendonor bermurah hati mengucurkan dananya.

Mansour Fakih tidak menampik adanya pandangan seperti itu. Ia mengatakan bila berpikir dengan kecurigaan maka pandangan bahwa LSM mencari duit akan muncul. Namun, bila berpikir dengan tidak curiga menganggap sebagai sesuatu yang wajar bahwa pada setiap kegiatan, akan selalu ada dukungan dari mereka yang seide dengan kegiatan tersebut.

Selain itu, pimpinan Insist, organisasi yang bergerak dalam pendidikan, penerbitan, dan perlindungan HAM ini, lebih yakin bukan LSM yang mencari dana tetapi isu LSM tersebut mampu memancing pihak lain untuk berkolaborasi dengan memberikan dukungan. Sebagai contoh, pada jaman pemilu lalu, sepanjang kegiatan yang dibuat bertujuan pemilu jujur maka besarnya dana tidak menjadi persoalan. "Organisasi di dunia yang percaya negara akan sejahtera karena pemilu jujur, tanpa melihat lebih jauh mengenai sistem dan struktur, pasti akan membantu," tuturnya.

***

Persoalan dana memang acapkali menjadi batu sandungan. Bagaikan pedang bermata dua, di satu sisi dana membuat program kerja dapat berjalan. Namun, sisi lain ia juga sanggup membuat mabuk para penggunanya. Tidak heran, berbagai kecaman mengenai pemanfaatan dana ini acapkali menjadi sorotan negatif masyarakat terhadap keberadaan LSM.

Kasus Pemilu 1999 lalu dapat dijadikan contoh, betapa urusan pendanaan menjadi persoalan bagi beberapa LSM. Sebagaimana diketahui, menghadapi pesta demokrasi pertama kalinya di era reformasi itu, tidak kurang dari 15 negara plus uni eropa mengucurkan sumbangan sebanyak 59 juta dollar AS. Dari jumlah sebesar itu, sekitar 17 juta dollar AS (sekitar Rp 119,4 milyar pada kurs Rp 7.000 per dollar AS) dikucurkan kepada LSM lokal untuk membiayai berbagai proyek seperti pemantauan (monitoring) pemilu dan pelatihan bagi para pemilih.

Saat itu, serta-merta beragam proyek usulan kegiatan diajukan bermacam-macam LSM, yang pada akhirnya terpilih sebanyak 30 organisasi yang berhak menjalankan program dengan dana internasional. Tak pelak, bagaikan mendapatkan durian runtuh, dana milyaran rupiah berputar pada organisasi yang sebagian besar berusia dini tersebut. Apa yang terjadi selanjutnya? Gemuruh pemilu memang nyaring terdengar.

Siapapun juga sepakat untuk mengklaim, inilah pemilu paling bergairah yang pernah dialami bangsa ini. Namun sayang, belakangan justru meninggalkan bau tidak sedap. Dalam laporan pertanggungjawaban pemakaian dana bantuan (Juni 2000), misalnya, cacat itu begitu mencolok terlihat. Untuk salah satu LSM yang berkiprah dalam bidang perburuhan, dalam laporan tertera dari sekitar Rp 4,5 milyar (645.633 dollar AS) dana yang diterima untuk program pemantauan pemilu, tidak kurang dari Rp 1,7 milyar (241.496 dollar) tidak jelas pertanggungjawabannya. Demikian pula untuk kegiatan yang sama, salah satu LSM yang mengkhususkan diri pada pemantauan pemilu dari sekitar Rp 24 milyar (3.383.277 dollar) masih menyisakan persoalan pertanggungan dana sebesar Rp 1,2 milyar (180.206 dollar). Betapa memprihatinkan. (bes / Litbang Kompas)

Berita opini lainnya:

atas