back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

KOMPAS
IPTEK - Rabu, 16 Agustus 00

Kebijakan Energi Nasional
Oleh Dr Kurtubi

MENCUATNYA masalah kelangkaan premium belakangan ini, di mana sebelumnya telah muncul pula masalah penyelundupan minyak solar dan pengoplosan minyak tanah yang hingga saat ini belum ada formula penyelesaian yang solid dan tuntas, sebenarnya semuanya ini merupakan sebagian kecil dari akibat ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah di bidang energi (national energy policy).

Masyarakat bertanya, hendak ke mana arah kebijakan energi kita hendak digiring, khususnya komoditas bahan bakar minyak (BBM).

Apakah sudah tepat kebijakan energi kita sekarang ini di mana di dalam kenyataannya BBM diarahkan untuk menjadi satu-satunya tumpuan masyarakat (termasuk kalangan industri) di dalam memenuhi kebutuhan energinya? Hal ini terlihat dari kebijakan harga BBM dalam negeri yang kehilangan orientasi serta sikap pemerintah yang membiarkan saja, bahkan terkesan pro-aktif ikut menganjurkan bagi sektor-sektor tertentu untuk beramai-ramai beralih dari gas/ batu bara /sumber energi lainnya ke BBM. Juga terlihat dari kenyataan bahwa pihak industri yang secara terencana mendesain investasi dan pabriknya untuk menggunakan BBM bersubsidi.

Industri besar seperti industri tenaga listrik, industri manufaktur, industri makanan, transportasi, dan sebagainya perlu diarahkan untuk mengurangi atau tidak menggunakan BBM bersubsidi. Investasinya harus didesain untuk menggunakan jenis sumber daya energi yang cadangannya lebih banyak (gas dan batu bara), dapat mendatangkan effisiensi pabrik yang lebih tinggi (gas), lebih ramah lingkungan (gas), dan mengutamakan jenis energi yang tidak bisa diekspor (panas bumi).

Jangan sampai "mentang-mentang" harga BBM yang "sangat murah" (karena disubsidi) lalu semua investasi diarahkan untuk menggunakan BBM. Dalam konteks ini, kebijakan energi nasional kita masih sangat rancu dan sangat tidak berpihak untuk kepentingan bangsa di dalam jangka panjang (non-sustainable based policy)!

***

NEGERI kepulauan dengan penduduk lebih 200 juta orang ini hanya memiliki cadangan terbukti (proven reserves) sekitar lima milyar barel minyak. Kemampuan produksi minyak mentah sekitar 1,5 juta barel per hari, berarti akan habis (baca: kering) sekitar sembilan tahun lagi, apabila tidak ada penemuan yang signifikan. Seyogianya mempunyai acuan kebijaksanaan energi yang jelas, rational dan berwawasan jauh ke depan (energy sustainable based policy), tidak bersifat ad-hoc.

Cetak biru atau panduan makro kebijakan energi nasional perlu didesain ulang. Paling tidak, kalau memang sudah ada, perlu penyempurnaan dan konsistensi implementasinya di lapangan sehingga mampu merangsang pengembangan (diversifikasi) jenis sumber energi nonminyak secara wajar yang juga dimiliki bangsa ini. Kurang bijaksana untuk menempatkan BBM sebagai sumber pemenuhan energi nasional secara berlebihan, yang menggiring masyarakat, industri dan kegiatan ekonomi untuk tergantung pada BBM secara total (all-out).

Kalau model kebijaksanaan ini diteruskan, maka yang akan rugi adalah masyarakat kita sendiri, terutama generasi yang akan datang pada saat cadangan minyak sudah kering sementara pola kehidupan mereka sudah telanjur terdesain untuk menggunakan BBM yang murah.

Menurut studi dan prediksi yang dilakukan berbagai ahli ekonomi energi dan perminyakan dunia, harga minyak pada tahun 2010 akan sangat mahal karena sebagian besar sumur-sumur minyak di luar Timur Tengah, termasuk di Amerika Serikat, Laut Utara, Amerika Latin, dan Indonesia, akan mengering, sementara tingkat permintaan minyak sangat tinggi (sekitar 90-100 juta barel per hari, bandingkan dengan tingkat permintaan pada tahun 2000 ini yang besarnya sekitar 75 juta bph). Padahal di lain pihak, saat ini Indonesia mempunyai cadangan batu bara dan gas yang cukup untuk waktu masing-masing sekitar 50 dan 30 tahun pada tingkat produksi sekarang. Itu pun dengan asumsi tidak ada penemuan baru.

Dengan demikian, sangat rasional kalau kebijakan energi nasional didesain dan diarahkan untuk tidak tergantung pada BBM secara berlebihan. Untuk sektor tenaga listrik dan industri besar, seyogianya diarahkan untuk memakai gas, bukan memakai BBM bersubsidi seperti solar dan minyak bakar.

Masyarakat perlu diinformasikan dan dididik untuk dapat mengurangi pemakaian minyak tanah dan solar. Minyak tanah yang juga dipakai sebagai bahan bakar pesawat terbang serta minyak solar yang dipakai sebagai bahan bakar kendaraan bermesin diesel, serta premium untuk kendaraan pada umumnya saat ini dibeli oleh pemerintah dengan harga sekitar Rp 2.000 per liter di Singapura. Impor itu dijual di dalam negeri dengan harga masing-masing hanya Rp 280, Rp 550, dan Rp 1.000 per liter.

Sumber daya energi yang tidak dapat diekspor (non-tradable good) seperti panas bumi, harus bisa dikembangkan secara wajar untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri. Sedangkan minyak yang cadangannya sangat terbatas, perlu dihemat secara total dan lebih diarahkan untuk perolehan devisa. Prinsip ini secara empiris terbukti sangat feasible dan menguntungkan bagi kepentingan bangsa.

Pada saat ekonomi negeri ini masih terpuruk sebagai akibat krisis multi dimensi yang dialami seperti sekarang, data dari Bank Indonesia setiap minggu secara jujur berbicara bagaimana besar peran sektor migas nasional mendatangkan devisa. Dapat dipastikan bahwa apabila saat ini kita tidak lagi mampu mengekspor komoditas migas, maka ekonomi nasional akan menjadi lebih terpuruk dan tingkat ketergantungan pada petuah dan kemauan pihak lain menjadi lebih besar. Pasalnya, sekalipun ekspor nonmigas juga mencatat angka yang tinggi, tetapi sebagian besar dari hasil ekspor tersebut ditengarai diparkir di luar negeri oleh para eksportir sehingga tidak banyak mendorong tambahan kegiatan investasi dan aktivitas ekonomi dalam negeri.

Hal yang berbeda dengan devisa migas yang 100 persen masuk ke rekening pemerintah (Bank Indonesia) sehingga bisa dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah dalam menunjang kebijakan ekonomi makro. Namun, perolehan devisa dari ekspor migas belakangan ini terbebani meningkatnya impor BBM sebagai akibat lonjakan permintaan yang sebagian disebabkan meningkatnya kegiatan penyelundupan dan pengoplosan, karena disparitas harga yang mencolok antarjenis BBM (minyak tanah dan solar, premium dan solar) maupun antara harga dalam negeri dibandingkan dengan harga eceran di negara tetangga (Singapura, Malaysia, dan Filipina).

***

HINGGA saat ini, di semua negara industri maju yang tergabung dalam Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), penetapan harga komoditas energi, khususnya BBM, masih diatur pemerintah masing-masing dalam bentuk penetapan pajak energi/minyak. Kebijakan untuk mengatur tingkat konsumsi minyak ini, merupakan bagian dari kebijaksanaan energi nasional mereka yang berdampak langsung pada tingkat penerimaan anggaran masing-masing negara.

Lain di sana lain pula di sini. Kalau di negara-negara OECD dan juga di hampir semua negara berkembang, konsumsi BBM dalam negeri bisa mendatangkan penerimaan yang sangat signifikan bagi anggaran belanja negaranya, yang terjadi di Indonesia adalah bahwa konsumsi BBM merupakan beban bagi APBN. Ikut campur tangan pemerintah dalam mekanisme harga BBM dalam bentuk pajak negatif (subsidi) sangat memberatkan anggaran belanja negara yang berujung pada rendahnya kemampuan pemerintah dalam membiayai pembangunan pendidikan, kesehatan, keamanan, dan prasarana ekonomi. Pada tahun 1998/1999, misalnya, besarnya subsidi BBM ini sekitar Rp 28 trilyun.

Sebenarnya, subsidi yang sangat besar ini tidaklah perlu dipermasalahkan kalau jumlah tersebut diterima kelompok masyarakat ekonomi lemah yang memang wajar untuk mendapatkan subsidi dari negara. Karena pemberian subsidi tersebut melekat dengan fisik/volume BBM, maka siapa pun yang mengonsumsi BBM tersebut secara langsung telah menikmati subsidi termasuk kelompok masyarakat menengah ke atas, industri dan pemodal besar serta PMA/investor asing. Padahal subsidi tersebut ditanggung APBN yang berarti juga ditanggung seluruh rakyat termasuk masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan yang bekangan ini jumlahnya semakin membengkak.

Menurut data yang dilaporkan oleh sebuah penelitian mengenai subsidi BBM, ternyata jumlah subsidi BBM yang salah sasaran (target error) tersebut cukup signifikan, (lihat tabel).

Dengan mempertimbangkan faktor keadilan serta keterbatasan sumber daya minyak yang kita miliki, sudah waktunya semua pihak termasuk para wakil rakyat di DPR untuk dapat melihat jauh kedepan. Mempertahankan tingkat harga BBM yang sangat rendah sepintas berkesan sangat "populis", namun dalam jangka panjang akan sangat merugikan kepentingan nasional.

Harga BBM yang tidak wajar merupakan salah satu sumber ketidakeffisienan ekonomi nasional. Itu terjadi dalam bentuk keputusan investasi yang salah, alokasi sumber daya alam dan modal yang salah, penyebab penyelundupan dan pengoplosan, subsidi yang salah sasaran, pemakaian BBM yang boros, tidak berkembangnya sumber daya energi nonminyak (gas, BBG, panas bumi, batu bara, briket) dan sebagainya.

Laju kenaikan konsumsi BBM yang tinggi dengan tingkat harga yang sangat rendah secara pasti akan mempercepat bangsa ini untuk tergantung sepenuhnya pada BBM impor yang akan sangat menguras devisa. Itu suatu hal yang sangat rawan bagi kepentingan ekonomi dan keamanan bangsa.

Sudah waktunya masyarakat diinformasikan secara transparan dan benar mengenai keadaan potensi energi dan BBM yang kita miliki. Bahwa kondisi sumber daya minyak kita tidak akan mampu mendukung harga BBM yang sangat tidak wajar sekarang ini untuk jangka panjang. Kalau kita sudah bersepakat untuk melindungi kelompok masyarakat yang memang masih perlu dibantu dengan memberikan subsidi langsung, sudah sewajarnya kelompok masyarakat yang memang tidak perlu disubsidi dapat memahaminya bahwa tidak mungkin pemerintah akan memberikan subsidi secara terus-menerus.

Cuma memang diperlukan kearifan dan sikap kenegarawanan pemerintah dan DPR dengan visi jauh ke depan untuk menyampaikan hal tersebut kepada masyarakat di tengah ekonomi masyarakat yang memang belum pulih.

(Dr Kurtubi, anggota United States Association for Energy Economics-USAEE)

Berita iptek lainnya

atas