back
Serambi MADURA PadepokanVirtual
Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment

Jumat
08 Oktober 1999
Radar Madura


Krupuk Tangguk

Krupuk memang sering dikatakan sebagai penganan pelengkap. Ada atau tanpa krupuk, tak jadi soal. Namun, banyak orang yang merasa kurang ‘’sreg’’ bila makan nasi tanpa krupuk. Makan nasi rawon atau soto, misalnya, tentu akan lebih ‘’afdol’’ bila ditemani krupuk. Dan, ada banyak macam krupuk, baik rasa, bentuk, maupun warnanya. Misalnya, ‘’Krupuk Tangguk’’ di Pamekasan. Berikut laporan wartawan Radara Madura tentang krupuk paling kondang di Pamekasan tersebut.

Jika Anda membayangkan Krupuk Tangguk seperti krupuk lazimnya, Anda jelas keliru, Krupuk Tangguk atau krupuk topi (tangguk bahasa Madura = topi, Red), sesuai namanya, bentuk dan ukurannya justru tidak lazim. Yakni, seperti topi petani.

Bisa jadi karena itu, krupuk yang diproduksi di Kampung Pongkoran, Kelurahan Gladak Anyar, Kecamatan Kota Pamekasan ini, sangat kondang. Tapi, mengapa orang membuat krupuk yang ukurannya tidak lazim tersebut? Ini ada ceritanya sendiri, yang berkaitan dengan ucara karapan sapi.

Menurut sebuah cerita, dulu kala, Krupuk Tangguk dipakai sebagai pelindung kepala dari panas terik matahari. Karena itulah krupuk ini disebut krupuk tangguk atau krupuk topi alias krupuk penutup kepala.

Ukuran krupuk Tangguk paling kecil sebesar dampar (meja untuk membaca Al-Qur’an, Red) atau 60 cm x 40 cm. Itu pun sebelum digoreng, jika sudah digoreng ukurannya bisa sebesar meja makan.

Menurut Muslika, salah seorang anggota pembuat Krupuk Tangguk, yang menyebabkan krupuk Tangguk tersebut dikenal oleh masyarakat luas karena bentuk dan ukurannya yang khas dan hanya ditemukan di Pamekasan. Menurut dia, krupuk Tangguk hanya dibuat oleh satu keluarga secara turun temurun dan hanya tersebar di kota Pamekasan,

‘’Saya tidak tahu apakah orang lain bisa membuat krupuk Tangguk ini. Tapi yang jelas sampai saat ini belum ada yang bisa membuatnya. Jadi bukan karena rasanya yang agak lain sehingga orang enggan membuatnya,’’ katanya.

‘’Krupuk ini rasanya akan semakin enak apabila dimakan dengan petis atau bumbu lainnya. Dan biasanya para pembeli membawa sendiri petisnya, bukan disediakan kami,’’ lanjut Muslika.

Muslika juga menjelaskan bahwa cara membuat krupuk Tangguk ini masih dengan cara tradisional dan sederhana. Hal itu karena pihaknya masih terbentur dengan keterbatasan dana, sehingga tidak bisa memproduksi krupuk Tangguk dalam ukuran lebih besar lagi dan dengan cara yang lebih maju lagi.

Sedangkan bahan krupuk Tangguk, kata Muslika, yang utama adalah tepung ketela pohon dan tepung kanji serta garam. Setiap ia mengaku menghabiskan bahan sekitar enam gantang (satu gantang sekitar 3 kg, Red). Jika dinominalkan, sekitar Rp 30.000 per hari, dan selama satu hari bisa memproduksi sebanyak 100 biji krupuk Tangguk.

Sampai saat ini, harga yang dipatok per lembar krupuk Tangguk ini sebesar Rp 1.250. Jika masih dalam keadaan mentah harganya Rp 1000. Saat ini, krupuk ini hanya dipasarkan di Pamekasan, terutama di pasar-pasar seperti pasar Kolpajung, pasar Gurem atau di sekolah-sekolah. ‘’Saya tak kesulitan memasarkannya karena sudah punya pelanggan tetap walaupun tidak banyak,’’ kata Muslika.

Karena itu, kata Muslika, krupuk yang diproduksinya selalu habis. ‘’Jika keluar kami membawa sekitar 50 biji, dan alhamdulillah setiap hari pasti habis, kalau pun ada sisa, paling-paling hanya tersisa dua atau tiga biji,’’ katanya sambil tersenyum.

Dia juga mengatakan, selain di Pamekasan, krupuknya juga pernah dibeli orang dari luar daerah. Misalnya, pernah ada pembeli dari Malang yang memborong sebanyak seratus biji. Akibatnya, mobil pikap yang dibuat mengangkut krupuk tersebut tidak muat karena ukuran krupuk yang sangat besar.

Muslika juga tidak akan menampik jika ada yang meminjami modal untuk mengembangkan usahanya. ‘’Kalau ada, ya saya mau saja Pak. Sebab, itu akan bisa membantu meningkatkan usaha krupuk kami,’’ katanya lugu. (rd)