"Bagi kami, Madura sudah seperti kiamat. Semua kegiatan yang akan kami lakukan, mandheg total," keluh H Achmad, warga Sampang yang ditemui saat menunggu kerabatnya di RSUD Pamekasan. Air bersih, sambungnya, menjadi barang langka. Bahkan yang sangat disesalkan, pengajian yang selama ini rutin dilaksanakan tiap malam, tak bisa lagi berlangsung. Padahal, kegiatan pengajian dan kegiatan-kegiatan lainnya di masjid, selain menjadi forum untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan warga, juga menjadi sarana komunikasi paling vital dalam menjalin hubungan antarwarga.
Belum lagi rasa waswas yang selalu muncul saat kegelapan mulai menjelang, ujar Munir, teman Achmad. Pasalnya, dalam tiga malam terakhir di tempat tinggalnya, selalu ada saja warga yang kehilangan ayam.
"Hari pertama putusnya listrik, sudah ada penjarahan 12 bal tembakau di dekat rumah saya di Pamekasan," ujarnya.
Apa yang dikatakan Munir, dianggukkan beberapa orang lainnya. Tindak kriminal akibat listrik padam ini meningkat cukup tajam.
Beralasanlah imbauan Kapolwil Madura, Letkol Pol Baroto Badroes, yang disampaikan dalam forum koordinasi keamanan bersama Danrem 804 Baskara Jaya, para bupati, dan alim ulama. Ketika itu dia meminta masyarakat mengaktifkan siskamswakarsa. Tapi bagi warga, tak segampang itu mereka bisa melakukan siskamswakarsa.
"Kok sekarang, wong waktu masih ada listrik saja, warga sudah takut. Apalagi gelap begini," ungkap Achmad. Pasalnya, tindak kejahatan saat ini bukan hanya dalam bentuk pencurian atau perampasan. Para penjahat itu tak segan-segan mencederai, bahkan membunuh korbannya.
"Daripada setor nyawa, lebih baik ya menjaga rumahnya sendiri-sendiri," ujarnya.
Tahun 1960-an
Kalau dulu tak banyak lagi yang berhubungan dengan minyak tanah - terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar Pulau Madura - tiba-tiba mereka erat lagi hubungannya dengan cairan berbau khas itu.
Penerangan di rumah-rumah penduduk menggunakan temaram lampu teplok, atau obor yang dipasang di halaman. Keadaan ini mengingatkan Madura 1960-an, ketika listrik belum masuk ke pelosok pulau itu.
Data yang dirangkum dari penduduk, tiap hari mereka membutuhkan minimal dua liter minyak tanah untuk lampu penerangan. Kendati harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 365,00/liter, dengan batas toleransi hingga Rp 385,00/liter, tak urung karena kebutuhan meningkat, harga bisa menjadi dua kali lipat. Di wilayah-wilayah tertentu malah bisa Rp 1.000,00.
Memang, untuk mengatasi hal itu, ada upaya PLN yang bekerja sama dengan Pertamina UPPDN V Jatim, untuk menambah pasokan minyak tanah sebesar 50% di atas kebutuhan normal.
Menurut Wira Penjualan Pertamina UPPDN V, Ir Tata Pandeya, pihaknya sejak Selasa pekan lalu menambah pasokan hingga 425 ton per hari, dari 270 ton kebutuhan normal tiap harinya ke Madura.
Jumlah itu belum termasuk solar yang digunakan untuk menyalakan genset milik PLN.
Bisakah harga minyak tanah turun? Dia tak bisa menjamin karena biang melambungnya harga itu diduga karena adanya permainan agen dan pengecer yang menimbun barang.
"Apalagi kebutuhan masyarakat terhadap komoditas ini sekarang cukup besar. Di sini yang berlaku adalah hukum pasar. Ketika tingkat kebutuhan naik, harga pun ikut melambung. Masyarakat juga jadi faktor pemicu karena mereka mau saja membeli. Belum lagi yang main borong, membeli berpuluh liter sekaligus.
Bergilir
PLN memang tak tinggal diam, paling tidak berupaya segera mengatasi masalah ini. Langkah maksimal yang bisa dilakukan dalam waktu dekat, menurut Kepala PLN Distribusi Jatim, Ir Hizban Ahmad, pengadaan genset. Paling tidak, dalam satu bulan sudah bisa memenuhi 40% kebutuhan, ujarnya.
Dalam kondisi ini, masyarakat bisa mendapatkan aliran listrik kendati secara bergilir, sehari hidup tiga hari mati. Itu pun baru bisa dipastikan setelah adanya penambahan unit genset yang akan disewa dari luar negeri. Sedangkan persediaan genset dari berbagai daerah seperti Surabaya, Semarang, Bandung, dan Ujungpandang yang telah dialokasikan, diperkirakan tidak akan mampu memenuhi target itu.
Sementara penyewaan genset dari Singapura dan Prancis baru dalam tahap negosiasi, jadi kepastiannya masih belum bisa diperhitungkan, katanya. Salah satu yang menjadi kendala dalam proses penyewaan ini, menurut Hizban, bermuara pada ukuran dan daya yang mampu dihasilkan.
Untuk 12 unit genset yang disediakan Prancis melalui Wartsila NSD Coorporation, yang masing-masing unitnya berkekuatan 20 megawatt (MW), sebenarnya sudah mencukupi kebutuhan listrik di Madura dan pulau-pulau di sekitarnya yang memiliki beban 72 MW.
"Namun yang menjadi kendala, tiap unit berbobot mati 30 ton. Terus dengan apa genset itu diangkut ke sini?" katanya.
Sementara kekuatan dermaga, badan jalan, dan jembatan di pulau itu diperkirakan takkan mampu menyangganya.
"Kemungkinannya hanya Singapura, ukurannya lebih ringan namun daya yang dihasilkan hanya 1 MW tiap unitnya. Sedangkan 18 unit genset yang dioperasikan dari 22 unit yang tersedia sekarang baru mampu menyuplai 3,5 MW saja," katanya.
Untuk itulah maka daya yang tersedia tersebut hanya untuk memasok kebutuhan listrik di enam lokasi, yakni PDAM, RSUD, ASDP, Polwil, Polres, dan Kodim setempat. Itu pun hanya dioperasikan selama 14 jam saja, mulai pukul 06.00-20.00.
Untuk lokasi-lokasi lain, seperti jaringan penerangan jalan umum, instansi lain, serta perumahan penduduk belum bisa dilayani.
"Dalam hal ini, kami menghadapi berbagai kendala yang sangat kompleks untuk dapat memuaskan semua kalangan," keluh Hizban lagi.
Selain faktor teknis penyambungan, terkendala keterbatasan daya yang tersedia. Belum lagi prioritas penyalaan yang terpencar. Juga mempertimbangkan perasaan masyarakat. Jangan sampai nanti ada yang merasa dinomorsatukan, ada yang dinomorduakan, sehingga menimbulkan kecemburuan.
Oleh sebab itulah, PLN akan menunggu semua genset datang dan berfungsi, baru kemudian disalurkan secara adil ke masyarakat. Sebelum genset yang dibutuhkan itu tersedia, Hizban menuturkan, lebih baik tidak dihidupkan sebagian-sebagian. Oleh sebab itu, untuk sementara hanya lokasi vital (PDAM, RSUD, ASDP, Polwil, Polres, dan Kodim) yang dipasok listrik. Menyusul nanti perumahan warga.
"Pokoknya tiji-tibeh, mati siji mati kabeh, urip siji urip kabeh," tuturnya. (Luddy Eko Pramono)