LAIN-LAIN
Senin, 29 Desember 1997

Surabaya Post

Masyarakat Madura itu umumnya punya keinginan untuk transparan, apa adanya. Ketika ada sesuatu yang ditutup-tutupi, orang Madura mesti mengira ada ketidakadilan, permainan, rekayasa. Lha, ketika sudah punya pendapat begitu, mereka ndak akan takut pada siapa pun.
Orang Madura di Tapal Kuda itu menginginkan kejujuran, transparansi, apa adanya. Begitu lo. Ketika itu dilihatnya tidak ada, orang Madura ingin tahu. Nah ketika keingintahuan itu masih juga ditutup-tutupi, mereka tetap bersikukuh. Akhirnya ya terjadilah. Itu dengan siapa pun, tidak hanya dengan aparat.
Katakanlah dengan sesama orang Madura, itu juga terjadi. Makanya, kalau masalahnya sudah transparan, apa adanya, mereka melihat sendiri kebenarannya, ya selesai. Ndak akan ada masalah, bahkan didukung. Pasti didukung, siapa pun.

Jadi ini ada kaitannya dengan watak khas orang Madura yang katanya keras?
Ya bukan keras begitu. Orang memang mengatakan orang Madura itu keras. Tapi keras itu ndak bakalan setiap saat muncul kecuali saat hal-hal yang prinsip dilanggar.

Bagaimana sebenarnya watak orang Madura itu?
Apa pun akan diberikan oleh orang Madura asal dengan cara dan pendekatan yang baik. Apapun diberikan. Pokoknya ndak ada eman-nya. Tapi sekecil apa pun, sebuah jarum pun, ndak akan diberikan kalau caranya ndak transparan atau ndak baik. Pasti terjadi apa-apa. Itu akan dipertahankan habis-habisan, sampai titik darah penghabisan.

Itu menghadapi siapa pun?
Siapa pun! Karena apa? Karena sudah menyangkut harga diri. Pendekatan yang tidak baik kan berarti melangkahi harga diri. Ketika harga diri sudah ternodai, ya semboyannya daripada putih mata lebih baik puting tulang.

Dengan melihat banyaknya fakta kekerasan sepanjang 1997 di Tapal Kuda, apa yang sedang terjadi?
Ketidakpuasan! Ketidakpuasan terhadap perlakuan-perlakuan yang menurut versi mereka kurang terbuka, kurang transparan, kurang adil. Itu saja. Itu penyebab utama. Tanpa itu ndak akan terjadi apa-apa.
Makanya, orang Madura akan luluh kalau masalah-masalah dikomunikasikan dengan tokoh sentralnya, yaitu ulama. Kalaupun kondisi sudah memaksa, katakanlah orang sudah marah-marah mau main hakim sendiri, kalau ndak diredam kiainya secara langsung, ya ndak akan reda. Jadi pendekatan itu mutlak.
Kalau orang Madura dikerasi, atau didekati dengan cara kekerasan, kira-kira apa akibatnya?
Yang pasti ndak akan berhasil. Sampai kapan pun kekerasan ndak akan berhasil menundukkan atau membangun orang Madura. Makanya, cara itu harus diubah.

Bagaimana sebaiknya berhubungan dengan orang Madura?
Orang Madura itu ibarat layang-layang. Layang-layang itu kan cari angin. Kalau angin kencang ya ulur saja. Ndak boleh ngurusi orang Madura, ada angin kencang ditarik saja, ha... ha.... Bisa lepas, bisa patah. Kalau angin mulai reda, baru mulai ditarik. Kalau perlu ditarik bersama-sama ulama. Wis ngono thok ha... ha....

Banyak kasus tanah yang lama tak terselesaikan di kawasan Tapal Kuda. Para pengamat menyatakan, itu akan menjadi potensi kekerasan di masa mendatang. Apa yang harus dilakukan agar potensi itu tak mencuat jadi kekerasan?
Aparat pemerintah yang berkepentingan mengadakan pendekatan dengan ulama yang menjadi tokoh sentral di sana. Mutlak itu harus dilakukan! Tanpa begitu, redamnya hanya sepihak. Dalam artian, reda sesaat tapi di waktu lain bisa meledak lagi.

Jadi, orang Madura hanya bisa "ditaklukkan" oleh transparansi, kejujuran, dan kelembutan, begitu?
Ya, begitu. Transparansi, jangan langkahi harga dirinya, begitu lo. Kalau harga dirinya dilangkahi, jangankan dibeli murah, dibeli dengan harga mahal bagaimana pun ndak akan dikasih. Harga diri itu mengalahkan harga duit berapa pun.
Pernah ada contoh, baru saja terjadi. Ada seseorang menggadaikan mobilnya. Tahu-tahu, mobil yang digadaikan itu dipakai musuhnya. Saat itu juga dicarikan duit sesuai jumlah yang digadaikan. Langsung mobil itu ditebus lagi. Ndak soal, asal mobil itu tak dipakai musuhnya. Itu kan contoh bagaimana harga diri orang Madura jangan sampai dilangkahi.

Pemerintah dalam mendekati orang Madura perlu menggunakan cara-cara orang Madura?
Ya. Saya juga sering mengatakan, agar masalah kultur ini diketahui orang banyak. Begitu juga aparat pemerintah. Siapa pun yang ingin "menaklukkan" Madura, dalam artian ingin berkomunikasi, inilah dasar kultur yang harus diketahui dan disadari bersama.
Bagaimana orang Madura melihat kekuasaan? Menjaga jarak atau bagaimana?
Orang Madura itu sebenarnya apa adanya saja. Maksud saya, orang Madura itu pimpinannya kan bepak, bebbu, guru, ratoh (bapak, ibu, guru, baru penguasa). Nah, penguasa boleh berbuat apa saja, asal tidak melangkahi hak-hak masyarakat Madura. Kalau begitu ndak ada masalah kok, orang Madura ndak ngurusi. Siapa pun camatnya ya ndak pernah ngurus, siapa bupatinya ya ndak pernah ngurusi. Pokoke bener, pokoke baik, beres.

Gampang sebetulnya ya "menundukkan" orang Madura?
Gampang memang. Orang pribumi, orang luar, ndak ada masalah. Wong orang-orang Cina bisa hidup rukun dengan orang Madura kok. Pokoknya ndak disalahi.

Apa saja sih ukuran harga diri orang Madura sekarang?
Nomor satu, harga dirinya sendiri jangan sampai dilecehkan. Ini termasuk misalnya nyawanya, atau jangan sampai dipermalukan di depan orang banyak. Kedua, dalam Islam kan juga ada, yaitu harga diri keluarga, termasuk harta bendanya. Keluarga ini termasuk bapak-ibunya, gurunya. Kalau mereka disalahi, mati-matian akan dibela.

Menurut Kiai, bagaimana perlakuan (aparat) pemerintah terhadap orang Madura di Tapal Kuda sepanjang 1997 ini?
Secara umum lebih baik, tapi ada indikasi memaksakan kehendak. Ketika tercium oleh masyarakat ada semacam upaya pemaksaan kehendak, masyarakat pun jadi kurang percaya.

Bagaimana cara menuntaskan kasus-kasus tanah yang sudah begitu menahun?
Maaf ya, aparat kurang sungguh-sungguh menyelesaikan kasus-kasus itu. Ndak pernah tuntas, hanya meredam. Aparat selama ini hanya berupaya meredam agar tak sampai terjadi gejolak. Tapi penyelesaian masalah sampai tuntas belum. Lha ini kan seperti menaruh bom, dalam arti suatu saat akan meledak.
Harapan saya, penanganannya bukan setengah-setengah. Ini kan ada investor, masyarakat, dan pemerintah. Selama ini, sepertinya yang jadi kambing hitam rakyat terus. Yang terima ganti rugi ya rakyat, ndak pernah kan ada ganti untung. Kalau ini dipendam terus, nanti ada pergantian pejabat masalahnya muncul lagi.
Ngapain terus-terusan begitu?

Berarti kalau muncul "amuk massa", berarti orang Madura merasa semuanya sudah buntu, begitu?
Ya. Makanya, antisipasinya ya selesaikan tuntas kasus-kasus itu. Dekati tokoh sentralnya di daerah yang bersangkutan. Ndak bisa orang Sumenep lalu ambil kiai Bangkalan, ndak perlu. Ya cari kiai yang dipanuti di Sumenep. Di Raci, ya cari ulama yang disegani masyarakat Raci. Begitu lo. (Nanang Krisdinanto)


© Copyright 1996, Surabaya Post Daily Newspaper
All Rights Reserved