LAIN-LAIN
Senin, 29 Desember 1997

Surabaya Post

Saat itu, di luar rumah orang berbondong-bondong menuju ke Ponpes KH Muhaimin. Mereka ingin mencek kondisi KH Muhaimin yang sebelumnya diisukan ditahan di kantor polisi. Beberapa hari sebelumnya, suasana Sampang sudah dihangatkan beberapa protes pelanggaran pemilu.
Sejak malam itulah ayah dua anak itu tak ketahuan kabarnya. Upaya keluarga mencarinya tak membuahkan hasil. Sampai pada 2 Juni, H Jufri (kakak kandung Wafir) bertemu seseorang. Orang itu memberi informasi, telah ditemukan mayat laki-laki di pinggir jalan di daerah Sronggi, Sumenep.
Setelah dicek, ternyata mayat Wafir. Akhirnya, pada 27 Juni --seperti dilaporkan LBH Surabaya-- dengan disaksikan ribuan pelayat, jenazah Wafir dikebumikan di Sampang.
Kasus Wafir, meski dalam skala individu, merupakan salah satu catatan kekerasan yang dramatik sepanjang Pemilu 1997 lalu, setidaknya di Jatim. Kekerasan lainnya --meski tak sampai menelan korban nyawa-- meruyak di beberapa tempat, terutama di kawasan yang secara "kultural-politik" lazim disebut "Tapal Kuda" (Madura dan pesisir utara Jatim), mulai Sumenep, Pamekasan, Sampang, Bangkalan, Pasuruan, sampai Jember.
Kuantitas maupun kualitas bentrokan massa dan aparat lumayan tinggi di sana. Cedera tak cuma menimpa manusia, tapi juga gedung atau bangunan yang dianggap simbol-simbol pemerintah seperti kantor kelurahan, kecamatan, gedung sekolah, atau kantor aparat.
Pola perlawanan juga meningkat, dalam bentuk massa yang semakin besar, bahkan sampai menenteng senjata, pentungan, dan sebagainya. Seperti perang saja, seperti yang meledak saat kampanye pemilu. Atau meledak ke samping karena terpicu kasus SARA, seperti penghancuran tempat ibadah," kata Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya, Andik Hariyanto SH.
Di luar pemilu, sejak 1996 kekerasan juga kerap meletup di lokasi yang mengidap kasus tanah menahun, seperti Raci (Pasuruan), Banongan (Situbondo), atau Jenggawah (Jember). Dan efek paling dramatik rivalitas pemilu --antara PPP dan Golkar-- dan kasus tanah muncul di Pasuruan dan Sampang.
"Dibanding kawasan lain, Mataraman misalnya, fenomena kekerasan sepanjang 1997 lebih kelihatan di Tapal Kuda. Dan di kawasan ini pula tersimpan potensi kekerasan yang pada titik ekstrem bisa meletupkan amuk massa pada tahun-tahun mendatang," kata Andik.
Pengamat politik dari FISIP Unair, Drs Kris Nugroho MA, bahkan menyatakan, "Tahun 1997 bisa disebut tahun pembangkangan sosial (massal) masyarakat Tapal Kuda. Masyarakat di sana kelihatannya saja tenang, tapi ada benih yang bisa menjadi potensi laten gerakan perlawanan. Dan itu nggak perlu menunggu pemilu berikutnya."
Untuk skala Jatim, kekerasan bahkan dinilai paling tinggi dibanding propinsi lain. "Coba lihat propinsi lain, paling-paling 'cuma' di Pekalongan, Sanggau Ledo," ujar Andik menambahkan.
Marjinalisasi
Apa akar masalahnya? Ternyata lumayan kompleks. Untuk tahun 1997 ini, pemicunya adalah pemilu. Secara tradisional, Tapal Kuda merupakan ajang adu gengsi PPP dan Golkar. Adu prestise ini kian mengeras terutama di Sampang dan Pasuruan, di mana Golkar dan PPP saling bertukar kemenangan dalam perolehan suara.
Persoalan lain: bertebarannya kasus agraria (pertanahan) yang menahun di Tapal Kuda. Dalam catatan LBH Surabaya saja, ada belasan kasus, mulai di Sumenep (pembebasan tanah perusahaan gara, relokasi Pasar Anom, dan alokasi sumber air irigasi di Desa Guluk-Guluk), Sampang (Waduk Nipah, kasus tanah Percaton, dan perusakan tanah tambak), Bangkalan (pembebasan tanah pembangunan Jembatan Surabaya-Madura dan industrialisasi Madura).
Sementara di luar Madura: Pasuruan (konflik alokasi penggunaan air Kali Porong, pencemaran tambak, kasus Raci, kasus-kasus tanah bengkok), Probolinggo (reklamasi pantai dan kasus-kasus TRI), Sitobondo (Kasus Banongan, Blangguan, dan TRI), dan Jember (Kasus Jenggawah).
Ditambah lagi sejumlah rencana pembangunan infrastruktur untuk pengembangan industri di Jatim yang bernilai total triliunan rupiah. Di antaranya jalan tol Gempol-Pandaan, Gempol Pasuruan, Pasuruan-Probolinggo, Jembatan Surabaya-Madura, proyek Paiton Swasta I dan II, SUTET 500 kV Jawa Bali di Gresik-Krian dan Krian-Paiton, serta sumber air Umbulan. Proyek-proyek itu diperkirakan baru selesai antara tahun 1998-2000.
"Proyek serta kasus-kasus tanah itu, selain menemukan letupan saat pemilu kemarin, juga akan menjadi potensi kekerasan pada tahun-tahun mendatang. Bisa dikatakan, di Tapal Kuda kekerasan akan tetap berbasis pada kasus-kasus agraria," kata Andik.
Apa sebenarnya yang tengah terjadi pada masyarakat Tapal Kuda? Menurut Kris Nugroho, mereka tengah mengalami marjinalisasi yang agaknya sudah tak tertahan lagi, baik di sektor politik maupun ekonomi.
Di sektor ekonomi, mereka sedang diserang penetrasi kapital --dengan banyak berdirinya industri besar-- yang mengakibatkan tergusurnya masyarakat lokal (tradisional). Terkatung-katungnya penyelesaian kasus-kasus tanah juga dilihat Kris sebagai faktor penentu.
Sementara di sektor politik, upaya "penguningan" masyarakat setempat yang sebenarnya merupakan basis PPP makin meningkat. Karena itu, sifat amuk massa (kekerasan) di wilayah ini bisa mengambil dua bentuk: vertikal dan horizontal.
"Konflik vertikal terjadi saat pemilu kemarin, yang dilawan adalah birokrasi yang dianggap terlalu mengintervensi. Dan konflik horizontal meletup ketika isu SARA muncul, seperti penghancuran tempat ibadah," kata Kris.
Repotnya, Andik menambahkan, ketika muncul protes dari masyarakat, negara cenderung menggunakan kekerasan untuk meredamnya. "Bentuknya macam-macam, ancaman, intimidasi, pemukulan, sampai penahanan," katanya.
Watak Kultural Madura
Faktor lain: watak kultural penghuni Tapal Kuda yang notabene orang Madura. Masyarakat di sini, menurut Andik, sering dikesankan sebagai masyarakat yang "keras, tertutup, dan pembangkang." Kesan ini kian mencuat dengan kasus-kasus "pembangunan" dan perlawanan rakyat yang terus bermunculan.
Di sini, Andik menambahkan, pemuka agama lebih dihormati ketimbang pejabat pemerintah. Sementara di wilayah Mataraman misalnya, merupakan wilayah yang berorientasi kuat pada kehidupan priyayi dan patuh pada pemerintah.
Sekretaris Bassra (Badan Silaturahim Ulama Pondok Pesantren Madura) KH Nuruddin juga menyatakan hal serupa. "Apapun akan diberikan oleh orang Madura asal cara dan pendekatannya baik. Pokoknya ndak ada eman-nya. Tapi sekecil apa pun, sebuah jarum pun, ndak akan diberikan kalau caranya ndak transparan atau ndak baik. Pasti terjadi apa-apa. Itu akan dipertahankan habis-habisan, sampai titik darah penghabisan," katanya. (Baca: "Kekerasan Ndak Akan Berhasil")
Hal serupa juga dikatakan seorang tokoh Madura yang tak mau disebut namanya. Orang Madura, kata dia, kalau dipercayai biasanya mereka baik.
"Tahun 1974 misalnya, kan banyak guru Inpres dari Jawa ditugaskan di Madura. Awalnya mereka ketakutan mendengar orang Madura itu keras-keras. Tapi ternyata, karena guru-guru ini mengajar anak-anak orang Madura, guru-guru itu ya tidak diapa-apakan. Justru mereka kerasan, bahkan ada yang kawin dengan orang Madura. Bahkan di antara mereka ada yang ditokohkan juga," tuturnya.
Lalu apa yang mesti dilakukan agar kekerasan bisa segera enyah dari bumi Tapal Kuda? Secara kultural, KH Nuruddin menyarankan dipahaminya dan dipakainya kultur Madura dalam mendekati mereka.
"Siapapun yang ingin 'menaklukkan' orang Madura, dalam artian ingin berkomunikasi, masalah kultur harus diketahui dulu. Selain itu, ya apa lagi kalau bukan transparansi," ujarnya.
Sementara secara politis, menurut Kris, saluran aspirasi harus segera dibuka. "Kalau tidak, pada tahun-tahun mendatang wilayah ini akan tetap dibayangi potensi kekerasan, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal," katanya.
Selain itu, juga harus ada transparansi politik. Pemerintah harus membuka diri terhadap masukan dari bawah. "Jangan seperti dulu-dulu, kebijakan Pemda tahu-tahu jadi dan masyarakat harus menerima. Dan satu lagi, pemerintahan harus bersih," ujar Kris.
Sementara Andik mengusulkan, "Kewenangan pemaksaan oleh negara harus dikontrol. Jika tidak, saya khawatir muncul gejala permakluman terhadap kekerasan. Atau paling tidak, masyarakat tak mau mempermasalahkan kekerasan karena takut terkait. Sekarang kan mulai tampak, masyarakat kelihatannya peduli tapi juga ya tidak peduli." (nnn)

© Copyright 1996, Surabaya Post Daily Newspaper
All Rights Reserved