back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long e-Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

Pustaka Hidayah
Reformasi Sufistik

PUASA : Syariat dan Tarikat
Oleh Jalaluddin Rakhmat

"Ketahuilah bahwa syariat, tarikat dan hakikat menunjukkan satu kenyataan yang sama. Hakikat dan ahlinya lebih tinggi dari tarikat dan ahlinya. Tarikat dan ahlinya lebih tinggi dari syariat dan ahlinya"

Syariat itu tingkat pemula, tarikat itu tingkat menengah dan hakikat tingkat paling akhir. Penyempurnaan tingkat pertama terletak pada tingkat kedua. Penyempurnaan tingkat kedua terletak pada tingkat terakhir. Tingkat menengah tidak dapat dicapai tanpa melalui tingkat pertama dan tingkat terakhir tidak akan tercapai tanpa tingkat kedua. Maksudnya, adanya tingkat lebih atas tidak mungkin tanpa adanya tingkat lebih bawah... walaupun yang sebaliknya mungkin saja terjadi.

Syariat mungkin ada tanpa tarikat, tapi tarikat tidak mungkin ada tanpa syariat. Begitu pula, tarikat mungkin ada tanpa hakikat, tetapi hakikat tidak mungkin ada tanpa tarikat dan syariat. Semuanya ini disebabkan karena yang berikutnya merupakan penyempurnaan dari yang sebelumnya. Karena itu walaupun tidak ada kontradiksi di antara yang tiga itu, penyempurnaan syariat hanya dapat dilakukan melalui tarikat; dan penyempurnaan tarikat hanya dapat dilakukan melalui hakikat. Dengan demikian penyempurnaan dari penyempurnaan adalah gabungan dari ketiganya.

Dua hal, bila digabungkan bersama, pastilah lebih baik dan lebih sempurna daripada dua hal yang terpisah.

Dengan tulisan diatas, Sayyid Haydar Amuli, sufi pada abad delapan Hijriah, berusaha menyadarkan para ulama dizamannya. Melalui bukunya, Jami' al Asrar (kumpulan rahasia), ia menunjukkan kekeliruan orang orang yang mempertentangkan ketiganya. Keliru orang yang berpendapat bahwa tarikat meninggalkan syariat; sama kelirunya juga orang yang merasa cukup dengan syariat dan meninggalkan tarikat. Ia memberikan penjelasan dengan hadist nabi SAW. berikut ini.

Pagi pagi Haritsah bertemu dengan nabi saw. Matanya cekung karena kurang tidur dan perutnya kempes karena kurang makan. Malam harinya ia shalat malam dan siang harinya ia berpuasa. Rasulullah saw. bertanya kepadanya, " Hai Haritsah, bagaimana keadaanmu pagi ini?" Haritsah menjawab, "Pagi ini aku menjadi mukmin sejati". Rasulullah saw. bertanya, "Segala sesuatu ada hakikatnya. Apa hakikat imanmu?" Ia menjawab, "Aku melihat penghuni surga saling berkunjung dan penghuni neraka saling meraung. Aku melihat arasy Tuhanku". Nabi saw. bersabda, "Engkau benar, pertahankan keadaan itu".

Kata Amuli, beriman pada yang ghaib itu syariat; tersingkapnya dan terasanya situasi surga, neraka dan arasy adalah hakikat; sedang zuhudnya dalam dunia, kurang tidur dan kurang makannya adalah tarikat. Syara' meliputi semuanya. Dalam Jami' al Asrar, Amuli menjelaskan semua ibadah Islam dari ketiga dimensi itu. Shalat dari segi syariat adalah kebaktian kepada Allah (khidmad), dari segi tarikat pendekatan diri kepada Allah (qurbah), dari segi hakikat bergabung dengan Allah (alwuslah).

Dari segi syariat, puasa adalah menahan diri dari makan dan minum, dan seks untuk periode tertentu, yakni sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Inilah puasa yang lazim kita ketahui. Inilah puasa orang awam. Karena itu kita tidak akan membicarakannya disini. Menurut ahli tarikat, setelah menyempurnakan puasa secara syariat, kita harus mengendalikan alat indra kita supaya tidak bertentangan dengan ridha Allah. Ada dua macam alat indra: lahiriah dan batiniah.

Berdasarkan lahiriah ada lima macam puasa.

Pertama, puasa bicara. Disini Anda menahan diri dari bukan saja mengucapkan kata-kata kotor, kasar atau menyakitkan tetapi dari juga pembicaraan yang tidak perlu. Al Qur'an mengisahkan seorang perempuan suci. Ia banyak beribadah di mighrabnya. Allah berfirman kepadanya: Guncangkan batang pohon kurma itu kearahmu, maka ia akan menjatuhkan kurma yang segar. (QS 19:25). kemudian Allah menyuruhnya untuk berkata, "...Aku sudah berjanji kepada Allah yang Mahakasih untuk berpuasa, maka aku tidak akan berbicara hari ini dengan manusia" (QS. 19:26). Seperti Maryam, melalu puasa bicara, kita akan memperoleh anugerah ruhaniah yang segar. Karena Maryam diam dengan lidahnya, nabi Isa a.s. berbicara dengan jelas dalam rahimnya. Bila kita membisakan diam, kita akan mendengar suara hati nurani kita.

Kedua, puasa melihat. Dengan puasa ini, anda akan menghindar dari hal hal yang buruk atau pemandangan yang menjauhkan Anda dari ridho Tuhan: Katakanlah kepada lelaki yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kehormatan-nya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka perbuat (QS. 24:30).

Ketiga, puasa mendengarkan. AlQur'an memuji orang yang mendengarkan pembicaraan dan mengikuti yang terbaik. Tetapi, Al-Qur'an melarang kita mendengarkan pergunjingan, fitnah, ucapan kotor atau suara suara yang melalaikan kita dari Allah. Maka celakalah hari itu orang orang yang mendustakan, yaitu orang orang yang bermain-main dalam pembicaraan yang batil (QS 52:11-12).

Keempat, puasa penciuman. Islam mengajarkan kita untuk menghindari bau bauan yang merusak. Dimakruhkan berangkat ke Masjid dengan membawa bau bawang. Dianjurkan mandi sebelum sholat Jum'at. Pada saat yang sama, Islam juga melarang kita mengikuti bau parfum yang merangsang imajinasi kita.

Kelima, puasa cita rasa. Disini kita membatasi makanan dan minuman. .... Makan dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka pada orang yang berlebih-lebihan (QS> &:31).Termasuk puasa kelima ialah kita tidak menyentuh apapun yang dilarang olehNya.

Di atas puasa cita rasa indra lahiriah, ada puasa yang lebih berat: puasa indra batiniah kita. Disini kita mengendalikan pemikiran, hati dan imajinasi kita dari segala hal yang mejauhkan kita dari kehadiran Allah SWT. Betapapun sulitnya, puasa ini baru menyampaikan kita pada puasa dari segi tarikat. Hakikat puasa masih harus kita jelang.

(Dari Reformasi Sufustik : Jalaluddin Rakhmat - Pustaka Hidayah 1998)

atas