back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Iptek
Rabu, 16 Agustus 00
KOMPAS


PLTS Rumah Tangga Diharapkan Bisa Diterapkan September Ini

Jakarta, Kompas

Empat rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk rumah tangga, yang telah disepakati tanggal 8 Agustus lalu, diharapkan dapat segera diterapkan paling lambat bulan September mendatang. Demikian penjelasan Kepala Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Sumber Daya Energi (LSDE) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rachmat Mulyadi di Jakarta, seusai lokakarya "Penerapan Fotovoltaik Untuk Solar Home System", Senin (14/8).

Keempat rancangan yang tinggal menunggu pengesahan Badan Standardisasi Nasional dimaksud adalah baterai, pengatur baterai (battery charger regulator), lampu, dan SHS (solar home system)-sistem rumahtangga surya). Rancangan tersebut disepakati bersama setelah melalui perdebatan di antara stake holder, antara lain universitas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), swasta, dan penyalur komponen.

Pedoman standardisasi yang dikeluarkan tidak memfokuskan pada produk modul surya, tetapi energi yang bisa dikeluarkan oleh suatu sistem PLTS; misalnya 100 WH untuk rumah tangga, 50 WH untuk kios, 300 WH untuk rumah tangga yang agak besar, dan 400 WH untuk balai pertemuan.

Saat ini, demikian Rachmat, SHS telah terpasang di lebih dari 50.000 rumah. Oleh karena itu, diperlukan standar nasional bentuk-bentuk sistem PLTS, sehingga memudahkan pengguna.

Pemasaran SHS ini sepenuhnya diserahkan kepada swasta, sementara pemerintah hanya menyediakan fasilitas. Dalam kaitan itu, Rachmat mengharapkan, swasta lebih kreatif dalam mengembangkan pasar.

Pertama tahun 1988

Sistem pembangkit kecil yang dipandang paling efisien pertama kali di luncurkan tahun 1988. Sejak itu, pemerintah berharap swasta sudah bisa jalan sendiri. Program Bantuan Presiden (Banpres), misalnya, hanya dimaksudkan sebagai perintis pasar swasta.

Menurut Rachmat, sebelum krisis semua berjalan cepat dan lancar, sehingga pemerintah maupun swasta begitu optimis. Pada tahun 1997, SHS terpasang telah mencapai 40.000 rumah. Akan tetapi, semuanya terhenti sejak krisis moneter melanda Indonesia.

Ditambahkan, di Indonesia banyak terdapat daerah yang tidak mungkin dijangkau PLN, karena biaya investasi untuk membangun jaringannya terlalu tinggi. "Untuk perkotaan, PLTS memang lebih mahal dari listrik konvensional produksi PLN, tetapi di daerah terpencil listrik konvensional bisa sepuluh kali lebih mahal. Padahal, perbandingan tersebut belum memperhitungkan subsidi pemerintah untuk listrik," demikian Rachmat.

Kebutuhan pasar terhadap SHS saat ini, lanjutnya, masih sangat besar. Berdasarkan rasio elektrisasi pasar, yang terukur sekitar satu juta. Bahkan, kata Rachmat lagi, kalau dilihat angka rumah tangga yang tidak teraliri listrik mencapai 23 juta. (p09)

Berita iptek lainnya: