back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

KOMPAS
IPTEK - Jumat, 18 Agustus 00

Melihat Dunia Mikro dengan Mikroskop Elektron
Oleh Wihatmoko Waskitoaji

TAHUKAH Anda sejauh mana perkembangan teknologi dewasa ini telah memungkinkan manusia melihat dunia yang sangat renik.

Memahami fenomena yang terjadi dalam skala mikro, sadar atau tidak telah membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pola hidup manusia, terutama sejak ditemukan adanya makhluk hidup sangat kecil yang tidak dapat terlihat dengan mata manusia biasa pada abad ke-17.

Orientasi perkembangan iptek mulai terpengaruh oleh pemahaman akan fenomena yang terjadi dalam skala renik seperti itu. Dewasa ini hampir semua bidang iptek, serta jaminan kualitas mutu produksi dalam dunia industri, terutama industri berbasis teknologi tinggi, tidak dapat lepas dari pemantauan apa yang terjadi pada skala mikro (seperseribu milimeter) atau bahkan pemantauan pada skala yang jauh lebih kecil hingga beberapa puluh nanometer (sepersejuta milimeter). Pemantauan ini menggunakan apa yang kini kita kenal sebagai mikroskop.

Mikroskop cahaya

Pada awal abad ke-17 ketika dunia ilmu pengetahuan pada masa itu mulai menduga adanya dunia renik yang tak terlihat akibat terbatasnya kemampuan mata manusia. Padahal dunia itu berpengaruh pada hidup manusia. Maka dibuatlah apa yang kini kita sebut mikroskop. Kata ini berasal dari bahasa Yunani di mana mikros berarti kecil dan skopeo berarti melihat.

Saat ini tidak ada dokumen yang dapat menuntun kita pada siapa sebenarnya penemu mikroskop ini. Kemungkinan mikroskop dikembangkan dari teleskop yang memiliki Galileo pada pertengahan abad ke-17. Instrumen mikroskop pertama yang terbukukan adalah yang dipakai oleh ilmuwan Belanda bernama Antony van Leeuwenhoek (1632-1723). Mikroskop ini terdiri dari lensa cembung yang kuat dengan penadah sampel (preparat) yang dapat digerakkan. Dengan mikroskop yang sederhana ini Leeuwenhoek dapat melakukan pengamatan dengan pembesaran hingga 400 x dan ia mengumumkan pada dunia penemuannya akan jasad renik seperti bakteri, protozoa, dan spermatozoa. Ia juga dapat mengklasifikasikan sel darah merah dengan mengamati bentuknya.

Keterbatasan pada mikroskop Leeuwenhoek adalah pada kekuatan lensa cembung yang digunakan. Untuk mengatasinya digunakan lensa tambahan yang diletakkan persis didepan mata pengamat yang disebut eyepiece, sehingga obyek dari lensa pertama (kemudian disebut lensa obyektif) dapat diperbesar lagi dengan menggunakan lensa ke dua ini. Pada perkembangan selanjutnya ditambahkan pengatur jarak antara kedua lensa untuk mempertajam fokus, cermin atau sumber pencahayaan lain, penadah obyek yang dapat digerakkan dan lain-lain, yang semua ini merupakan dasar dari pengembangan mikroskop modern yang kemudian disebut mikroskop cahaya Light Microscope (LM).

LM modern mampu memberikan pembesaran (magnifikasi) sampai 1.000 kali, dan memungkinkan mata manusia dapat membedakan dua buah obyek yang berjarak satu sama lain sekitar 0,0002 mm (disebut daya resolusi 0,0002 mm). Seperti diketahui mata manusia yang sehat disebut-sebut mempunyai daya resolusi 0,2 mm. Pada pengembangan selanjutnya diketahui bahwa kemampuan lensa cembung untuk memberikan resolusi tinggi sudah sampai pada batasnya, meskipun kualitas dan jumlah lensanya telah ditingkatkan.

Belakangan diketahui bahwa ternyata panjang gelombang dari sumber cahaya yang digunakan untuk pencahayaan berpengaruh pada daya resolusi yang lebih tinggi. Diketahui bahwa daya resolusi tidak dapat lebih pendek dari panjang gelombang cahaya yang digunakan untuk pengamatan. Penggunaan cahaya dengan panjang gelombang pendek seperti sinar biru atau ultra violet dapat memberikan sedikit perbaikan, kemudian ditambah dengan pemanfaatan zat-zat yang mempunyai indeks bias tinggi (seperti minyak), resolusi dapat ditingkatkan hingga di atas 100 nanometer (nm). Hal ini belum memuaskan peneliti pada masa itu, sehingga pencarian akan mode baru akan mikroskop terus dilakukan.

Mikroskop elektron

Pada tahun 1920 ditemukan suatu fenomena di mana elektron yang dipercepat dalam suatu kolom elektromagnet, dalam suasana hampa udara (vakum) berkarakter seperti cahaya, dengan panjang gelombang yang 100.000 kali lebih kecil dari cahaya. Selanjutnya ditemukan juga bahwa medan listrik dan medan magnet dapat berperan sebagai lensa dan cermin terdapat elektron seperti pada lensa gelas dalam mikroskop cahaya.

Ilmuwan dari Universitas Berlin yaitu Dr Ernst Ruska menggabungkan penemuan ini dan membangun TEM (Transmission Electron Microscope/ mikroskop elektron mode transmisi elektron) yang pertama pada tahun 1931. Untuk pekerjaannya ini dunia menganugerahinya hadiah Nobel pada tahun 1986. Mikroskop yang pertama menggunakan dua "lensa" medan magnet, namun tiga tahun kemudian ia menambah "lensa" ketiga dan mendemonstrasikan resolusi hingga 100 nm (dua kali lebih baik dari mikroskop cahaya pada masa itu).

Mikroskop eletron mode transmisi elektron pada masa sekarang, dengan berbagai perbaikan dari yang terdahulu, dapat memberikan resolusi hingga 0,1 nm (atau 1 angstrom) atau dengan pembesaran sampai satu juta kali, suatu hal yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Leeuwenhoek. Sayangnya mikroskop eletron mode ini bekerja bagaikan sebuah slide proyektor, di mana elektron ditembuskan ke dalam obyek pengamatan dan pengamat mengamati hasil tembusannya pada layar. Yang terlihat bukan hanya bayangan siluet seperti pada pertunjukkan wayang kulit, tetapi pada resolusi yang tinggi pengamat dapat melihat struktur kristal dan lain lain, bahkan pergerakan elektron seperti yang ditunjukkan oleh peneliti dari Jepang Prof Dr Hashimoto (Okayama University of Science) pada sebuah seminar yang lalu di Puspiptek Serpong. Konsekuensinya obyek yang diamati disyaratkan setipis mungkin sehingga dapat ditembus oleh elektron, atau elektron dipercepat secepat mungkin sehingga mampu menembus objek sampai pada batas tertentu.

Meskipun banyak bidang-bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dengan bantuan mikroskop elektron mode ini, syarat "agar obyek pengamatan setipis mungkin" ini kembali membuat sebagian peneliti tidak terpuaskan, terutama yang memiliki obyek yang tidak dapat dengan serta merta dipertipis. Karena itu pengembangan mode baru mikroskop elektron terus dilakukan.

Mikroskop Elektron Mode Scanning

Kembali tidak diketahui secara persis siapa sebenarnya penemu Mikroskop Elektron Mode Scanning/Scanning Electron Microscope (SEM) ini. Publikasi pertama kali yang mendiskripsikan teori SEM dilakukan oleh fisikawan Jerman Dr Max Knoll pada 1935, meskipun fisikawan Jerman lainnya Dr Manfred von Ardenne mengklaim dirinya telah melakukan penelitian suatu fenomena yang kemudian disebut SEM hingga tahun 1937. Mungkin karena itu, tidak satu pun dari keduanya mendapatkan hadiah nobel untuk penemuan itu.

Pada 1942 tiga orang ilmuwan Amerika yaitu Dr Zworykin, Dr Hillier, dan Dr Snijder, benar-benar membangun sebuah mikroskop elektron mode Scanning dengan resolusi hingga 50 nm atau magnifikasi 8.000 kali. Sebagai perbandingan SEM modern sekarang ini mempunyai resolusi hingga 1 nm atau pembesaran 400.000 kali. Mikroskop elektron mode ini memfokuskan sinar elektron (electron beam) di permukaan obyek dan mengambil gambarnya dengan mendeteksi elektron yang muncul dari permukaan obyek.

Pada mode TEM dan LM sinar elektron dibuat statis dan pengamat menggerakkan obyeknya. Sedang pada SEM sinar elektron yang terfokus digerakkan keseluruhan bagian permukaan sample dengan menggunakan coil pembelok sinar (deflection oil), sehingga obyek dapat diamati nyaris seperti LM dengan pembesaran yang lebih baik. Sayangnya elektron yang diamati bukan elektron dari sinar elektron yang dipancarkan tetapi elektron yang berasal dari dalam obyek yang diamati. Sehingga untuk menghindari penumpukan elektron (hal ini menyebabkan charging di mana obyek terlihat terang benderang sehingga tidak mungkin melakukan pengamatan) di permukaan obyek diperlukan grounding, dengan kata lain permukaan obyek harus bersifat konduktif (dapat mengalirkan elektron) agar elektron yang menumpuk dapat dialirkan.

Untuk obyek yang tidak konduktif hal ini dapat diatasi dengan melapisi permukaan obyek tersebut dengan karbon, emas atau platina setipis mungkin. Tentu saja hal ini belum sepenuhnya memuaskan para peneliti terutama yang bekerja dengan obyek pengamatan yang tidak dapat dipertipis dan tidak konduktif, karena bagaimanapun mereka ingin melihat obyek mereka apa adanya seperti aslinya tanpa menambahan perlakukan. Untuk itu kini dikembangkan apa yang disebut Environmental SEM (ESEM).

Environmental SEM

Environmental Sem (ESEM) dikembangkan untuk mengatasi obyek pengamatan yang tidak memenuhi syarat sebagai obyek TEM maupun SEM. Obyek seperti ini biasanya adalah bahan alami yang ingin diamati secara detil tanpa merusak atau menambah perlakuan yang tidak perlu terhadap obyek. Untuk keperluan tersebut pada alat SEM konvensional ditambahkan beberapa trik yang memungkinkan hal tersebut bisa terlaksana.

Pertama adalah upaya untuk menghilangkan penumpukan elektron (charging) di permukaan obyek, dengan membuat suasana dalam ruang sample tidak vakum tetapi diisi dengan sedikit gas yang akan mengantarkan muatan positif ke permukaan obyek, sehingga penumpukan elektron dapat dihindari. Hal ini menimbulkan masalah karena kolom tempat elektron dipercepat dan ruang filamen (di mana elektron dihasilkan) memerlukan tingkat vakum yang tinggi. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan memisahkan sistem pompa vakum ruang obyek dan ruang kolom serta ruang filamen, dengan menggunakan sistem pompa untuk masing-masing ruang. Di antaranya kemudian dipasang satu atau lebih piringan logam platina berlubang dengan diameter antara 200 hingga 500 mikrometer yang digunakan hanya untuk melewatkan elektron (platina ini biasa disebut aperture), sementara tingkat vakum yang berbeda dari tiap ruangan tetap terjaga.

Masalah yang tersisa kini bagaimana menangkap elektron dari obyek untuk mendapatkan gambar dan bagaimana memproduksi muatan positif? Sebuah perusahaan di Boston memberikan jawabannya dengan mendesain sebuah detektor yang dapat menangkap elektron dari suatu obyek dalam suasana tidak vakum sekaligus menjadi produsen ion positif yang akan dihantarkan oleh gas dalam ruang obyek ke permukaan obyek. Beberapa jenis gas telah dicoba untuk menguji teori ini, di antaranya adalah beberapa gas ideal, gas He, Ne, dan lain lain. Namun, yang memberikan hasil gambar yang terbaik hanyalah uap air. Untuk sample dengan karakteristik tertentu uap air kadang kurang memberikan hasil yang maksimum.

Pada beberapa tahun terakhir ini instrumen ESEM mulai dipasarkan oleh para produsennya dengan mengiklankan gambar-gambar jasad renik dalam keadaan hidup yang selama ini tidak dapat terlihat dengan mikroskop elektron. Para pengguna alat ini bahkan membangun kelas masyarakatnya sendiri dengan membuat homepage yang menampung gambar-gambar yang mereka buat. Tetapi, jangan harap Anda dapat mudah masuk dalam homepage mereka karena sebagian besar gambar, adalah yang pertama di dunia sehingga mereka perlu merahasiakannya hingga mendapat pengakuan dari sesama mereka. Di sini produsen instrumen ESEM kemudian menjembatani keinginan para pemula untuk melihat karya-karya tersebut dengan memberikan penghargaan pada foto-foto yang dianggap baik sehingga foto itu dapat ditampilkan ke muka umum. Anda dapat melihatnya pada situs http://www.feic.com/contest/winners.htm., atau Anda juga dapat melihat galeri foto yang pernah diajukan untuk kontes ini.

Penambahan instrumen video, memungkinkan pengamat dapat melakukan pengamatan secara terus menerus instrumen video, memungkinkan pengamat dapat melakukan pengamatan secara terus-menerus pada obyek yang hidup. Sebuah perusahaan film dari Perancis bahkan berhasil merekam kehidupan makhluk kecil dan memfilmkannya secara nyata. Dari beberapa film yang dibuat, film berjudul Cannibal Mites memenangkan beberapa penghargaan bergengsi di antaranya Edutainment Award (Jepang 1999), Best Scientific Photography Award (Perancis 1999), dan Grand Prix-Best Popular and Informative Scientific Film (Perancis 1999). Film ini ditayangkan juga di stasiun TV ZDF Jerman, Discovery Channel di AS dan Britania Raya. Kini perusahaan yang sama tengah menggarap film seri berjudul Fly Wars yang rata-rata memakai sekitar lima menit pengambilan gambar dengan ESEM. Film ini juga akan ditayangkan pada stasiun televisi yang sama. Di situ Anda dapat melihat dengan detail setiap lembar bulu yang dimiliki lalat dalam pertempurannya. Wow!

(Wihatmoko Waskitoaji, Puslitbang Kimia Terapan LIPI, Puspiptek Serpong)

Berita iptek lainnya:

atas