back
Serambi PUISI https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Virtual Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Minggu
30 April 2000
Jawa Pos


Puisi-Puisi Zawawi Imron

Tuhan! Bila ada utang bisa membuat kami merasa gagah

barangkali gagah kami hanyalah mimpi

Kalau ada utang bisa membuat kami merasa mercu suar

barangkali sinar kami hanyalah semu

Bila dengan utang kami merasa jaya, hingga tak berpikir lagi

oleh kami untuk membayarnya, bahkan selalu kami tambah

dengan utang-utang baru, barangkali utang itu sejenis iblis

yang sesekali tidak boleh masuk pintu rumah kami

Kalau utang itu telah menjadi bulu tubuh kami, menjadi rambut

dan bulu ketiak kami, utang itu mendesir dalam aliran darah

kami, dan berdetak dengan sejumlah detak jantung kami,

serta tak sempat kami lunasi sebelum kami mati,

utang itu akan menjadi lumpur nanah tempat berkubang

anak-anak kami, utang itu akan menjadi samudra airmata

tempat berlayar cucu-cucu kami.

Tuhan!

Berilah kami rasa ngeri

dan rasa benci

terhadap

utang

Amin!


ELEGI

Indonesia! Karena aku lahir di pangkuanmu, aku adalah anakmu

Aku kini membaca redup wajahmu. Segumpal mendung menutup dahimu. Airmatamu mengalir seperti sungai panjang menggali luka dalam diriku.

Dan burung-burung gelatik yang cantik terbang di atas sawah yang luas, suaranya mencericit menampung napas-napas yang letih. Itu pun berbaur dengan teriak gagak yang mengabarkan bangkai anak-anakmu yang tak bersalah.

Kelelawar-kelelawar hitam simpang siur di udara, memekik-mekik karena diusir cerobong-cerobong perkasa. Kalau mereka lari ke hutan, hutan pun sedang terbakar. Tuhan! Ampunilah kami, karena kami masih tersesat di jalan terang.

"Adik-adik kecil yang manis! Jangan mandi di situ, air sungai itu bercampur limbah, nanti kalau kamu dewasa kulitmu tidak sempurna sebagai anak Indonesia. Aku tak ingin, kamu jadi orang asing di atas tanah kelahiranmu sendiri."

Aku terkenang sebuah taman. Gundukan-gundukan tanah. Aku yakin, jasad-jasad jadi tulang belulang itu lebih wangi dari bunga. Merekalah yang 50 tahun yang lalu tersungkur sambil berteriak "Merdeka!", dan merdekalah tumpah darah kami.

Inilah tanah yang buncah ombaknya tak kunjung usai menyebut nama Tuhan. Pohon-pohon, dan sungai, dan kerikil, dan kuda-kuda yang menderap, serta angin malam yang lembut siap menerjemahkan suara hati nurani dan menjahit kain sarung yang compang-camping.

Apapun yang akan terjadi Indonesia! Kami tetap anak-anakmu.

Pemilik dataran hijau dan gunung batu. Di atas cadik yang memanjat gelombang kami tetap bernyanyi agar matahari besok lebih berkobar lagi. Maka, di ceruk lembah itu akan kami gali sebuah sumur, dan semua orang silakan meneguk sejuk nuraninya sendiri di situ.

Dan bendera itu biar semakin damai berkibar dikipas rahmat Tuhan dan syukur kami yang tak kunjung henti.


Pada Kalender

Orang-orang katanya, harus percaya pada kalender. Orang-orang katanya, masih percaya pada kalender, memasangnya, menjenguknya, dan menyobeknya tanpa rasa nyeri. Padahal menyobek itu negeri, meski berapa tumpuk medali dikantongi.

Umur-umur berlepasan dari kalender, seperti tersirat pada sajak Abu Nawas: "Umur makin berkurang dan dosa makin bertambah." Memang perlu percaya pada kalender, lebih-lebih pada celengan waktu yang tak hanya menghimpun duri dan debu. Kita, seperti pelancong laut yang naik kapal, makin dekat ke dermaga waktu semakin mahal.

Berapa kali Tuhan menyindir penuh rasa sayang, tapi aku makin keledai. Yang rugi bukanlah waktu, yang duri adalah nafsu, yang tajam adalah lidah. Orang sehat ingin duduk di atas kursi yang "kecuali". Yang rugi bukanlah waktu.

Kita kembali saja pada kalender, tempat sayang dibentang, janji ditagih, rugi ditendang, kalbu diasah, hingga detik bisa direntang menjadi tahun,menjadi kasih, menjadi nur.

Tapi jangan lupa, dalam kalender ada ingin melahirkan siasat. Ada siasat melawan trik, ada trik melawan akrobat, ada akrobat dibantu culas, culas didukung kertas, modem, internet, henpon, senjata dan segalanya, sampai kenyataan jadi semrawut porak poranda, jadi puing, jadi serpih-serpih tembikar dan sejuta cabik yang tak berharga.

Kiamat tinggal sejengkal dan neraka tinggal sehasta.

Tak ada sesal, tak ada tobat. Pisau tak tajam lagi, air tak basah lagi, api tak panas lagi, aku tak orang lagi, orang tak manusia lagi, manusia tak nurani lagi, nurani tak nurani lagi, lagi tak lagi lagi, dan tak lagi dan tak lagi dan dan dan.... teruskan sendiri.

Seorang sufi bilang padaku bahwa, aku yang baca puisi ini adalah bangkai, sedangkan aku telah lama mati, pas di bawah kalender, pukul sembilan tigapuluh, waktu Indonesia bagian karat.


Sajak Mustahil

Tangan-tangan itu sembunyi

di belakang lidah

dan lidah lalu bersumpah

"mayat-mayat itu telah bunuh diri", katanya

padahal mayat-mayat itu tak mati

malah mencangkul, berdoa

dan mengelus bocah-bocah yang menangis

ketika orang-orang hidup seperti mati.

Tangan-tangan itu sembunyi

mencelup pada awan

padahal awan tak pernah tetap

pada sebuah langit dan tempat

Hanya seorang jenazah

menyampaikan pidato (kampanye) di lapangan

di tengah-tengah ummat yang kelaparan

pada zaman kemakmuran

"Sauara-saudara," katanya

"telah kita bangun keanehan ini

untuk melengkapi janji

yang sengaja tidak kita tepati."

Wajah-wajah jadi aneh

Ada yang tersedu sambil terkekeh

Seorang saleh hanya menggigil

lalu katanya, "Kita mencari yang mustahil

seperti mencari beras sekuintal

pada selaras bedil"